Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money

Ndeso, Sebuah Tantangan Pembangunan

8 Juli 2017   08:31 Diperbarui: 8 Juli 2017   08:42 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini istilah ndeso yang sempat dipopulerkan pelawak Tukul Arwana kembali naik daun. Penyebabnya adalah vidoe yang diunggah oleh putra Presiden Jokowi di media sosial. Pihak yang tersinggung dengan penggunaan istilah ndeso dalam video tersebut kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian sebagai bentuk ujaran kebencian.

Menurut sosiolog UGM Arie Sudjito, istilah ndeso menunjukkan sesuatu yang terbelakang, udig, dan jauh dari kemajuan (Tempo, 20 Juli 2017). Sementara itu, saat menghadiri acara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) di Bandung pada 2014 silam, pak Jokowi menyatakan bahwa mereka yang menjelekkannya karena berwajah ndeso telah merendahkan masyarakat pedesaan yang sebagian besar adalah petani. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan beliau berikut:

"Banyak yang menjelekkan saya, katanya wajah saya wajah 'ndeso', artinya menjelekkan orang desa kan. Hati-hati itu artinya meremehkan kita semua kan,"(sumatra.bisnis.com, 03 Juli 2014).

Itu artinya, secara tidak langsung, pak Jokowi memaknai istilah ndeso sebagai sesuatu yang melekat pada masyarakat pedesaan yang umumnya petani.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan daerah pedesaan dan perkotaan di Indonesia dengan menggunakan sebuah indeks yang dibangun dari sejumlah  variabel, seperti kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, fasilitas perkotaan, sarana pendidikan formal, dan sarana kesehatan umum.

Berdasarkan pengelompokkan ini, populasi masyarakat pedesaan (orang desa) diperkirakan mencapai 46.7 persen dari total jumlah penduduk Indonesia pada 2015 yang mencapai 255.46 juta jiwa.

Itu artinya, hampir separuh penduduk Indonesia tinggal di desa.  Tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa jika persolan sosial-ekonomi yang membelit masyarakat pedesaan mampu diselesaikan, maka separuh persolan negeri ini telah terpecahkan.

Urbanisasi yang sangat pesat selama beberapa dasawarsa terakhir telah mentransformasi negeri ini dari masyarakat yang bercorak pedesaan menjadi masyarakat urban. Hal ini tercermin dari peningkatan tajam proporsi penduduk perkotaan (orang kota) dari 22.3 persen  pada 1980 menjadi  53.3 persen pada 2015. Proporsi penduduk perkotaan bahkan diproyeksikan bakal mencapai 66.6 persen pada 2035.

Urbanisasi yang pesat ini disebabkan oleh dua hal, yakni migrasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota dan perluasan wilayah perkotaan akibat daerah yang semula pedesaan berkembang menjadi perkotaan.

Faktanya, kesenjangan pembangunan antara daerah pedesaan dan perkotaan merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini nampaknya disebabkan oleh pembangunan yang selama ini lebih berpusat di daerah perkotaan. Dengan kata lain, pembangunan yang terjadi bias ke kota.

Sejalan dengan makna konotatif yang melekat pada istilah ndeso, hingga kini masyarakat pedesaan---dalam banyak hal---jauh tertinggal bila dibandingkan dengan saudara-saudaranya di perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun