Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Buruh Tani yang Tetap Miskin

1 Mei 2015   19:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:28 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_414181" align="alignnone" width="620" caption="sumber tempo.co"][/caption]

Seperti biasa, hari ini diperingati sebagai hari buruh internasional. Terkait hal ini sebuah pertanyaan mengemuka: apakah para buruh tani juga termasuk mereka yang pantas merayakannya? Faktanya, nasib buruh tani di negeri ini, yang saban hari bergumul dengan kemiskinan, kerap terlupakan di hari buruh, hari ketika tuntutan perbaikan kesejahteraan dan kenaikan standar pengupahan disuarakan secara lantang dengan cara turun ke jalan.

Padahal, kalau bicara soal kesejahteraan, nasib buruh tani lebih layak untuk disuarakan dan diperjuangkan. Mereka dan keluarganya merupakan salah satu fraksi terbesar penduduk miskin negeri ini, selain petani gurem. Jumlah mereka ditaksir sekitar 5 juta orang.

Tak bisa dimungkiri, hingga kini kemiskinan tetap menjadi fenomena sektor pertanian. Pasalnya, sebagian besar penduduk miskin negeri ini tinggal di desa dan menggantungkan hidup pada sektor pertanian, umumnya, sebagai petani atau buruh tani.

Statistik kemiskinan resmi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di tanah air mencapai 27,73 juta orang atau mencakup 10,96 persen dari jumlah total penduduk Indonesia pada September 2014. Mayoritas dari jumlah total penduduk miskin tersebut tinggal di pedesaan dengan persentase mencapai 62,6 persen.

Namun apa daya, para buruh tani adalah kaum marginal di negeri ini. Mereka hanyalah kumpulan orang-orang—paling tinggi tamatan sekolah dasar—yang tidak memiliki kemewahan untuk berserikat, berorganisasi, atau apapun namanya untuk menuntut perbaikan kesejahteraan di ruang publik.

Sebagai pekerja di sektor informal, mereka juga tak punya posisi tawar yang cukup kuat untuk menuntut kenaikan upah. Tak seperti pekerja di sektor formal (karyawan), mereka tak mengenal istilah upah minimum regional (UMR). Jadi, tak usah heran bila upah mereka lebih rendah bila dibandingkan dengan upah pekerja kasar lainnya. Misalnya, upuh buruh bangunan.

[caption id="attachment_414179" align="aligncenter" width="624" caption="diolah dari data BPS"]

1430483418395445948
1430483418395445948
[/caption]

Data BPS memperlihatkan, upah harian buruh tani sepanjang tahun 2014 rata-rata hanya sebesar Rp45 ribu. Upah nominal sebesar itu tentu jauh dari cukup untuk menyelamatkan buruh tani dan keluarganya dari jerat kemiskinan. Betapa tidak, garis kemiskinan di pedesaan pada September tahun lalu sebesar Rp296,68 ribu per kapita per bulan. Artinya, suatu rumah tangga yang terdiri dari empat anggota, bakal berkategori miskin jika memiliki pengeluaran kurang dari Rp1,2 juta per bulan.

Sedihnya, bagi buruh tani, hidup kian pelik karena faktanya daya beli mereka terus merosot meski pada saat yang sama upah yang mereka terima mengalami kenaikan. Musababnya, kenaikan upah nominal tersebut—yang tak seberapa jumlahnya—tak mampu mengimbangi kenaikan biaya hidup akibat harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung.

Jika pemerintah peduli terhadap kesejahteran buruh tani, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memberi mereka lahan garapan. Tanpa lahan pertanian, mereka yang umumnya memiliki tingkat kapabilitas yang rendah dan minim keahlian serta amat bergantung pada ekonomi usaha tani, bakal sulit keluar dari kubangan kemiskinan.

Pada masa kampanye lalu, salah satu janji yang diobral oleh pasangan Jokowi-JK adalah reforma agraria. Salah satu bentuk implementasi janji tersebut adalah kepemilikan lahan pertanian untuk 4,5 juta kepala keluarga. Konon, para buruh tani dan petani gurem termasuk yang diprioritaskan dalam rencana bagi-bagi lahan tersebut. Karena itu, sudah saatnya janji tersebut direalisasikan. Jangan sekadar menjadi ingin surga. Dengan demikian, kesejahteraan para buruh tani dan keluarganya dapat ditingkatkan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun