Seorang kawan dari Maluku pernah bercerita jika di kampungnya, buah perepat, alias pidada putih, aliah Sonneratia alba, atau yang orang awam kenal sebagai bakau alias mangrove, biasa digunakan sebagai bumbu untuk memasak ikan. Entahlah, mungkin benar, yang jelas saya sendiri nggak tertarik untuk mencobanya (mencoba buahnya, kalau mencoba masakan ikannya sih mau-mau aja, hihi…). Yaa gimana, buahnya nggak meyakinkan begitu buat dicoba-coba, hijau, dan dalam bayangan pasti pahit. Bisa jadi saya salah, seperti salahnya saya waktu mengira buah matoa dari Papua itu pahit (karena cangkangnya hijau kecoklatan), atau buah lobi-lobi yang banyak di Jawa Barat itu manis (karena warnanya merah menyala). Tapi untuk nyoba buah perepat, kayaknya enggak deh…
[caption caption="Berani nyoba rasanya?"][/caption]
Soal pohon perepat ini, saya teringat pengalaman di Kepulauan Sembilan, yang ada di kawasan Teluk Bone, Sinjai, Sulawesi Selatan, waktu iseng-iseng ikut teman berburu kepiting bakau. Mmm sebenarnya agak-agak mengingatkan pada seseorang sih, tapi ya sudahlah, coba fokus pada cerita si Perepat ini. Nah, karena hutan mangrovenya cukup sehat, jumlah kepiting di sana lumayan banyak juga, meski saya sendiri gagal total barang menangkap seekor pun –meski kepiting sebenernya gak berekor, hehe… Yang jelas, waktu itu sih kami berhasil bikin kepiting party.
Waktu pulkam, ternyata saya menemukan jenis pohon yang sama di kawasan mangrove Teluk Benoa. Katanya sih, jenis sonneratia ini yang paling banyak di kawasan Teluk Benoa, meski yang ditanam mantan Presiden SBY sama si ganteng Christiano Ronaldo waktu ada acara penghijauan itu adalah jenis Rhizopora mucronata. Meski nggak terlalu paham, bedain kedua jenis bakau ini lumayan mudah. Sonneratia akarnya seperti tumbuh dari bawah ke atas, makanya di sekitar pohon induknya banyak keluar tonjolan-tonjolan kayu yang sebetulnya itu akarnya. Sementara jenis rhizopora, itu yang akarnya menjuntai ke bawah kayak rok perempuan Inggris jaman dulu. Kalau iseng jalan di antara pohon-pohon itu, si Sonneratia ini bisa membuat kaki luka karena terinjak bagian atasnya, sementara si rhizopora sering bikin kaki kesandung. Sama-sama nggak enak, hehe…
[caption caption="Akar sonneratia"]
[caption caption="Akar rhizopora"]
Nah, nasib si Bakau Sonneratia di Teluk Bone dan Teluk Benoa ini ternyata jauh beda. Mungkin juga karena pengaruh geografis. Di Kepulauan Sembilan yang jelas berupa pulau-pulau, gangguan pada si Bakau paling banyak dari penebangan pohonnya yang dijadikan berbagai keperluan, semisal kayu bakar. Sementara di Teluk Benoa, si Bakau ini emang gak banyak ditebang, karena masuk dalam wilayah Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai. Tapi nasib si Bakau di Teluk Benoa lebih mengenaskan, karena sampah yang terbawa dari beberapa sungai mengalir ke situ, lalu tersangkut di kaki si Bakau. Bukan hanya yang terbawa, malah ada yang sengaja buang sampah di situ, dah kayak TPS aja.
[caption caption="Nasib sonneratia Teluk Benoa"]
Celaka bagi si Bakau Sonneratia. Kaki-kakinya yang mencuat ke atas membuat sampah-sampah –terutama plastik, banyak tersangkut di situ. Jika air laut surut, sampah plastik itu menutupi ujung akar si Sonneratia. Namanya akar, lama-kelamaan, jika tertutup plastik yang umurnya panjang alias susah terurai, membuat pertumbuhan si Sonneratia bisa terganggu. Apalagi sekarang, endapan lumpur makin tinggi dan air pasang tak lagi tinggi hingga kemungkinan plastik yang nyangkut si ujung akarnya makin sulit tersapu.
Nasib sedikit beda dialami si Bakau Rhizopora yang menghujam bumi, sampah plastik yang nyangkut tidak terlalu berpengaruh, tapi dampaknya nggak lebih baik. Akar menghujam model si Rhizopora inilah yang disukai hewan-hewan air, karena menawarkan tempat berlindung dan juga berbiak. Jika kaki-kakinya dipenuhi sampah, hewan-hewan enggan lagi bersembunyi atau berbiak si situ. Apalagi akses ke situ juga makin sulit dengan tingginya endapan lumpur tadi.
[caption caption="Andai si Bakau sehat"]
Seandainya saja ada upaya nyata untuk menahan masuknya sampah ke Teluk Benoa, mungkin nasib si Bakau tidak senaas itu. Tapi apa mau dikata, kawasan hutan mangrove Teluk Benoa itu makin lama makin mirip dengan tempat pembuangan akhir sampah, baik yang disengaja maupun tidak. Lebih buruknya lagi, niatan untuk merevitalisasi kawasan itu, hingga saat ini masih dalam perdebatan panjang yang nggak ada ujungnya. Padahal, jika saja kawasan itu bener-bener direvitalisasi (dengan kata ini harusnya pengertiannya adalah dibersihkan dan dikembalikan fungsinya, bukan direklamasi alias ditimbun), mungkin nasib si Bakau tak makin buram. Kebayang lah, kalau suatu saat habitat si Bakau itu dibersihkan, lumpurnya dikeruk, sampah dicegah, mungkin kenangan berburu kepiting di Teluk Bone itu malah bisa dilakukan di kampung halaman sendiri….
Â
Rumah Jendela, 090915
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H