Mohon tunggu...
Zesar Wijaya Kusuma
Zesar Wijaya Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Undiksha

Sedang menempuh pendidikan di Universitas Pendidikan Ganesha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nilai Estetis dan Teologis Penjor Galungan

10 November 2021   21:30 Diperbarui: 10 November 2021   21:40 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

            Hari raya Galungan merupakan hari yang sagat meriah dan paling ditunggu oleh umat hindu di Bali. salah satu yang membuat Galungan ini menjadi meriah adalah dengan keberadaan penjor yang menghiasi rumah dan sepanjang jalan. Penjor termasuk kedalam peralatan ritual yang sangat penting serta memiliki nilai estetis dan nilai teologis. Namun terkadang Penjor dibuat untuk dilihat sisi keindahannya saja sehingga banyak orang yang tidak tahu makna dari setiap unsur yang terdapat pada penjor.

            Menurut Sudarsana (di dalam Atmaja 2008:9) Penjor berasal dari kata “enyor” yang berarti “ajum”  kemudian mendapat awalan Pe- menjadi “Peenyor” yang berarti Pengajum atau dapat diartikan Pengastawa. Karena penyesuaian huruf vokal, selanjutnya berubah menjadi “Penyor” sampai akhirnya mendapat penekanan dan konsonannya berubah menjadi Penjor yang saat ini kita kenal.

            Penjor mulai diperkenalkan sebagai sarana untuk menghormati Anugrah Ida Sang Hyang Widhi Wasa ketika masa pemerintahan raja Sri Jaya Kesunu. Sebelum masa pemerintahan beliau, Pemujaan kepada Dewa berupa hasil sumber alam sangat dilarang oleh Raja Mayadenawa. Saat itu persembahan hanya boleh ditujukan kepada sang raja karena beranggapan bahwa persembahan kepada para dewa tidaklah penting. hingga akhirnya terjadilah kekeringan yang melanda dan merugikan masyarakat, namun masyarakat tidak ada yang berani melawan sang raja karena Raja Mayadenawa merupakan keturunan daitya (raksasa) yang sangat sakti dan kuat.

Singkat cerita Dewa Indra kemudian turun ke dunia dan berperang melawan Raja Mayadenawa, setelah sang raja terbunuh selanjutnya diangkatlah Sri Jaya Pangus sebagai Raja yang menggantikan Raja Mayadenawa. Namun, saat itu persembahan berupa sesajen belum juga dilaksanakan, hal ini membuat para dewa marah dan kemudian mengutuk Raja beserta penerusnya untuk berumur pendek. Hingga akhirnya Sri Jaya Kesunu bersemedi di Setra Gandamayu, dari pertapaan tersebut beliau diharuskan untuk melakukan persembahyangan ke berbagai tempat suci di Bali. Sang raja kemudian membuat simbol-simbol dari para dewa pada batang Bambu kemudian dihiasi dengan hasil-hasil alam yang disebut dengan Penjor.

Dalam agama hindu, Penjor merupakan sarana Upakara untuk merayakan hari raya Galungan. Bentuk Bambu Penjor yang menjulang tinggi dan agak melengkung menjadi simbol Gunung yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan.  Pembuatan Penjor juga tidak terlepas dari ajaran Weda. Beberapa bahan upakara yang digunakan untuk pembuatan Penjor telah dijelaskan dalam Bhagawadgita Bab IX. 26 yaitu :

Patram puspam phalam toyam

Yo me bhaktya prayacchati,

Tad aham bhakty-upahrtam

Asnami prayatatmanah

Terjemahan:

Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci (Pudja, 2004:239).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun