Beberapa hari yang lalu, bersama seorang kawan, saya berburu oleh-oleh di Queen Victoria Market. Pasar ini merupakan salah satu ikon kota Melbourne yang telah berumur lebih dari 130 tahun. Berdasarkan informasi dari laman Wikipedia, pasar ini pertama kali dibuka pada 1878.
Di tengah perkembangan kota Melbourne yang tumbuh pesat dan kian modern, pasar ini tidak kehilangan ciri khasnya. Gaya arsitektur Viktoria yang kuat masih bisa kita jumpai di pasar yang kini dikepung oleh gedung-gedung pencakar langit ini.
Meski merupakan pasar tradisional, Queen Victoria Market boleh dibilang pasar modern untuk ukuran Indonesia. Pasarnya bersih, tertata rapi, dan tidak semrawut. Ini sangat jauh berbeda dengan kondisi yang biasa kita jumpai pada sebagian besar pasar traditional di tanah air.
Di pasar ini, beraneka jenis barang dijajakan, mulai dari kebutuhan hidup sehari-hari seperti daging, ikan, sayuran segar, buah-buahan hingga barang-barang tahan lama seperti pakaian, mainan anak-anak, dan cenderamata. Dari sisi barang yang didagangkan, kondisinya mirip Pasar Inpres di Serdang, Kemayoran.
Seperti di Indonesia, penjual daging, ikan, sayuran, dan buah segar di pasar ini juga sedikit gaduh. Mereka acapkali berteriak untuk menarik perhatian pembeli. Teriakannya tentu dalam bahasa Inggris.
Bedanya, kondisi pasar relatif bersih dan tidak becek. Sampah pasar dikelola dengan baik. Daging dan ikan diletakkan di dalam kotak kaca sehingga lebih higienis. Tidak ada lalat yang beterbangan ke sana kemari tentunya.
Jika Anda berkesampatan datang ke Melbourne dan ingin membeli oleh-oleh, mampirlah di pasar ini. Membeli oleh-oleh dari penjual asal Indonesia tentu sangat direkomendasikan. Kalau beruntung, Anda bisa dapat potongan harga.
Hari itu, salah satu penjual kaos yang kami sambangi adalah pasangan suami-istri asal Indonesia yang sudah lebih dari dua puluh tahun bermukin di Australia. Selain membeli kaos, kami sempat berdiskusi sejenak dengan keduanya tentang kondisi Indonesia terkini. Apalagi yang dibahas kalau bukan soal politik yang bikin gaduh media sosial. Rupanya, panasnya suhu politik tanah air juga dirasakan oleh warga Indonesia di perantauan.
Ditemani suaminya, ibu penjual kaos coba memancing diskusi dengan bertanya ihwal posisi saya dalam menyikapi situasi politik di tanah air. Tanpa panjang lebar, ia langsung bertanya apakah saya pendukung Habib Rizieq atau bukan.
Saya mencoba diplomatis dengan menjawab bahwa sebagai pegawai negeri sipil yang pekerjaannya menghasilkan data, saya harus berada pada posisi yang netral dan objektif. Saya tentu memiliki sikap dan keberpihakan politik, tapi hal ini urusan pribadi yang tidak harus disampaikan secara terbuka.
Selanjutnya, saya lebih banyak mendengarkan keluh kesah yang ia sampaikan dan memberi tanggapan sekenanya.
Pada dasarnya, ia sangat menyayangkan kondisi yang terjadi saat ini. Sesama anak bangsa seharusnya kita tidak terbelah dan saling bermusuhan. Menurut suaminya, apa yang terjadi saat ini hanyalah sesuatu yang sengaja diciptakan oleh para elit demi kepentingan politik kekuasaan. Salah satu tujuan jangka pendeknya adalah pemilihan umum yang bakal dihelat pada 2019. Karena itu, menurutnya, kita sebaiknya jangan terbawa oleh permainan politik para elit.
Ia juga mengomentari sejumlah hal yang sempat viral di media sosial. Salah satunya adalah tanda pagar #saya_Indonesia dan #saya_Pancasila yang sempat meramaikan lini masa media sosial tanah air beberapa waktu yang lalu.
Ia pribadi tidak setuju dengan kedua tanda pagar tersebut. Baginya, kata saya terkesan eksklusif, membangun jarak, dan tidak kohesif. Yang pas menurutnya adalah #kita_Indonesia dan #kita_pancasila karena Indonesia adalah milik kita bersama dan Pancasila adalah rumah kita.
Saya sampaikan bahwa saya sangat setuju dengannya. Setidaknya, ia telah membuktikan hal tersebut dengan memberi potongan harga 4 dolar untuk tiga potong kaos yang saya beli. (*k)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H