Kota apakah di dunia ini yang paling nyaman untuk dihuni?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sejak 2007 Economist Intelligence Unit (EIU) telah menyusun sebuah ukuran kuantitatif yang bertujuan untuk mengukur tingkat kenyamanan (liveability rating) kota-kota utama dunia yang tersebar di 140 negara.
Hasil survei yang dilaksanakan EIU pada tahun ini dan dirilis pada Agustus lalu kembali menobatkan kota Melbourne di Australia sebagai kota paling nyaman di dunia (the most liveable city in the world) dengan rating nyaris sempurna, yakni sebesar 97,5 pada skala 0-100. Dengan capaian ini, Melbourne berhasil mempertahankan posisinya sebagai kota ternyaman di dunia selama tujuh tahun berturut-turut sejak 2011.
Ibu kota negara bagian Victoria ini berhasil meraih skor sempurna (100) dalam hal layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Sementara untuk stabilitas serta kebudayaan dan aspek lingkungan, Melbourne mendapatkan rating masing-masing sebesar 95 dan 95,1.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa Melbourne mendapatkan rating yang sangat baik karena memiliki sejumlah kelebihan seperti ketersediaan ruang terbuka untuk rekreasi, tingkat kriminalitas yang relatif rendah, kepadatan penduduk yang rendah serta layanan pendidikan dan kesehatan yang sangat baik.
Diketahui, Melbourne memiliki sejumlah institusi pendidikan tinggi kelas dunia, seperti University of Melbourne dan Monash University sehingga menjadi salah satu tujuan utama para mahasiswa internasional yang ingin melanjutkan studi dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, Melbourne juga memiliki jaringan transportasi publik yang sangat efisien dan terintegrasi. Dengan hanya bermodalkan sebuah kartu prabayar (Myki-pass), yang dikeluarkan oleh Public Transport Victoria, misalnya, kita dapat menggunakan semua mode transportasi yang tersedia di Melbourne yang mencakup bus, trem, dan kereta listrik.
Kebutuhan utilitas (air bersih, gas, listrik, dan koneksi internet) juga terpenuhi dengan baik dan disuplai melalui sebuah sistem yang mampu menjangkau setiap rumah tangga dan entitas bisnis.
Lalu bagaimana dengan Jakarta?
Meski hasil survei EIU memperlihatkan bahwa tingkat kenyamanan hidup di Jakarta terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejak 2007, rating Jakarta masih berada pada kisaran 50-60. Itu artinya, secara umum tingkat kenyamanan hidup di Jakarta boleh dibilang relatif rendah (substantially constrained).
Sekadar gambaran, pada 2015 misalnya, Jakarta hanya mendapatkan overall rating sebesar 54,6 dengan rincian rating stabilitas sebesar 50,5, layanan kesehatan 45,8 (sangat rendah), budaya dan lingkungan 59,3, pendidikan 66,7, dan infrastruktur 57,1.
Tidak mengherankan bila dengan raihan ini, Jakarta hanya menempati peringkat 116 dari 140 negara yang dicakup dalam survei pada 2015. Dalam soal kenyamanan hidup, di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) Jakarta bahkan kalah bersaing dengan Singapura (49), Kuala Lumpur (73), Bandar Sri Begawan (101), Bangkok (102), dan Manila (104).
Dengan segala tantangan yang dihadapi, Jakarta memang memiliki segudang pekerjaan rumah yang harus dibereskan untuk menjadi kota yang nyaman bagi warganya. Kita berharap hal ini dapat menjadi fokus utama gubernur dan wakil gubernur yang baru saja terpilih, yakni bagaimana menata Jakarta agar lebih baik dalam lima tahun mendatang.
Sejumlah masalah mendasar seperti banjir, kemacetan lalu lintas, hunian yang layak, transportasi publik, ketersediaan ruang terbuka hijau untuk rekreasi, kemiskinan kota serta kesenjangan sosial yang semakin melebar harus menjadi agenda prioritas untuk dibenahi. Terkait hal ini, pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa mengambil pelajaran berharga dari pengalaman kota-kota lain di dunia yang sudah maju, terutama kota-kota yang memiliki karakteristik yang mirip dengan Ibu Kota.
Patut diperhatikan bahwa mengurus kota sebesar Jakarta bukanlah perkerjaan yang remeh. Karena itu, terlalu sederhana jika persoalan membereskan Ibu Kota hanya direduksi pada isu siapa yang menjadi pemimpin. Dengan segala kompleksitasnya, keberhasilan dalam membangun dan menata Jakarta bukanlah one man show yang hanya bisa dibebankan pada pundak seorang gubernur dan wakilnya.
Membangun Jakarta adalah sebuah kerja kolektif dan jangka panjang yang membutuhkan peta jalan yang jelas dan partisipasi aktif semua pihak. Hanya dengan sinergi antara pemimpin dan warganya, kota yang telah berumur 489 tahun ini dapat mensejajarkan diri dengan kota-kota lain di dunia yang sudah lebih maju. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H