Mohon tunggu...
Kadek GinaPusparini
Kadek GinaPusparini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Ganesha

Nama Saya Kadek Gina Pusparini, saya adalah seorang mahasiswa semester 2, Prodi S1 Manajemen yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Pendidikan Ganesha. Saya memiliki ketertarikan yang kuat pada bisnis, digital, dan Photography

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melangkah Bersama Tradisi: Cerita Antusiasme Masyarakat Merayakan Galungan, Kuningan, dan Hari Raya Nyepi

8 Maret 2024   19:08 Diperbarui: 8 Maret 2024   19:31 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Instagram @ericprima_26 @budayabalineInput sumber gambar

Awal tahun 2024 menghadirkan kebahagiaan yang berbeda bagi masyarakat khususnya umat beragama Hindu. Hari raya Galungan dan Kuningan yang berdampingan dengan Hari Raya Nyepi, menciptakan moment yang istimewa. Kedua perayaan ini membawa suasana yang unik dan penuh kegembiraan di tengah-tengah ketenangan yang dihadirkan oleh Hari Raya Nyepi.  

Galungan dan Kuningan memberikan momen refleksi, penghormatan kepada leluhur, dan perayaan kehidupan. Pada saat yang sama, Hari Raya Nyepi memberikan kesempatan untuk merenung, berserah diri, dan menemukan ketenangan batin. Gabungan perayaan ini menciptakan suasana yang kaya akan nilai spiritual, solidaritas, dan kebersamaan di tengah-tengah masyarakat Hindu. 

Momen ini tidak hanya menjadi perayaan keagamaan, tetapi juga kesempatan untuk berkumpul, bersilaturahmi, dan menyatu sebagai komunitas. Keunikan dari keberadaan Galungan, Kuningan, dan Nyepi pada waktu yang bersamaan memberikan warna dan keindahan tersendiri dalam perjalanan spiritual dan kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di awal tahun ini.

Sumber foto: Dokumentasi Pribadi
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi

Galungan dan Kuningan merupakan hari raya suci yang diperingati setiap 6 bulan Bali atau 210 hari, jatuh pada budha kliwon, wuku dungulan. Hari Raya Galungan melambangkan peringatan kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kejahatan), sementara hari Raya Kuningan adalah momen penutupan perayaan yang menggambarkan kembalinya roh leluhur ke alam mereka. Sebelum perayaan dimulai, masyarakat Bali mempersiapkan diri dengan penuh semangat menjalankan berbagai tradisi seperti pemasangan penjor yang memenuhi pinggiran jalan, penataan banten (sesajen) dan persiapan sarana persembahyangan lainnya. 

Dua hari sebelum Hari Raya Galungan dikenal dengan istilah penyajaan. Saat penyajaan, para wanita akan mulai membuat banten (sarana persembahyangan) yang dikenal dengan kegiatan mejejaitan. Selain mejejaitan para wanita akan membuat jajan yang nantinya akan dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Keesokan harinya tepatnya sehari sebelum Hari Raya Galungan dikenal dengan istilah penampahan. 

Saat penampahan para pria akan melukan pemotongan hewan untuk dihaturkan sebagai persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Perayaan Galungan dan Kuningan selalu diwarnai dengan kebahagiaan dan kebersamaan. Masyarakat Bali akan mengenakan pakaian adat dan bersama-sama menuju tempat suci yang dikenal dengan sebutan Pura untuk mengucapkan rasa syukur dan memohon keselamatan. Alunan gong dan tarian akan mengiringi persembahyangan.

Sepuluh hari setelah Galungan, diperingati sebagai Hari Raya Kuningan. Masyarakat melakukan proses persembahyangan sampai pukul 12.00 siang. Hal ini dikerenakan berdasarkan kepercayaan yang dianut masyarakat Bali,  Ida Sang Hyang Widhi memberkahi umat manusia mulai pukul 00.00 sampai puncaknya yaitu tengah hari pada pukul 12.00. Sehingga masyarakat mempercayai bahwa rentang waktu tersebut baik untuk melakukan pemujaan. 

Hari Raya Kuningan juga identik dengan hidangan khas nasi kuning. Nasi kuning ini disiapkan dengan menggunakan bahan dasar kunyit, minyak, bawang goreng, terasi, dan garam. Semua bahan ini dicampur rata dan kemudian disajikan untuk dinikmati bersama-sama. Hidangan ini bukan hanya lezat, tetapi juga memiliki makna khusus dalam konteks keagamaan Hindu, menambah kekayaan tradisi dan keunikan perayaan Hari Raya Kuningan.

Tak lama setelah euphoria Galungan dan Kuningan, masyarakat Bali bersiap menyambut Tahun Baru Caka 1946 atau yang dikenal dengan Hari Raya Nyepi. Malam hari sebelum Hari Raya Nyepi diselenggarakan arak-arakan ogoh-ogoh dari masing-masing banjar. Ogoh-ogoh merupakan perwujudan bhutakala yang melambangkan kekuatan buruk meliputi keserakahan dan ketidakmurnian yang harus dihilangkan. Pembuatan ogoh-ogoh biasanya dilaksanakan sebulan sebelum Hari Raya Nyepi. 

Para pemuda dan pemudi akan berkumpul dan bekerja sama untuk menyelesaikan ogoh-ogoh. Melalui sentuhan kreativitas masing-masing individu, ogoh-ogoh menjadi karya seni yang menggambarkan berbagai mitos dan simbol dalam kepercayaan Hindu. Proses ini tidak hanya memperkuat hubungan sosial di antara mereka tetapi juga menjadi wadah untuk melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya serta spiritualitas yang terkandung dalam tradisi ogoh-ogoh.

Biasanya arak-arakan dimulai pada pukul 18.00. Pementasan ogoh-ogoh diiringi dengan tarian yang menceritakan filosofi ogoh-ogoh yang dibuat. Semua kalangan masyarakat berkumpul di satu tempat untuk menyaksikan atraksi ini. Setelah arak-arakan, ogoh-ogoh akan dibakar sebagai lambang hilangnya energi negatif. 

Keesokan harinya adalah perayaan Hari Raya Nyepi, umat Hindu mengenal konsep Catur Brata Penyepian yang melibatkan empat aspek penting, yaitu amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan. Amati geni berarti tidak menyalakan api,  amati karya berarti tidak bekerja. Selanjutnya, amati lelungan mengandung arti tidak berpergian atau beraktivitas di luar rumah, dan amati lelanguan yang berarti tidak bersenang-senang selama periode tersebut. 

Penerapan Catur Brata Penyepian merupakan bagian konteks spiritual dan refleksi diri. Secara keseluruhan, puasa Hari Raya Nyepi bukan hanya tentang menahan diri dari kegiatan fisik atau kenikmatan duniawi, tetapi juga merupakan perjalanan spiritual untuk merenungkan makna hidup, menguatkan nilai-nilai moral, dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Antusiasme masyarakat Bali dalam merayakan Galungan, Kuningan, dan Nyepi menciptakan keseimbangan yang unik antara kegembiraan dan ketenangan. Meskipun perayaan Galungan dan Kuningan diwarnai dengan keceriaan dan aktivitas bersama, Hari Raya Nyepi memberikan kesempatan bagi refleksi dan introspeksi, menciptakan harmoni di antara suka cita dan ketenangan batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun