Banten ada ketika Rsi Markandeya datang ke bali pada abad ke-8 saat kedatangan beliau yang ingin membuka daerah baru bersama para pengikutnya, namun saat membuka daerah baru di Puakan Taro-Tegallalang ( Kabupaten Gianyar) sekarang, Â pengikut dari Rsi Markandeya banyak yang meninggal, dan beliau memutskan untuk kembali ke Gunung Raung untuk bersemadi mencari penyebab bencana tersebut terjadi kepada para pengikutnya. Saat bersemedi yang cukup lama akhirnya Rsi Markandeya mendapatkan Wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa, bahwa tanah yang ada di Bali tidak sama dengan tanah yang ada di daerah lain. Sebelum menempati tanah yang ada di bali harus membuat upakara terlebih dahulu atau istilahnya meminta izin terlebih dahulu ketika ingin menempati tanah tersebut. Di Bali upacara tersebut dinamakan "pangruwatan". Â Sejak saat itu Rsi Markandeya beserta rombongannya melakukan tradisi upacara tersebut dengan menggunakan banten, dan beliau mengajarkan banyak upakara yang ada di bali. Ajaran atau ilmu yang di berikan Rsi Markandeya akhirnya dapat berkembang hingga saat ini.
Upacara yang ada di Bali menggunakan sarana banten sebagai alat atau sarana dalam mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa secara tulus ikhlas tanpa adanya pambrih, karena atas karunia Tuhan Yang Maha Esa kita dapat hidup di bumi ini dengan segala yang telah ada untuk bertahan hidup. Banten di Bali sering disebut dengan Wali yang memiliki arti wakil atau simbolis bahwa Banten tersebut adalah wakil dari isi alam semesta ciptaan Tuhan jadi kembali bermakna bahwa segala yang ada di dalam alam semesta ciptaan tuhan dipersembahkan kembali oleh manusia kepadanya sebagai syarat rasa terima kasih atas apa yang telah diberikan.
Setiap Banten memiliki bentuk dan bahan yang bermacam-macam. Setiap upacara memiliki jenis atau bahan banten yang berbeda-beda. Pembuatan bahan terlihat sulit, namun apabila kita mempelajarinya secara mendalam dapat dipahami bahwa keunikan dan rumitan tersebut memiliki makna yang dapat kita pelajari. Unsur dari Banten yakni Mataya, Maharya, Matinga, dan sebagianya. Unsur-unsur itulah yang menjadi pokok Banten yang dipersembahkan kembali kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta alam semesta. Saat melakukan persembahan atau yadnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa  harus adanya banten dan menggunakan mantra sebagai pemandu ritual.
Banten Selain sebagai sarana upacara yang yang memiliki ciri penguat identitas kehinduan yang demi dan lestarinya budaya tradisi warisan para leluhur memiliki proses pembuatan khususnya pada kaum perempuan yang dalam proses pembuatan banten memiliki peran yang sangat penting untuk persembahan pembuatan banten tersebut, untuk persembahan telah menerapkan salah satu ajaran dari agama Hindu, yakni Yoga melalui pemusatan pikiran dalam proses pembuatan banten. Karena pada dasarnya proses pembuatan Banten tidak hanya memiliki nilai kreativitas atau estetika tetapi juga memiliki proses dalam Yoga karena lebih mengutamakan nilai-nilai dari kesucian. Pemusatan pikiran tersebut memiliki arti bahwa pada saat kaum perempuan melakukan proses pembuatan banten, yakni menggerakkan jari-jemari bagaikan sedang berjapa sebagai salah satu pemusatan pikiran atau fokus terhadap pembuatan banten tersebut agar tidak terkena pisau saat pembuatan banten tersebut. Di Bali orang yang membuat Banten disebut dengan wiku tapini dengan melaksanakan posisi bajrasana dan padma asana untuk memusatkan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi untuk melakukan aktivitas penuh makna dan kesucian.
Selain itu para pembuatan Banten sudah mengimplementasikan Salah satu ajaran dari agama Hindu yakni ajaran Bhakti Marga. Bhakti Marga adalah salah satu bagian dari Catur Marga Yoga. Bhakti Marga adalah jalan untuk menuju Tuhan dengan cara melakukan atau menunjukkan Bhakti baik kepada pencipta atau sesama. Bhakti Marga dan mayoga termasuk dalam proses pelaksanaan 'Apara Bhakti' dan tahap berikutnya adalah jnana Marga dan raja marga yang pada proses ini disebut dengan 'Para Bhakti'. Pada tahap Apara Bhakti inilah yang pemujaannya menggunakan alat-alat bantu seperti banten sebagai simbol simbol atau jenis sarana prasarana upacara.
Di Bali umumnya keempat Marga tersebut dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara agama dengan menggunakan sarana banten yang yang meliputi bahan pokok seperti buah, air, daun, api, dan bunga. Makna dari orang yang membuat banten yang disebutkan dalam Lontar Yadnya prakerti yakni bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada banten tersebut karena bahan tersebut akan dihancurkan atau dipersembahkan kehadapan Ida Sang hyang Widhi Wasa. Pada akhirnya Banten menjadi alat bantu dalam suatu pemujaan di mana banten ini menyebabkan istilah "Bali" atau "Banten" disebut dengan niyasa karena merupakan suatu simbol keagamaan.
Oleh karena itu, pelatihan pembuatan banten sangat perlu dilakukan kepada generasi muda di jaman sekarang agar tidak melupakan tradisi yang telah ada dari zaman dahulu, bukan untuk melestarikan budaya bali tetapi banten ini juga memiliki makna adalam ajaran agama Hindu sebagai bentuk pelaksanakaan yoga pemusatan pikiran, sikap padmasana. Di lihat pada jaman sekarang ini para masyarakat Hindu di Bali kebanyak membeli banten dibandingkan membuatnya, karena membeli banten masyarakat hanya mengeluarkan uang saja banten yang digunakan untuk upacara sudah ada. Tetapi ketika masyarakat bali kebanyakan yang pada saat upacara membeli banten, maka mereka tidak akan tau makna dari kita yang membuat banten. Karena itu pentingnya kita sebagai umat beragama Hindu untuk mengetahui cara-cara dalam pembuatan banten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H