Dewasa ini, sektor pertanian tanaman pangan kita tengah dihadapkan pada sejumlah tantangan yang tak mudah. Permintaan pangan terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan daya beli masyarakat, namun hal tersebut tak diimbangi dengan kemampuan berproduksi.
Tantangan kian berat karena pada saat yang sama pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk swasembada, bahkan berdaulat, dalam hal pemenuhan pangan. Itu artinya, kebutuhan pangan penduduk negeri ini harus dipenuhi dari produksi sendiri, tak boleh impor.
Kekeringan yang terjadi secara masif belakangan ini merupakan bukti beratnya tantangan di sektor tanaman pangan. Iklim kian tak menentu dan sulit ditebak.
Di Kecamatan Cirau, Kabupaten Bogor, misalnya, dampak kekeringan begitu hebat. Hampir semua tanaman padi sawah di kecamatan itu puso dan gagal panen. Tak kurang dari 1.700 hektar tanaman padi sawah mati merangas.
Padahal, ongkos produksi yang dikeluarkan sangat besar. Ongkos pengolahan lahan, pupuk, dan benih seolah menguap begitu saja di telan kemarau. Bantuan pompa (pompanisasi) dari pemerintah tak bisa berbuat banyak. Apa yang hendak dipompa kalau sumber airnya tidak ada. Jangankan untuk bertani, untuk kebutuhan hidup sehari-hari air pun susah.
Para petani di sana hanya bisa mengelus dada. Seraya berpikir keras, memutar otak, untuk bertahan hidup selama 8 bulan ke depan. Apa yang harus dijual? Mesti mengutang ke mana?.
Kekeringan hanyalah salah satu tantangan dari sederet tantangan lain: umur petani yang semakin tua karena rendahnya minat generasi muda untuk bertani, serangan hama/OPT, jaringan irigasi yang sebagian besar rusak, mahalnya harga input produksi, hingga harga yang jatuh saat panen raya.
Celakanya, pada saat yang sama, sumber daya manusia di sektor pertanian banyak yang tak bisa diandalkan. Para penyuluh, misalnya, banyak yang tidak memiliki ilmu tentang bertani. Alih-alih memberi penyuluhan, mereka justru magang dan belajar dari petani. Lalu, di mana letak makna kata “penyuluhan” itu?
Penyebabnya, sebagian mereka ternyata tak memiliki latar belakang ilmu pertanian, bahkan tidak jarang mereka hanyalah tenaga harian lepas lulusan Sekolah Menengah Atas jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Sungguh miris, karena mereka sebetulnya merupakan ujung tombak keberhasilan program introduksi teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi.
Petugas pengumpul data pertanian juga setali tiga uang. Banyak yang tidak memiliki latar belakang ilmu pertanian, tapi sarjana agama yang hanya bisa memimpin doa dan mengisi ceramah agama atau sarjana pendidikan. Walhasil, akurasi data-data pertanian, khususnya tanaman pangan, cukup memprihatinkan.
Contoh paling mudah adalah soal konversi lahan sawah. Faktanya, sawah-sawah subur kita banyak yang diurug kemudian ditanami beton untuk perumahan, pabrik, dan jalan tol. Tapi anehnya, luas baku lahan sawah tak pernah dilaporkan berkurang. Kalaupun dilaporkan berkurang, angkanya jauh lebih kecil dari yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Akibatnya, ramalan produksi padi terus menanjak, menyodok langit, dari tahun ke tahun. Sawah dan beras hanya ada di atas kertas, semu. Jadi, tak usah heran kalau banyak program pemerintah yang melencang dari sasaran meski telah menghabiskan anggaran triliunan rupiah. Pasalnya, perencanaan program-program tersebut didasarkan pada data yang tidak akurat.
Semoga ada upaya serius dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk membenahi persoalan-persoalan tersebut. Selebihnya kita hanya bisa berdoa, semoga sektor pertanian tanaman pangan negeri ini, sumber pangan kita semua, bisa lebih baik di masa yang akan datang. (*)
[caption caption="Sumber: images.solopos.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H