Entah apa yang terjadi dengan anak bangsa kita akhir-akhir ini. Segala sesuatu dipertentangkan. Jika ada dua kubu, masing-masing kubu membela mati-matian kubu yang didukungnya. Lihat saja pilpres kemarin, dua kubu pendukung calon presiden sudah berhadapan layaknya negara ini sedang berada dalam kondisi perang. Seolah kalau kubu lawan yang menang Indonesia akan hancur dan dunia akan kiamat. Seolah jika kubu yang didukungnya menang, semua persoalan akan bisa diatasi begitu saja.
Kubu pendukung Prabowo misalnya, hingga detik ini masih saja menganggap Jokowi sebagai biang segala keruwetan bangsa ini, seolah jika Prabowo yang menang, masalah itu tidak akan muncul. Sebaliknya, pendukung Jokowi, masih saja nggak bisa menerima segala kritikan yang dialamatkan kepada pujaannya yang sekarang memegang kendali, seolah kritik akan membuat Jokowi atau bangsa ini hancur.
Jokowi ataupun Prabowo yang memimpin–kebetulan saja Jokowi yang sedikit lebih banyak dukungannya hingga ia yang berhak memimpin—persoalan negeri ini nggak bakalan serta merta selesai. Mungkin ada ketidaktepatan pengambilan keputusan dari Jokowi dan jajarannya, tapi sebagian masalah yang dihadapi Jokowi, tidak semuanya berasal dari kesalahan itu. Sebagian besarnya adalah utang persoalan di masa lalu yang tidak diselesaikan dengan baik oleh pemerintahan sebelumnya. Jokowi mungkin ketiban sial harus menanggung beban saat persoalan itu menumpuk. Tapi, bisa juga karena Jokowi kurang tepat mengambil keputusan. Persoalannya sama saja jika dibalik. Apakah Prabowo, jika ia yang memimpin, akan sanggup menyelesaikan persoalan-persoalan itu? Entahlah, karena Prabowo tidak punya kesempatan itu, saat ini.
Kenapa sih, para pendukung Jokowi atau Prabowo tidak bisa berdamai? Pilpres sudah lewat. Jokowi sudah sah jadi presiden. Biarkan ia memimpin. Berikan kesempatan untuk bekerja. Jangan terlalu banyak mengganggunya dengan hal-hal yang tidak perlu. Jika mau mengritik, kritiklah dengan cinta. Tidak perlu mencintai Jokowi, tapi cintailah bangsa ini yang kebetulan sedang dipimpin Jokowi. Tapi buat pendukung Jokowi, janganlah alergi ketika pujaannya dikritik, karena kritik itu bisa jadi adalah tanda cinta, mungkin bukan untuk Jokowi, tapi tanda cinta untuk bangsa ini. Tak perlu dipertanyakan lagi, baik yang mendukung Jokowi maupun Prabowo, sama-sama mencintai bangsa dan negara ini. Hanya beda soal dukungan dan pilihan.
Sudahlah, hentikan segala sesuatu yang berkaitan dengan pertentangan. Nggak ada gunanya. Apalagi yang dipertentangkan adalah hal-hal yang sepele dan nggak ada sangkut pautnya dengan kita. Bayangkan saja, gara-gara perseteruan Marc Marquez dan Valentino Rossi di pentas MotoGP –berujung pada jatuhnya Marquez dan Rossi ‘jatuh’ karena sanksi—kita ikut-ikutan saling bertentangan. Pendukung Marquez mati-matian membelanya, dan pendukung Rossi gila-gilaan juga menghujat Marquez, sampai ada yang berlebihan bikin petisi segala. C’mon guys! Pake logika dikit lah… apa sih untungnya musuhan dengan teman sendiri gara-gara belain Rossi dan Marquez? Dua-duanya nggak ada urusan dengan kita di sini! Apa karena motor kalian semerk dengan motor salah satu di antara keduanya? Jika itu alasannya, apa Rossi dan Marquez ikutan bayarin cicilan motor kalian? C'mon guys! itu cuma tontonan, dan bumbu tontonan. Bukankah perseteruan mereka membuat tontonannya jadi lebih menarik? kenapa pula harus dimasukin hati apalagi sampai harus bertengkar gara-gara itu!
