Belakangan ini berembus kabar bahwa kepastian Jusuf Kalla (JK) mendampingi Joko Widodo (Jokowi) sebagai cawapres bakal segera diumumkan secara resmi oleh PDI-P sebelum masa kampanye pemilihan legislatif pada tanggal 5 April berakhir.
Jika kabar ini benar adanya, pemilihan presiden (pilpres) nampaknya bakal tak lagi menarik. Pasalnya, pilpres kemungkinan besar hanya satu putaran, dan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang hampir bisa dipastikan.
Hasil survei yang dirilis berbagai lembaga survei selama ini menunjukkan, duet Jokowi-JK memiliki elektabilitas yang jauh lebih tinggi dibanding pasangan capres-cawapres lainnya.
Bila duet Jokowi-JK terwujud, pasangan capres-cawapres yang lain kemungkinan hanya akan memperebutkan posisi kedua.
Duet Jokowi-JK seperti duet Lional Messi (striker Barcelona) dan Lewandowski (striker Bayern Munchen) di lapangan hijau, yang jika terwujud, bakal menjadikan kompetisi sepak bola eropa dan dunia tak lagi menarik. Karena Bayern Munchen menjadi tak terkalahkan, dan tim yang lain hanya akan memperebutkan posisi kedua, seperti kata legenda sepak bola Maradona.
JK memang layak mendampingi Jokowi. Kapabilitas dan pengalamannya tak diragukan lagi. Barangkali, satu-satunya kekurangan JK adalah umurnya yang tak lagi muda. Kini, tokoh asal Makassar ini sudah berumur 71 tahun.
Hasil survei Pol-Tracking Institute yang dirilis beberapa waktu lalu adalah justifikasi kualitas JK. Hasil survei pakar dengan responden 330 guru besar (profesor) dari berbagai universitas di seluruh Indonesia itu menunjukkan, JK unggul secara personal dibanding tokoh-tokoh lainnya, termasuk Jokowi.
Dari tiga aspek yang dinilai—yakni integritas; leadership skill dan keberanian mengambil keputusan; dan kemampuan menjalankan pemerintahan dan memimpin negara—JK hanya kalah dari Jokowi pada aspek yang ketiga. Selebihnya, JK lebih unggul.
Meski lebih unggul secara personal, tingkat keterpilihan JK sebagai capres relatif rendah. Hasil servei yang dirilis oleh sejumlah lembaga survei selama ini menunjukkan elektabilitas JK sebagai capres di bawah 10 persen.
Mengapa? JK memang unggul secara personal, namun ia adalah tokoh non-Jawa. Dalam soal suksesi kepemimpinan di negeri ini, sebagus apa pun kualitas seorang tokoh non-Jawa, ia harus puas menjadi cawapres sebagai capaian tertinggi.
Tanpa bermaksud SARA, hal ini adalah fakta politik yang tak bisa dimungkiri di negara ini, yang secara demografis komposisi penduduknya didominasi oleh etnis Jawa. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan, sekitar 40 persen penduduk Indonesia adalah etnis Jawa.
Barangkali sudah nasib JK menjadi spesialis cawapres. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H