Mohon tunggu...
Suksma Kadek
Suksma Kadek Mohon Tunggu... -

Just ordinary girl, penyuka kehijauan, Bali lover

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Saemangeum, Dibenci Lalu Dicinta!

19 Oktober 2015   10:36 Diperbarui: 19 Oktober 2015   11:02 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak yang bisa dipelajari dari sebuah negara bernama Korea Selatan. Negara Asia yang tengah bergerak menyusul tetangganya yang sudah lebih dahulu mendunia, Jepang. Belakangan ini, kita mengenal Korea Selatan sebagai sebuah negara yang mendorong besar-besaran industri budayanya sehingga melahirkan brand K-Pop yang makin mendunia, termasuk digilai di Indonesia. Industri budaya Korea Selatan memang luar biasa, menggabungkan antara budaya populer yang berlandaskan budaya asli warisan leluhur mereka.

Sebuah pola jitu di dunia global yang mewajibkan adanya inovasi-inovasi baru tetapi dengan mengedepankan ciri khas agar bisa dikenali dan dikemas, lalu dijual. K-pop bukan saja berhasil menyusul kesuksesan J-pop (Jepang), tetapi bahkan juga melewatinya. Salah satu keberhasilan K-pop adalah integrasinya dengan berbagai aspek kehidupan di Korea Selatan sehingga menjadi sebuah paket jualan yang lengkap. K-pop digaungkan, mata dunia tertuju ke Korea Selatan, dan di saat yang sama, sector lainnya juga dimajukan, sehingga ketika mata dunia tertuju, Korea Selatan terlihat sebagai sebuah negara yang lengkap.

Karena K-pop, orang kemudian penasaran dengan Korea Selatan, dengan negaranya, alamnya, budayanya, dan sebagainya. Saya sendiri tak terlalu tertarik dengan K-pop. Saya tak terlalu suka dengan lagu-lagu Korea yang menurut saya sih sama aja dengan lagu-lagu J-pop, kebanyakan memajukan boyband dan girlband yang mengutamakan tampilan fisik dan koreografi ketimbang keindahan musik. Begitu juga dengan dramanya yang sebetulnya nggak jauh beda dengan sinetron Indonesia. Beda banget dengan ponakan-ponakan saya, para abegehh yang tergila-gila dengan penampilan mereka. Tapi apapun, kepandaian mereka mengemas barang jualan memang harus diakui.

Seperti halnya sebuah industri masal, di situ ada standarisasi, termasuk standarisasi dalam hal penampilan. Lihat saja bagaimana seragamnya kriteria ‘cantik’ dan ‘ganteng’ a la Korea, mulai dari potongan rambut, bentuk tubuh, bentuk wajah, pakaian, dan lain sebagainya. Ini juga hampir terjadi di Indonesia, ketika wajah cantik dan ganteng di televisi kita didominasi oleh wajah-wajah yang kebule-bulean. Tapi wajah-wajah cantik dan ganteng lokal, untungnya, masih ada di antaranya.

Meski nggak terlalu suka dengan K-pop, Korea Selatan tetap layak dijadikan contoh dalam banyak hal. Lihat bagaimana industri mereka yang juga mulai menyusul, menyaingi, bahkan melampaui produk-produk tetangganya, Jepang, bahkan berhasil menjadi produk global. Di bidang otomotif, merk-merk mobil Korea sudah banyak ditemukan di pelosok dunia. Korea juga punya produk gadget yang mendunia. Dan banyak lagi produk industri mereka yang berhasil menyeruak, dikenal, dipakai, dan diakui keunggulannya.

Salah satu yang bisa kita pelajari dari Korea Selatan adalah sebuah proyek bernama Saemangeum Seawall yang belakangan diklaim sebagai tembok laut terbesar di dunia dan dicatat dalam Guiness Book of Records. Saemangeum Seawall adalah sebuah proyek reklamasi yang didanai oleh negara. Saemangeum adalah dataran pasang surut muara di pantai Laut Kuning, barat daya Korea Selatan. Seperti halnya Teluk Benoa di Bali, di Saemangeum bermuara sungai-sungai besar, seperti Dongjin dan Mangyeong, di mulut pantai Jeollabuk-do.

Mulanya Saemangeum adalah wilayah pasang surut yang merupakan habitat dari banyak burung-burung migran, yang banyak diantaranya spesies terancam punah. Pada tahun 1991, pemerintah Korea Selatan mengumumkan rencana pembangunan tanggul untuk menghubungkan dua tanjung di selatan kota pelabuhan industri Korea Selatan dari Gunsan, 270 kilometer (168 mil) barat daya dari Seoul, untuk membuat 400 kilometer persegi (150 sq mi) lahan pertanian dan reservoir air tawar. Rencana ini mendapatkan tentangan dari aktivis lingkungan, bahkan sempat pula dihentikan oleh pengadilan, tetapi kemudian dilanjutkan dan selesai tahun 2006, lalu diresmikan tahun 2010 oleh Presiden Korea Selatan Lee Myung Bak.

Proyek ini menghasilkan lahan seluas 400 km2, setara dengan  2/3 kali luas kota Seoul, lima kali luas kota Manhattan di New York, empat kali lebih besar dari kota Paris. Nggak heran kalau kemudian tercatat sebagai salah satu proyek reklamasi yang terbesar sepanjang sejarah. Duit yang dikeluarkan pun nggak tanggung-tanggung, tak kurang 2,4 miliar USD yang sudah dikeluarkan pemerintah. Selama proyek ini berjalan, tak kurang dari 6.700 orang dipekerjakan setiap hari (2,47 juta orang setahun). Hebatnya, proyek ini dikerjakan sendiri oleh insinyur-insinyur Korea. Untuk mengurangi kerusakan lingkungan, proyek ini menggunakan metode konstruksi ramah lingkungan dengan menggunakan pasir di bawah laut untuk membangun daratan, bahaya lingkungan yang disebabkan pengambilan material dari daratan lain bisa diminimalisir, sekaligus untuk menghemat biaya.

Sekarang, setelah proyek ini selesai, Saemangeum menjadi salah satu mahakarya yang dibanggakan oleh masyarakat Korea Selatan. 15 bulan sejak selesai dibangun, Saemangeum telah dikunjungi tak kurang dari 10 juta wisatawan dengan rata-rata kunjungan 10 ribu orang pada hari kerja dan 30 ribu orang di akhir pekan.

Lalu, apa sih yang ada di Saemangeum hingga menarik minat banyak orang untuk berkunjung? Saemangeum sebetulnya bukan sekadar tempat wisata. Proyek ini menggabungkan berbagai kepentingan, antara lain sarana perhubungan berbagai kota di Korea Selatan, hunian hijau dengan pemandangan perairan, lahan pertanian dan perikanan, industri dan perkantoran, dan juga tujuan wisata baru, tanpa melupakan faktor lingkungan dan juga konservasi alam. Ini sesuai dengan tagline-nya, “Korea’s Green Hope.”

Konsep dan pelaksanaan proyek Saemangeum ini sebetulnya bisa dijadikan contoh oleh pengembang yang berencana melakukan hal serupa di Teluk Benoa. Ada banyak kesamaan di situ, mulai dari karakteristik lokasi yang berada di teluk dan muara sungai, dekat dengan wilayah konservasi lingkungan, termasuk juga adanya kelompok-kelompok yang menentang. Bedanya, Saemangeum dikerjakan dan dibiayai oleh negara, sementara Teluk Benoa dikerjakan dan dibiayai oleh pihak swasta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun