Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kisah Ruyati, Jangan Terulang!

28 Maret 2014   14:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasib nestapa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati di luar negeri kembali terulang. Kali ini giliran Satinah, TKI asal Ungaran, Jawa Tengah, yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi setelah terbukti membunuh majikannya pada 2007.

Sebetulnya, Satinah tak sendirian. Menurut Migrant Care, saat ini ada 265 TKI yang terancam hukuman mati di sejumlah negara (Koran Tempo, 24 Maret 2013).

Nasib Satinah bergantung pada uang tebusan (diyat) sebesar 7 juta rial (Rp21 miliar) yang dituntut oleh keluarga korban. Bila uang sebesar itu gagal dibayarkan, Satinah bakal bernasib sama dengan Ruyati, TKI yang dipancung pada Juni 2011, juga karena membunuh majikannya.

Apapun hasil negosiasi mengenai diyat, Satinah tak boleh bernasib sama dengan Ruyati. Kasus Satinah bukan hanya ujian bagi komitmen pemerintah dalam soal perlindungan TKI, tapi juga peran negara dalam memperjuangkan nasib warganya. Terlalu ironis bila nyawa Satinah tak bisa diselamatkan karena diyat sebesar Rp21 miliar tak bisa dipenuhi.

Kalau dipikir, diyat sebesar itu tak ada nilainya bila dibanding remitansi atau uang kiriman para TKI dari luar negeri yang masuk ke Indonesia selama ini. Menurut Bank Indonesia (BI), sepanjang tahun 2013, remitansi dari para TKI mencapai US$7,4 miliar atau Rp88,7 triliun.

Sebetulnya, selama ini belum ada sistem yang memadai untuk penghitungan jumlah remitansi yang diperoleh dari para TKI. Faktanya, remitansi dalam jumlah signifikan yang mengalir ke Indonesia masih banyak yang tak terdeteksi karena dikirim melalui berbagai saluran tak resmi, seperti melalui kerabat atau teman yang kembali ke tanah air serta berbagai jalur tak resmi lainnya.

Hasil Survei Nasional Pola Remitansi TKI yang dilaksanakan BI pada 2008, di Nusa Tenggara Barat, menunjukkan bahwa sekitar 13 persen TKI tak menggunakan jalur perbankan ketika mengirimkan uangnya ke tanah air.

Pendek kata, jumlah remitansi yang mengalir dari para TKI sebetulnya jauh lebih besar dari yang dicatat oleh BI. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) memperkirakan, total remitansi sepanjang 2013 bisa mencapai 120 triliun.

Uang sebanyak ini, tak hanya dinikmati oleh keluarga TKI. Dampak ekonomi dari perputaran uang tersebut juga dinikmati oleh penduduk di daerah asal para TKI. Dengan demikian, para TKI sebetulnya juga berperan besar dalam mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.

Saat ini, ada sekitar 6 juta TKI di luar negeri. Bisa dibayangkan, bila setiap TKI menghidupi 5-6 orang anggota keluarga, ada sekitar 36 juta penduduk negeri ini yang terselamatkan dari kemiskinan.

Bila dicermati, mayoritas TKI yang terjerat dan terancam hukuman mati selama ini adalah pekerja di sektor informal. Lebih spesifik lagi adalah pembantu rumah tangga (PRT). Selain itu, pembunuhan yang dilakukan oleh para TKI seringkali hanyalah ekses dari perlakuan yang semena-mena bahkan tak manusiawi yang diterima dari para majikan.

Jadi, sumbu persoalan pada kasus Ruyati dan Satinah sebutulnya adalah penempatan TKI yang masih didominasi oleh sektor informal. Secara faktual, sekitar 70 persen TKI bergelut di sektor informal, dan umumnya PRT. Di mana pun, termasuk di negeri ini, posisi pekerja di sektor informal sangat lemah. Mereka sangat rentan untuk dieksploitasi dan diperlakukan semena-mena.

Karena itu, perlu ada upaya serius dari pemerintah untuk meningkatkan keterampilan para TKI sehingga mereka bisa bekerja di sektor formal. Bagi para PRT, pelatihan/simulasi penggunaan alat-alat rumah tangga modern di luar negeri wajib dilakukan sehingga tak terjadi miskompetensi. Bila pola dan kualitas penempatan TKI masih seperti saat ini, kisah nestapa yang dialami Ruyati dan Satinah bakal terus berulang. (*)

Penulis adalah pekerja di BPS.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun