Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Di Balik Penurunan Angka Konsumsi Beras Masyarakat Indonesia

29 Maret 2015   12:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:50 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_406207" align="aligncenter" width="600" caption="Demo menanak nasi di Kantor Wapres (Sumber: metronews.com)"][/caption]

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) punya cara unik untuk memastikan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia: demo menanak nasi di Kantor Wakil Presiden (Kompas, 22 Maret). Hari itu (20 Maret) ada empat takaran beras yang dimasak untuk membuktikan angka konsumsi beras mana yang paling menggambarkan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia.

Hal ini sangat penting dilakukan karena angka kebutuhan (konsumsi) beras nasional merupakan data yang sangat penting. Data tersebut menyangkut kebijakan pemerintah terkait impor beras dan pencapaian swasembada beras nasional. Jika tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia yang paling akurat diketahui, kebutuhan beras nasional dapat dihitung dengan tepat.

Sekadar diketahui, saat ini ada empat angka konsumsi beras per kapita yang menggambarkan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia. Angka pertama adalah data Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 87,63 kilogram per tahun atau 240 gram per hari. Data tersebut merupakan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang hanya memotret konsumsi beras di dalam rumah tangga.

Angka kedua adalah data yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yakni sebasar 124,89 kilogram per tahun atau 340 gram per hari. Ketiga adalah angka konsumsi sebesar 139,15 kilogram per tahun atau 381 gram per hari yang merupakan hasil kesepakatan bersama BPS, Badan Ketahanan Pangan, dan praktisi serta ahli pertanian. Keempat adalah data BPS sebesar 114,8 kilogram per tahun atau 315 gram per hari, yang merupakan kombinasi antara konsumsi beras di rumah tangga hasil Susenas dan konsumsi beras di luar rumah tangga hasil Survei Konsumsi Beras Nasional pada tahun 2012.

Hasil demo menanak nasi hari itu menyimpulkan bahwa data keempat merupakan angka konsumsi beras yang paling mendekati tigkat konsumsi beras masyarakat Indonesia. Kesimpulan tersebut memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia ternyata tidak sebanyak seperti yang dibayangkan  selama ini. Selain itu, tingkat konsumsi tersebut ternyata terus menurun secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir.

Hasil Susenas menunjukkan bahwa sepanjang 2010-2014 tingkat konsumsi beras rumah tangga Indonesia terus menurun secara konsisten dengan rerata laju penurunan sebesar -0,2 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa secara perlahan-lahan tingkat ketergantungan masyarkat Indonesia terhadap beras sebagai satu-satunya sumber asupan karbohidrat terus berkurang.

Tentu hal tersebut merupakan sebuah kecenderungan yang menggembirakan. Itu artinya, diversifikasi atau penganekaragaman pangan terjadi di masyarakat dan peningkatan kebutuhan beras nasional dapat ditekan. Dengan demikian, swasembada beras bisa diwujudkan sehingga negeri ini tak perlu mengimpor beras dari luar negeri karena kebutuhan beras nasional dapat dipenuhi sepenuhnya oleh petani kita.

Namun demikian,  ada fakta yang sedikit merisaukan di balik penurunan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia. Penurunan  tersebut ternyata tidak dibarengi peningkatan konsumsi komoditas pangan lokal yang merupakan sumber karbohidrat selain beras. Tapi, yang meningkat justru konsumsi produk olahan tepung  terigu, terutama mie instan dan roti.

Hasil Susenas memperlihatkan, selama periode 1996-2011, laju peningkatan pangsa pengeluaran rumah tangga Indonesia yang dialokasikan untuk membeli mie instan mencapai 5,95 persen per tahun. Hal ini memberi konfirmasi bahwa peran mie instan kian besar dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia.

Tidak membikin heran, bila belakangan ini mie instan merupakan salah satu komoditas yang diikutkan dalam perhitungan garis kemiskinan. Kontribusinya pun cukup besar. Pada September 2014, misalnya, mie instan merupakan salah satu dari lima komoditas makanan yang memberi andil  paling besar terhadap garis kemiskinan. Kontribusi  mie instan di pedesaan mencapai 2,41 persen, sementara di perkotaan mencapai 2,62 persen (BPS, 2015).

Data World Instant Noodles Association (WINA) juga memberi konfirmasi bahwa konsumsi mie instan masyarakat Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bayangkan, pada tahun 2013, konsumsi mie instan masyarakat Indonesia sudah mencapai 14,9 miliar bungkus, atau mengalami peningkatan sebesar 1 miliar bungkus bila dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2009. Itu artinya, secara rata-rata setiap orang Indonesia mengkonsumsi sekitar 60-61 bungkus atau 1,5 dus mie instan pada tahun 2013. Tingginya angka konsumsi mie instan ini menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara pengkonsumsi mie instan terbesar di dunia setelah Cina, yang konsumsinya mencapai 46,2 miliar bungkus.

Celakanya, bahan baku pembuatan mie instan adalah tepung terigu yang merupakan produk olahan gandum. Karena gandumnya harus diimpor, tak bisa dihindari, peningkatan konsumsi mie instan juga dibarengi lonjakan impor gandum. Tidak membikin heran bila kini Indonesia merupakan negara importir gandum terbesar ke-4 di dunia setelah Mesir, Cina, dan Brazil dengan volume impor mencapai 7,4 ton atau senilai US$3 miliar pada kurun 2013-2014 (Koran Jakarta, 12 April 2014). Itu artinya, volume impor dan banyaknya devisa yang dihabiskan untuk impor gandum sebetulnya  lebih besar dari impor beras. Indonesia bahkan diramalkan bakal menjadi importir gandum terbesar di dunia dalam lima tahun mendatang.

Karena itu, tren peningkatan impor gandum juga harus disikapi secara serius oleh pemerintah. Sedikitnya ada dua hal yang dapat dilakukan untuk mengerem laju peningkatan impor gandum. Pertama, pengembangan komoditas pengganti gandum sebagai penghasil tepung terigu harus didorong oleh pemerintah. Salah satu komoditas yang potensial untuk dikembangkan sebagai pengganti gandum adalah sagu. Sayangnya, komoditas ini belum sepenuhnya dilirik oleh industri, meski kandungan seratnya lebih kaya dibanding gandum.

Kedua, pemerintah juga harus mendorong budidaya tanaman gandum di dalam negeri. Meskipun sejatinya merupakan tanaman sub-tropis, ada beberapa varietas gandum yang cocok dibudidayakan di iklim tropis, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan di tanah air. Upaya membudidayakan gandum di Indonesia sebetulnya sudah dirintis oleh sejumlah kalangan dan terbilang sukses. Yang dibutuhkan adalah dukungan dan upaya afirmatif dari pemerintah untuk mendorong budidaya gandum di dalam negeri dengan skala yang lebih luas. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun