Salah satu indikator utama yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan adalah perkembangan tingkat kemiskinan. Alasannya sederhana. Di antara tujuan utama pembangunan adalah menghadirkan kesejahteraan di tengah masyarakat. Dan, masyarakat bisa dikatakan sejahtera bila mereka terlepas dari kondisi serba kekurangan atau kemiskinan.
Perkembangan tingkat kemiskinan juga dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah proses pembangunan melibatkan dan/atau menjadikan penduduk miskin sebagai target (pro poor). Dengan demikian, mereka dapat memperoleh manfaat dari hasil-hasil pembangunan tersebut. Atau sebaliknya, proses pembangunan mengabaikan penduduk miskin dan hasilnya hanya dinikmati oleh golongan mampu dan kaya.
Data kemiskinan terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal pekan ini (2 Januari) menunjukan bahwa jumlah penduduk miskin pada September 2014 mencapai 27,73 juta orang atau mencakup 10,96 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Bila dibandingkan dengan kondisi pada Maret 2014, itu artinya telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0,55 juta orang.
Sayangnnya, tren penurunan jumlah penduduk miskin tersebut tidak terjadi di semua provinsi. Alih-alih mengalami penurunan, sejumlah provinsi justru mengalami peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin. Salah satu provinsi tersebut adalah DKI Jakarta. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin Jakarta pada September 2014 mencapai 412,79 ribu orang atau mencakup 4,09 persen dari jumlah total penduduk Jakarta.
[caption id="attachment_388335" align="aligncenter" width="630" caption="Sumber: diolah dari data BPS"][/caption]
Jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2014 di mana jumlah penduduk miskin mencapai 393,98 ribu orang (3,92 persen), telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 18,81 ribu orang sepanjang Maret—September 2014. Itu artinya, tren peningkatan jumlah penduduk miskin yang sudah berlangsung sejak September 2013 terus berlanjut.
Patut dicatat, data kemiskinan yang dirilis BPS adalah kondisi saat harga BBM belum dinaikan. Seperti diketahui, pada November tahun lalu pemerintah telah menaikan harga BBM. Dan, salah satu dampak kenaikan harga BBM adalah peningkatan jumlah penduduk miskin akibat melambungnnya harga-harga kebutuhan pokok, terutama kelompok bahan makanan.
Pada awal bulan ini, pemerintah memang kembalimenurunkan harga BBM. Namun, harga-harga di pasar sudah terlanjur naik. Jadi, dampak kenaikan harga BBM pada Novembertahun lalu bakal terlihat pada data kemiskinan Maret 2015. Pendek kata, tren peningkatan jumlah penduduk miskin di Jakarta kemungkinan besar bakal berlanjut hingga Maret 2015.
Tren peningkatan jumlah penduduk miskin Jakarta dalam setahun terakhir memberi konfirmasi bahwa upaya pengentasan kemiskinn di Jakarta belum maksimal. Hal tersebut tentu sebuah ironi mengingat Jakarta adalah provinsi “terkaya” di Indonesia yang diberkahi Tuhan dengan APBD yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia dan pendapatan asli daerah yang melimpah.
Karena itu, sudah sepatutnya isu kemiskinan kota (urban poverty) yang membelit Jakarta menjadi salah satu fokus perhatian Ahok sebagai gubernur, selain persoalan banjir, macet, dan lemahnya kinerja birokrasi.
“Bukan Warga Jakarta”
Selama ini, upaya pengentasan kemiskinan memang menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat. Namun demikian, kontribusi dan kerjasama pemerintah daerah (Pemda) juga memainkan peran yang sangat krusial dalam mendukung keberhasilan upaya tersebut.
Upaya pengentasan kemiskinan tidak akan maksimal jika hanya mengandalkan program-program anti kemiskinan yang diinisiasi oleh pemerintah pusat. Karena itu, peran aktif Pemda melalui program-program pembangunan pro-poor yang didanai APBD merupakan hal yang sangat penting.
Untuk kasus Jakarta sedikit unik. Ditengarai, sebagain besar penduduk miskin Jakarta adalah pendatang yang menghuni bantaran kali, pinggiran rel kereta api, dan kawasan kumuh lainnya. Umumnya, keberedaan mereka di Jakarta tidak dilengkapi dengan identitas diri, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga.
Konsekuensinya, meski telah tinggal di Jakarta selama bertahun-tahun, mereka tidak dianggap sebagai “warga Jakarta”. Dengan demikian, kemungkinan besar mereka tidak tersentuh oleh program-program pro poor Pemda, yang penetapan target penerimanya didasarkan pada ada atau tidaknya identitas diri.
Dalam soal ini terjadi ketidaksesuaian, estimasi jumlah penduduk miskin yang dilakukan BPS menganggap mereka sebagai bagian dari populasi Jakarta. Sementara oleh Pemda, mereka tidak terregistrasi sebagai penduduk. Pasalnya, konsep penduduk yang disepakati dalam penyelenggaraan kegiatan statistik resmi (survei dan sensus) tidak mensyaratkan keberadaan identitas diri, hanya waktu tinggal (minimal 6 bulan) dan maksud untuk menetap.
Karena itu, dibutuhkan “kemurahan hati” Pemda DKI untuk memperluas cakupan program-program pro poor yang didanai APDB sehinggabisa menyasar kelompok warga yang tidak memiliki identitas diri atau tidak terregistrasi sebagai penduduk Jakarta. (*)
Penulis bekerja di Badan Pusat Statistik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H