Hari raya Galungan merupakan hari yang sagat meriah dan paling ditunggu oleh umat hindu di Bali. salah satu yang membuat Galungan ini menjadi meriah adalah dengan keberadaan penjor yang menghiasi rumah dan sepanjang jalan. Penjor termasuk kedalam peralatan ritual yang sangat penting serta memiliki nilai estetis dan nilai teologis. Namun terkadang Penjor dibuat untuk dilihat sisi keindahannya saja sehingga banyak orang yang tidak tahu makna dari setiap unsur yang terdapat pada penjor.
Menurut Sudarsana (di dalam Atmaja 2008:9) Penjor berasal dari kata “enyor” yang berarti “ajum” kemudian mendapat awalan Pe- menjadi “Peenyor” yang berarti Pengajum atau dapat diartikan Pengastawa. Karena penyesuaian huruf vokal, selanjutnya berubah menjadi “Penyor” sampai akhirnya mendapat penekanan dan konsonannya berubah menjadi Penjor yang saat ini kita kenal.
Penjor mulai diperkenalkan sebagai sarana untuk menghormati Anugrah Ida Sang Hyang Widhi Wasa ketika masa pemerintahan raja Sri Jaya Kesunu. Sebelum masa pemerintahan beliau, Pemujaan kepada Dewa berupa hasil sumber alam sangat dilarang oleh Raja Mayadenawa. Saat itu persembahan hanya boleh ditujukan kepada sang raja karena beranggapan bahwa persembahan kepada para dewa tidaklah penting. hingga akhirnya terjadilah kekeringan yang melanda dan merugikan masyarakat, namun masyarakat tidak ada yang berani melawan sang raja karena Raja Mayadenawa merupakan keturunan daitya (raksasa) yang sangat sakti dan kuat.
Singkat cerita Dewa Indra kemudian turun ke dunia dan berperang melawan Raja Mayadenawa, setelah sang raja terbunuh selanjutnya diangkatlah Sri Jaya Pangus sebagai Raja yang menggantikan Raja Mayadenawa. Namun, saat itu persembahan berupa sesajen belum juga dilaksanakan, hal ini membuat para dewa marah dan kemudian mengutuk Raja beserta penerusnya untuk berumur pendek. Hingga akhirnya Sri Jaya Kesunu bersemedi di Setra Gandamayu, dari pertapaan tersebut beliau diharuskan untuk melakukan persembahyangan ke berbagai tempat suci di Bali. Sang raja kemudian membuat simbol-simbol dari para dewa pada batang Bambu kemudian dihiasi dengan hasil-hasil alam yang disebut dengan Penjor.
Dalam agama hindu, Penjor merupakan sarana Upakara untuk merayakan hari raya Galungan. Bentuk Bambu Penjor yang menjulang tinggi dan agak melengkung menjadi simbol Gunung yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Pembuatan Penjor juga tidak terlepas dari ajaran Weda. Beberapa bahan upakara yang digunakan untuk pembuatan Penjor telah dijelaskan dalam Bhagawadgita Bab IX. 26 yaitu :
Patram puspam phalam toyam
Yo me bhaktya prayacchati,
Tad aham bhakty-upahrtam
Asnami prayatatmanah
Terjemahan:
Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci (Pudja, 2004:239).
Perkembangan Penjor dari dulu hingga saat ini mengalami perubahan bentuk, namun perubahan tersebut tidak mengurangi nilai filosofis dari Penjor itu sendiri. Masyarakat hindu di bali menuangkan daya kreativitas mereka ke dalam penjor sehingga banyak ditemukan Penjor dengan bentuk yang dimodifikasi dan terkesan unik, hal inilah yang menyebabkan Penjor tidak hanya memiliki nilai Teologis tetapi juga mengandung nilai Seni (estetis). Pariwisata di Bali juga ikut mempengaruhi kreasi bentuk Penjor. Penjor yang dari semula hanya sebagai simbol suci kini menjadi karya seni yang bernilai tinggi namun tidak mengurangi Pakem. Salah satu kreasi penjor yang sering ditemukan adalah penjor yang berisi lampu. Pemasangan lampu kelap-kelip pada penjor akan membuat penjor lebih indah dan meriah apabila dilihat pada malam hari, sungguh kreatif sekali.
Pembuatan penjor galungan harus mengikuti beberapa persyaratan tertentu sehingga tidak bisa dibuat dengan asal-asalan. Menurut Atmaja (2008:69) pembuatan Penjor galungan harus sesuai dengan sastra agama. Semua unsur di dalam Penjor merupakan simbol-simbol suci sebagai dasar dalam penerapan Weda.
Sebatang bambu dengan ujungnya yang melengkung dan utuh serta dihiasi dengan daun kelapa/daun enau merupakan simbol dari kekuatan Hyang Mahesora, Kain putih melambangkan kekuatan Hyang Iswara, Jajan serta Buah-buahan melambangkan kekuatan Hyang Brahma, Kelapa melambangkan kekuatan Hyang Rudra, Janur melambangkan kekuatan Hyang Mahadewa, Daun-daunan melambangkan kekuatan Hyang Sangkara, Pala bungkah dan Pala gantung melambangkan kekuatan Hyang Wisnu. Tebu melambangkan kekuatan Hyang Sambu, Sanggah Ardha Candra melambangkan kekuatan Hyang Siwa dan Upakara melambangkan kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Dari makna setiap unsur penjor diatas sangatlah jelas bahwa Penjor memiliki nilai Teologi yang begitu dalam. segala hasil bumi yang dipasang pada penjor merupakan wujud rasa terimakasih kepada Tuhan atas Anugerah dan kesejahteraan yang diberikan. Dengan demikian pembuatan Penjor hendaknya tetap mengacu kepada bahan yang sudah disebutkan diatas. Kreativitas dan seni yang dituangkan kedalam Penjor merupakan suatu hal yang wajar dan sangat bagus untuk menambah nilai estetika sebuah penjor, namun seni tersebut diharapkan tidak menghilangkan esensi dari Penjor itu sendiri.
Atmaja, I Made Nada. 2008. Nilai Filosofis Penjor Galungan & Kuningan. Surabaya: Paramita
Pudja, I Gede. 2004. Kitab Suci Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H