Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sengkarut Hasil Hitung Cepat

21 April 2019   14:59 Diperbarui: 22 April 2019   11:39 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu serentak baru saja usai. Seolah mengulang apa yang terjadi pada pemilu 2014 silam, hari-hari setelahnya diwarnai aksi saling klaim sebagai pemenang oleh kedua kubu yang berturung. Masyarakat pun terbelah dan dibuat bingung karena pendukung kedua kubu tak mampu bersabar dan menahan diri.

Dalam pada itu, salah satu yang menjadi objek perdebatan publik adalah hasil hitung cepat atau quick count (QC) sejumlah lembaga survei yang memenangkan pasangan calon 01, yang rata-rata dengan perolehan suara pada kisaran 54-55 persen. Alih-alih mengakui kekalahan berdasarkan hasil QC, kubu 02 justru mendeklarasikan kemenangan berdasarkan hasil rekapitulasi dari sekitar 350 ribu tempat pemungutan suara (TPS) dengan angka kemenangan sebesar 62 persen. Jumlah TPS tersebut mencakup sekitar 40 persen dari total TPS yang sekitar 810 ribu.

Lalu bagaimana kita menyikapi persoalan ini secara tepat?

QC pada dasarnya merupakan aplikasi metode statistik yang disebut survey sampling. Secara sederhana, metode ini digunakan untuk memperkirakan parameter populasi, yang dalam hal ini adalah perolahan suara setiap pasangan calon, dengan hanya mengamati perolehan suara di sejumlah TPS yang disebut sampel.

Jumlah sampel yang relatif kecil, yakni kurang dari satu persen dari total TPS (sekitar 2000 TPS), dan pemanfaatan teknologi informasi memungkinkan hasil perkiraan dapat diketahui secara cepat tanpa harus menunggu proses penghitungan dan rekapitulasi suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selesai dilakukan.

Sepanjang dilaksanakan sesuai dengan kaidah statistik, hasil QC akan menyajikan perkiraan yang sangat akurat. Hal ini telah dibuktikan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden sebelumnya. Hasil QC hampir selalu berbeda tipis dengan hasil resmi yang dirilis oleh KPU.

Kekuatan utama dari QC adalah pemilihan sampel acak (random sampling). Dengan teknik ini, pemilihan sampel dilakukan secara acak (random) untuk memastikan bahwa sampel yang diamati, meski jumlahnya relatif kecil terhadap total jumlah populasi, dapat dengan baik merepresentasikan populasi. Teknik ini juga mencegah terjadinya bias dalam pemilihan sampel.

Karena itu, angka kemenangan sebesar 62 persen yang dinyatakan oleh kubu 02 bisa jadi tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnyan (bias) karena 350 ribu TPS, yang direkapitulasi datanya, tidak menyebar secara merata dan hanya terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang menjadi kantong suara paslon 02.

Namun patut dicatat, hasil QC tidak sepenuhnya bebas dari kesalahan (errors). Secara umum, dalam pelaksanaan QC ada dua sumber kesalahan, yakni sampling error dan non-sampling error. Kesalahan pertama terkait dengan teknik pemilihan sampel. Kesalahan ini muncul karena perkiraan didasarkan pada data sampel, bukan keseluruhan populasi.

Dalam prakteknya, kesalahan jenis pertama dapat diukur dan dikendalikan oleh pelaku survei. Inilah yang kemudian dikenal dengan ambang batas kesalahan atau margin of error (MoA). MoA umumnya didesain sangat kecil, yakni tidak lebih dari 1 persen. Itu artinya kemungkinan besar (99 persen) hasil QC hanya meleset kurang dari 1 persen dari hasil perhitungan resmi KPU.

Sementara itu, kesalahan jenis kedua berhubungan dengan berbagai aspek di luar teknik pemilihan sampel. Dalam prakteknya, kesalahan jenis ini seringkali tidak terukur dan tidak teramati. Dalam konteks QC, kesalahan ini borpetensi terjadi dalam banyak bentuk, misalnya, kesalahan petugas dalam melaporkan perolehan suaru di TPS yang menjadi tanggung jawabnya dan moral hazard. Namun demikian, hal ini dapat diminimalisir melalui pelatihan petugas dan quality control yang ketat.

Penulis meyakini bahwa lembaga survei tidak main-main terkait dua jenis kesalahan ini. Pasalnya, reputasi mereka dipertaruhkan dan bakal hancur jika hasil QC melenceng jauh dari hasil perhitungan resmi KPU (real count). Namun demikian, mencap bahwa mereka yang skeptis atau tidak percaya dengan hasil QC meremehkan atau tidak percaya terhadap metode ilmiah juga tidak bijak.

Selama hasil real count KPU belum tersedia, setiap orang berhak untuk skeptis bahkan tidak percaya terhadap hasil QC. Bukankah hasil sebuah metode ilmiah, termasuk QC, harus disikapi secara skeptis dan diuji secara kritis sebelum diterima sebagai kebenaran?

Untuk meyakinkan publik bahwa hasil QC yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan, salah satu upaya yang dapat dilakukan lembaga survei adalah men-share basis data hasil QC yang dilengkapi  identitas TPS sampel dan deskripsi mengenai desain sampling yang digunakan. Informasi ini kemudian diverifikasi dan diuji secara ilmiah oleh mereka yang memiliki kompetensi survey sampling.

Mengapa keraguan bahkan resistensi terhadap hasil QC muncul padahal secara (teori)  ilmiah dapat diandalkan? Saya kira, salah satu penyebabnya adalah perbedaan yang cukup mencolok antara hasil survei elektabilitas sebelum (bahkan menjelang) hari pencoblosan dan hasil resmi KPU. Ini terjadi dalam banyak kesempatan. Contoh yang paling kentara adalah hasil pilkada DKI Jakarta dan Jawa Barat lalu.  Meski pintu justifikasi dan post analysis terbuka lebar karena ada jeda waktu antara saat pelaksanaan survei dan hari pencoblosan, hal ini harus menjadi bahan evaluasi lembaga survei. 

Rilis hasil survei elektabilitas juga dibumbui narasi bahwa pilpres sudah usai dengan selisih elektabilitas kedua paslon hingga 20 persen. Secara psikologis, hal ini tentu berdampak kepada keputusan pimilih di bilik suara. Pertanyaannya, lembaga survei sedang melakukan opinion pollsters atau shaping public opinion, atau keduanya? Pertanyaan ini muncul karena pada saat yang sama sumber pendanaan survei kurang transparan dan preferensi politik penyelenggara survei.

Terlepas dari itu semua, langkah terbaik yang dapat dilakukan oleh kedua pihak adalah menunggu hasil perhitungan resmi KPU serta mengawal jalannya proses tersebut agar hasilnya dapat diterima secara legawa oleh kedua kubu. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun