Celakanya, kekurangan gizi kronik memiliki dampak yang permanen. Itu artinya, balita yang mengalami kekurangan gizi kronik akan tumbuh menjadi generasi dengan tingkat kapabilitas yang rendah, terutama dari sisi kesehatan dan kemampuan kognitif. Kondisi ini mengakibatkan mereka tidak bisa berkontribusi maksimal terhadap kemajuan masyarakat karena daya saing yang rendah.
Padahal diketahui bersama bahwa saat ini Indonesia sedang menikmati bonus demografi yang ditandai dengan komposisi penduduk yang didominasi kelompok usia produktif (antara 15 sampai 64 tahun). Dalam dua puluh tahun mendatang, balita yang saat ini mengalami kekurangan gizi kronik tentu akan menjadi bagian dari kelompok usia produktif tersebut.Â
Bonus demografi, yang diproyeksikan akan berlangsung hingga tahun 2030, merupakan modal penting bagi Indonesia dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional melalui kontribusi kelompok usia produktif di pasar kerja dan konsumsi domestik. Dengan demikian, Indonesia dapat mengulang kisah sukses Jepang, Cina, dan Korea Selatan yang telah berhasil memanfaatkan momentum bonus demografi untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Namun patut dicatat, hal ini hanya bisa optimal jika kelompok usia produktif, yang diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi, memiliki kapabilitas (tingkat pendidikan dan kesehatan) yang mumpuni dan berdaya saing.Â
Karena itu, laporan IFPRI ini harus menjadi perhatian serius dan bahan evaluasi pemerintah. Kita sebaiknya tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi pangan. Di samping mengejar swasembada, pemerintah juga harus memastikan bahwa setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan baik.
Terkait hal ini, jaminan bahwa setiap penduduk, terutama kelompok masyarakat miskin, memiliki akses terhadap pangan yang murah, mencukupi, dan sehat harus menjadi prioritas. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H