Sementara itu, kesalahan jenis kedua berhubungan dengan berbagai aspek di luar teknik pemilihan sampel. Dalam prakteknya, kesalahan jenis ini seringkali tidak terukur dan tidak teramati. Dalam konteks QC, kesalahan ini borpetensi terjadi dalam banyak bentuk, misalnya, kesalahan petugas dalam melaporkan perolehan suaru di TPS yang menjadi tanggung jawabnya dan moral hazard. Namun demikian, hal ini dapat diminimalisir melalui pelatihan petugas dan quality control yang ketat.
Penulis meyakini bahwa lembaga survei tidak main-main terkait dua jenis kesalahan ini. Pasalnya, reputasi mereka dipertaruhkan dan bakal hancur jika hasil QC melenceng jauh dari hasil perhitungan resmi KPU (real count). Namun demikian, mencap bahwa mereka yang skeptis atau tidak percaya dengan hasil QC meremehkan atau tidak percaya terhadap metode ilmiah juga tidak bijak.
Selama hasil real count KPU belum tersedia, setiap orang berhak untuk skeptis bahkan tidak percaya terhadap hasil QC. Bukankah hasil sebuah metode ilmiah, termasuk QC, harus disikapi secara skeptis dan diuji secara kritis sebelum diterima sebagai kebenaran?
Untuk meyakinkan publik bahwa hasil QC yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan, salah satu upaya yang dapat dilakukan lembaga survei adalah men-share basis data hasil QC yang dilengkapi  identitas TPS sampel dan deskripsi mengenai desain sampling yang digunakan. Informasi ini kemudian diverifikasi dan diuji secara ilmiah oleh mereka yang memiliki kompetensi survey sampling.
Mengapa keraguan bahkan resistensi terhadap hasil QC muncul padahal secara (teori) Â ilmiah dapat diandalkan? Saya kira, salah satu penyebabnya adalah perbedaan yang cukup mencolok antara hasil survei elektabilitas sebelum (bahkan menjelang) hari pencoblosan dan hasil resmi KPU. Ini terjadi dalam banyak kesempatan. Contoh yang paling kentara adalah hasil pilkada DKI Jakarta dan Jawa Barat lalu. Â Meski pintu justifikasi dan post analysis terbuka lebar karena ada jeda waktu antara saat pelaksanaan survei dan hari pencoblosan, hal ini harus menjadi bahan evaluasi lembaga survei.Â
Rilis hasil survei elektabilitas juga dibumbui narasi bahwa pilpres sudah usai dengan selisih elektabilitas kedua paslon hingga 20 persen. Secara psikologis, hal ini tentu berdampak kepada keputusan pimilih di bilik suara. Pertanyaannya, lembaga survei sedang melakukan opinion pollsters atau shaping public opinion, atau keduanya? Pertanyaan ini muncul karena pada saat yang sama sumber pendanaan survei kurang transparan dan preferensi politik penyelenggara survei.
Terlepas dari itu semua, langkah terbaik yang dapat dilakukan oleh kedua pihak adalah menunggu hasil perhitungan resmi KPU serta mengawal jalannya proses tersebut agar hasilnya dapat diterima secara legawa oleh kedua kubu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H