Siang itu, di salah satu kecamatan di Toraja Utara, seorang kawan asal Makassar yang baru memulai debutnya sebagai Koordinator Statistik Kecamatan (petugas pengumpul data) bertandang ke sebuah rumah yang penghuninya terpilih sebagai sampel salah satu survei rutin BPS. Dia hendak mewawancarai kepala keluarga penghuni rumah tersebut.
Kedatangannya siang itu disambut dengan ramah oleh seorang anak muda (salah satu anggota keluarga). Karena yang hendak ditemuinya adalah kepala keluarga, tanpa berpanjang kata dia kemudian bertanya untuk memastikan bahwa yang hendak diwawancarai ada di tempat siang itu. Maka, kepada anak muda yang menyambutnya dia pun bertanya, “Bapak, ada di rumah?”. “Ada, di dalam”, jawab pemuda tersebut sembari menunjuk ke arah sebuah kamar tidur yang pintunya sedang terbuka.
Syahdan, bukannya gembira—karena bakal segera mewawancarai responden—yang dirasakan kawan saya siang itu. Justru sebaliknya, dia malah terkesiap dan segera diselimuti rasa takut serta perasaan horor yang luar biasa. Betapa tidak, yang ditunjukkan kepadanya adalah mayat seorang lelaki yang telah meninggal lebih dari setahun yang lalu. Mayat tersebut belum juga dikuburkan karena upacara pemakaman (rambu solo)—yang menelan biaya hingga ratusan juta bahkan miliaran rupiah itu—belum bisa dilangsungkan oleh keluarga yang ditinggalkan.
Potongan cerita di atas adalah kisah nyata tentang bagaimana uniknya orang Toraja di Sulawesi Selatan dalam memperlakukan jasad anggota keluarga yang telah meninggal. Bayangkan, bagaimana jadinya jika ada anggota keluarga kita yang meninggal dunia, kemudian disemayamkan di dalam rumah selama berbulan-bulan bahkan hingga lebih dari setahun lamanya. Mungkin biasa saja bagi orang Toraja, tapi saya yakin pasti tidak bagi kita yang bukan orang Toraja.
Tak hanya saat disemayamkan selama menunggu upacara pemakaman, cara orang Toraja dalam memakamkan mayat, boleh dibilang, juga sangat unik. Kata-kata menguburkan atau mengebumikan mayat nampaknya tidak cocok untuk orang Toraja. Pasalnya, di Toraja, mayat tidak dimakamkan di dalam liang tanah. Tapi, pada dinding batu yang dilubangi, batang pohon, gua-gua, ceruk pada tebing curam, atau bangunan khusus yang didirikan untuk menaruh peti mati. Tidak heran kalau kemudian Toraja terkenal dengan wisata makamnya.
Saat berpelancong ke Rantepao, Toraja Utara, minggu lalu, saya sempat mengunjungi beberapa tempat yang menjadi lokasi pemakaman orang Toraja, yakni Kete Kesu, Londa, dan Kalimbuang Bori’.
Kete Kesu merupakan lokasi pemakaman yang paling tua di Toraja. Konon, peti-peti mati (erung dalam bahasa Toraja) serta tulang belulang dan tengkorak di Kete Kesu umurnya telah mencapai ratusan tahun. Anda yang tidak biasa dengan nuansa horor serta menyaksikan tengkorak dan tulang belulang manusai –asli—berserakan begitu saja sebaiknya jangan mengunjungi Kete Kesu jika ingin nyenyak dan tidak bermimpi yang bukan-bukan saat tidur di malam hari.
[caption id="attachment_230613" align="aligncenter" width="622" caption="Tengkorak manusia berjejer rapi di atas peti mati (erung). Konon, tengkorak-tengkorak tersebut dan peti matinya sudah berumur ratusan tahun (dokumentasi pribadi)."][/caption] [caption id="attachment_230614" align="aligncenter" width="622" caption="Tulang-belulang di dalam erung yang umurnya sudah ratusan tahun."]
[caption id="attachment_230623" align="aligncenter" width="622" caption="Tulang belulang berserakan di Kete Kesu."]
Nuansa horor akan kian terasa jika Anda mengunjungi Londa. Boleh dibilang, suasana angker sudah terasa sejak kita memasuki gapuranya. Di Londa, sebagian besar mayat disemayamkan di dalam gua. Di sana, Anda dapat menjajal nyali dengan masuk ke dalam gua yang gelap—dengan ditemani seorang pemandu tentunya—untuk melihat langsung peti mati (beberapa di antaranya baru berumur beberapa bulan) serta tengkorak dan tulang belulang yang memenuhi sudut-sudut gua. Ada yang menarik dari sekian banyak batok kepala yang tampak berserakan di dalam gua, yakni sepasang batok kepala yang konon katanya berasal dari jenazah dua sejoli yang mati gantung diri karena keduanya dilarang menikah lantaran masih memiliki hubungan darah (sepupu satu kali). Begitulah, kisah tragis percintaan ala Romeo dan Juliet yang berujung pada kematian nampaknya juga dapat dijumpai di Londa. Yang juga menarik adalah adanya beberapa peti mati (nampaknya satu keluarga) yang ditempatkan dalam sebuah ceruk yang terdapat pada tebing yang terjal dan tinggi (mencapai puluhan meter dari tanah).
[caption id="attachment_230615" align="aligncenter" width="622" caption="Kawasan pemakaman Londa."]
Jika Anda tidak cukup bernyali menghadapi suasana horor, kompleks megalitik Kalimbuang Bori’ bisa menjadi pilihan untuk melihat uniknya cara orang Toraja dalam memakamkan mayat. Berbeda dengan Kete Kesu dan Londa, suasana horor tidak terlalu terasa di Kalimbuang Bori’. Di sana, nuansa yang lebih terasa adalah kebudayaan megalitiknya. Di Kalimbuang Bori’, mayat dimakamkan pada lubang yang dipahat pada batu-batu besar. Satu lubang biasanya untuk satu keluarga. Di sana, Anda juga dapat melihat langsung pohon yang batangnya digunakan sebagai tempat memakamkan bayi yang meninggal dunia.
[caption id="attachment_230619" align="aligncenter" width="622" caption="Nuansa megalitik di Kalimbung Bori"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H