Di balik pesona Yogyakarta, ternyata tersimpan persoalan pelik yang membikin kita terkesiap: kemiskinan, kondisi hidup serba kekurangan yang dialami oleh lebih dari setengah juta penduduk.
Bahkan, tingkat kemiskinan di provinsi ini adalah yang tertinggi di Pulau Jawa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada awal bulan ini (2 Januari) menyebutkan, kejadian kemiskinan (incidence of poverty) di Provinsi Dearah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada bulan September 2013 mencapai 15,03 persen. Itu artinya, 15 dari setiap 100 orang penduduk DIY tergolong miskin dengan pengeluaran kurang dari Rp303.843 per bulan.
Hal inilah yang tergambar dalam artikel berjudul “Terbungkus Pesona, Kemiskinan Yogyakarta Tertinggi Se-Jawa”, yang tayang di Kompasiana hari ini. Tapi, bernahkah potret kemiskinan ini menunjukkan bahwa DIY adalah provinsi “termiskin” di Jawa sebagaimana yang dijadikan konklusi dalam artikel tersebut? Jawabannya: tidak!
Mengapa? Angka-angka kemiskinan yang dihitung BPS sejatinya menjelaskan kondisi kemiskinan yang dialami oleh individu atau rumah tangga, bukan suatu wilayah. Jadi, kurang tepat bila suatu provinsi dengan proporsi penduduk miskin paling tinggi di suatu wilayah—katakanlah Pulau Jawa—diberi cap sebagai “provinsi termiskin” di wilayah itu.
Dalam soal DIY, pemberian cap sebagai provinsi termiskin di Jawa bakal menjadi rancu bila dihubungkan dengan fakta bahwa DIY adalah salah satu provinsi dengan pendapatan/pengeluaran per kapita tertinggi di Pulau Jawa.
[caption id="attachment_315380" align="aligncenter" width="629" caption="Sumber: Badan Pusat Statistik"][/caption]
Mudah dipahami, masih tingginya angka kemiskinan di DIY sebetulnya merupakan cermin dari pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Hal ini merupakan persoalan mendasar dari pembangunan di negeri ini. Ekonomi tumbuh mengesankan namun tidak melibatkan penduduk miskin, sehingga tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka.
Buah dari pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas adalah jurang ketimpangan ekonomi antara kelompok kaya dan kelompok miskin yang kian melebar. Data BPS menyebutkan, rasio gini—indikator ekonomi yang digunakan untuk mengukur kesenjangan ekonomi—DIY pada tahun 2013 sebesar 0,439. Angka ini tertinnggi di antara provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa. Dan itu artinya, kesenjangan ekonomi yang terjadi di DIY paling buruk se-Jawa.
Terbaik di Jawa
Namun demikian, meski persentase penduduk miskin di DIY paling tinggi se-Jawa, capaian pembangunan manusia di provinsi ini sebetulnya merupakan salah satu yang terbaik di Jawa. Hal ini tercermin dari tren perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) DIY yang mengesankan.
Pada tahun 2012, skor IPM DIY sebesar 76,75 poin. Angka ini tertinggi ke-2 di Pulau Jawa setelah DKI Jakarta (78,33 poin). Itu artinya, tingkat kapabilitas (kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan) penduduk DIY merupakan salah satu yang terbaik di Pulau Jawa.
[caption id="attachment_315381" align="aligncenter" width="643" caption="Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Tahun 2013 (BPS)"]
Bahkan, bila kita mengulik satu per satu indikator kesejahteraan penduduk DIY, lalu membandingkannya dengan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa, semakin jelas bahwa secara umum tingkat kesejahteraan penduduk DIY adalah salah satu—bahkan boleh dibilang yang terbaik—di Jawa meski persentase penduduk miskinnya masih tinggi. (*)
Data-data bersumber dari Badan Pusat Statistik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H