Pemilu serentak baru saja usai. Seolah mengulang apa yang terjadi pada pemilu 2014 silam, hari-hari setelahnya diwarnai aksi saling klaim sebagai pemenang oleh kedua kubu yang berturung. Masyarakat pun terbelah dan dibuat bingung karena pendukung kedua kubu tak mampu bersabar dan menahan diri.
Dalam pada itu, salah satu yang menjadi objek perdebatan publik adalah hasil hitung cepat atau quick count (QC) sejumlah lembaga survei yang memenangkan pasangan calon 01, yang rata-rata dengan perolehan suara pada kisaran 54-55 persen. Alih-alih mengakui kekalahan berdasarkan hasil QC, kubu 02 justru mendeklarasikan kemenangan berdasarkan hasil rekapitulasi dari sekitar 350 ribu tempat pemungutan suara (TPS) dengan angka kemenangan sebesar 62 persen. Jumlah TPS tersebut mencakup sekitar 40 persen dari total TPS yang sekitar 810 ribu.
Lalu bagaimana kita menyikapi persoalan ini secara tepat?
QC pada dasarnya merupakan aplikasi metode statistik yang disebut survey sampling. Secara sederhana, metode ini digunakan untuk memperkirakan parameter populasi, yang dalam hal ini adalah perolahan suara setiap pasangan calon, dengan hanya mengamati perolehan suara di sejumlah TPS yang disebut sampel.
Jumlah sampel yang relatif kecil, yakni kurang dari satu persen dari total TPS (sekitar 2000 TPS), dan pemanfaatan teknologi informasi memungkinkan hasil perkiraan dapat diketahui secara cepat tanpa harus menunggu proses penghitungan dan rekapitulasi suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selesai dilakukan.
Sepanjang dilaksanakan sesuai dengan kaidah statistik, hasil QC akan menyajikan perkiraan yang sangat akurat. Hal ini telah dibuktikan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden sebelumnya. Hasil QC hampir selalu berbeda tipis dengan hasil resmi yang dirilis oleh KPU.
Kekuatan utama dari QC adalah pemilihan sampel acak (random sampling). Dengan teknik ini, pemilihan sampel dilakukan secara acak (random) untuk memastikan bahwa sampel yang diamati, meski jumlahnya relatif kecil terhadap total jumlah populasi, dapat dengan baik merepresentasikan populasi. Teknik ini juga mencegah terjadinya bias dalam pemilihan sampel.
Karena itu, angka kemenangan sebesar 62 persen yang dinyatakan oleh kubu 02 bisa jadi tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnyan (bias) karena 350 ribu TPS, yang direkapitulasi datanya, tidak menyebar secara merata dan hanya terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang menjadi kantong suara paslon 02.
Namun patut dicatat, hasil QC tidak sepenuhnya bebas dari kesalahan (errors). Secara umum, dalam pelaksanaan QC ada dua sumber kesalahan, yakni sampling error dan non-sampling error. Kesalahan pertama terkait dengan teknik pemilihan sampel. Kesalahan ini muncul karena perkiraan didasarkan pada data sampel, bukan keseluruhan populasi.
Dalam prakteknya, kesalahan jenis pertama dapat diukur dan dikendalikan oleh pelaku survei. Inilah yang kemudian dikenal dengan ambang batas kesalahan atau margin of error (MoA). MoA umumnya didesain sangat kecil, yakni tidak lebih dari 1 persen. Itu artinya kemungkinan besar (99 persen) hasil QC hanya meleset kurang dari 1 persen dari hasil perhitungan resmi KPU.