Hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (ST2013) memperlihatkan bahwa budidaya tanaman kakao di negeri ini melibatkan 2,19 juta rumah tangga. Bila diasumsikan setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, itu artinya ada sekitar 9 juta penduduk negeri ini yang kehidupan ekonominya bersentuhan langsung dengan usaha tani kakao.
Sekitar 34,4 persen dari jumlah total rumah tangga kakao tersebut terdapat di Pulau Sulawesi. Di sana, di pedalaman Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, banyak petani yang jarang bahkan tak pernah mencicipi nikmatnya sepotong cokelat, meski bahan baku utamanya disuplai oleh mereka.
Mungkin, mimpi menjadi salah satu produsen dan pengekspor cokelat terbesar di dunia terlalu tinggi dan muluk-muluk bagi kita, meski potensi untuk itu sejatinya cukup besar.
Saat ini, yang terpenting adalah ada upaya serius dari pemerintah untuk mendorong pengembangan industri pengolahan biji kakao agar nilai tambahnya bisa ditingkatkan. Syukur-syukur kalau produk akhirnya bisa dalam bentuk bubuk atau batangan cokelat made in Indonesia.
Hal tersebut menjadi penting untuk dilakukan, sebab, tidak hanya dapat mendorong peningkatan konsumsi cokelat penduduk Indonesia karena harga cokelat yang lebih murah, tapi juga dapat membuka lapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup jutaan petani kakao di negeri ini, yang kehidupan ekonominya acap kali tak selezat rasa sepotong cokelat. (*)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H