Duh Hyang Widi… liat komentar-komentar di berita online… isinya kebun binatang semua. Apa nggak ada rasa bersalah di hati mereka merendahkan sesama bangsa sendiri untuk sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita? Apa tidak ada cara lain yang lebih santun untuk menunjukkan dukungan? Atau, kita memang bener-bener sudah ‘sakit’ hingga kesantunan kita sudah ikut ‘sakit’ ‘pingsan’ atau bahkan ‘mati’? Tidak ada pulakah cara bagi para pengelola situs berita itu untuk menyaring komentar-komentar yang bernada kasar bahkan menjurus ke persoalan SARA itu? Atau memang disengaja untuk meningkatkan tingkat kunjungan ke situs mereka yang pada akhirnya mengundang para pengiklan dan berakhir di urusan duit? Jika itu yang terjadi, berarti pengelola media kita memang ikut-ikut ‘sakit.’
Di Bali, kampung saya, para pendukung dan penolak revitalisasi Teluk Benoa juga bertentangan. Untungnya, sebagai orang Bali, mereka masih memegang teguh adat Bali, hingga tidak terjadi pertikaian. Amit-amit, jangan sampai terjadi. Tapi hal itu bisa saja terjadi jika masyarakat Bali sudah mulai tertular oleh gejala ‘penyakit’ tadi. Saya percaya, baik yang mendukung maupun menolak, sama-sama punya niat baik, sama-sama ingin melihat Bali, kampung halamannya maju, sejahtera, aman, nyaman dan sebagainya. Yang berbeda hanya cara pandangnya saja. Mereka yang menolak terlalu takut dengan isu yang beredar soal perusakan lingkungan. Sisi baiknya, mereka berarti peduli pada Bali. Yang mendukung seolah terlihat pro dengan investor, padahal mereka juga peduli pada Bali dengan mimpinya melihat Bali lebih maju.
Jika kedua pihak itu sama-sama peduli pada Bali, kenapa harus bertentangan? Soal cara, bukankah semuanya bisa dibicarakan? Yang nolak jangan asal nolak, yang dukung juga jangan asal dukung. Yang nolak perlu mendengarkan alasan, dan yang mendukung jangan buta karena dukungan. Soal ada investor yang akan menanamkan modal di sana, jangan dipersoalkan. Bali butuh banyak investor untuk kemajuan Bali sendiri. Apalagi proyek itu nggak mungkin dibiayai oleh pemerintah yang masih harus memikirkan skala prioritas lain.
Jika kita terus bertentangan, yang rugi kita sendiri. Teluk Benoa sudah rusak dan akan makin rusak jika dibiarkan hanya menjadi wacana pertentangan. Investor lain akan takut berinvestasi di Bali karena sedikit-sedikit kita tolak, padahal banyak investor nakal yang justru lolos dari pengawasan dan kita sama-sama diam. Yang harus kita lakukan, sebagai masyarakat Bali ataupun yang mencintai Bali, baik yang mencintai dengan cara mengkhawatirkan lingkungan dan yang mencintai dengan mimpi kemajuannya, bukan saling bertentangan. Mari kita bergandengan tangan; biarkan pengelola proyek itu mewujudkan mimpi kita akan kemajuan pariwisata Bali dengan tetap menjaga alam, tetapi kita awasi jangan sampai mereka menyimpang dari apa yang mereka ajukan, jangan sampai mereka merusak alam Bali yang kita cintai. Dengan begitu, jika hal itu berjalan sesuai harapan, pada akhirnya yang akan menikmati adalah kita sendiri. Investor mungkin mendapatkan keuntungan, tapi kita, masyarakat Bali, harus mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar.
Yuk, berhenti menghabiskan energi untuk bertentangan. Perbedaan pendapat itu bukan kutukan, tapi itu anugerah, karena perbedaan membuat kita bisa saling mengontrol, saling mengingatkan, dan saling menguatkan. Belajarlah dari para pemuda kita puluhan tahun lalu yang mengesampingkan begitu banyak perbedaan untuk sebuah cita-cita besar bernama PERSATUAN. Bukankah negara kita dibentuk dari perbedaan? Tetapi perbedaan itulah yang justru membuat kita sekarang menjadi SATU.
Yuk bangun Pemuda Indonesia! Saatnya kita menyatukan kembali cita-cita kita yang sebetulnya sama meski dibangun dari pondasi yang berbeda!
Â
Rumah Jendela, Jelang Sumpah Pemuda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H