Disadari atau tidak, unsur kecepatan (speed) menjadi unsur yang sangat penting dalam jurnalisme. Berita, selain di dalamnya mengandung informasi, salah satunya juga harus memenuhi syarat kebaruan. Ditambah dengan begitu banyaknya surat kabar di Indonesia, kebaruan yang diolah masih harus berkompetisi lagi untuk menyampaikannya agar benar-benar baru bagi masyarakat. Kehidupan jurnalisme menjadi lain ketika ditemukan teknologi berupa telegraf. Aneta, kantor berita milik Belanda, mampu memonopoli berita-berita yang disebarluaskan di Hindia-Belanda karena Aneta mampu memonopoli kecepatan menggunakan telegraf. Hal ini berarti bahwa kebutuhan dalam jurnalisme sendirilah, yaitu kecepatan, pada gilirannya mendorong penemuan teknologi untuk mengatasi persoalan kecepatan tersebut. Bagaimana dengan masa kini? Telegraf mungkin sudah sangat kuno. Tetapi, kita tetap saja menghadapi perkembangan teknologi informasi yang berpuncak pada multimedia. Menurut Oetama (2001:111) multimedia merupakan nama lain dari seluruh gelombang inovasi dalam pemakaian secara rutin komputer dan telekomunikasi yang dikemas dalam suatu perangkat teknologi.
Multimedia moves information technology from being limited to electronically processing the type of information that typewriters have been able to process to over a century to routinely handling almost the full range of information and communication that humans can experience through sight, hearing, and through to a far lesser extent and not yet routinely-touch (Peter GW Keen dalam Oetama, 2001:111). Artinya , multimedia memungkinkan suatu informasi itu dilihat, didengar, dan disentuh. Informasi lama-kelamaan bisa disentuh, misalnya saja dengan mengirimkan foto jarak jauh. Apa yang dilakukan media tidak lain adalah mengembalikan dimensi-dimensi manusia dari informasi itu, yaitu secara natural manusia menangkap informasi dengan cara melihat, mendengar, meraba, dan sebagainya. Namun, teknologi merevolusikannya dalam arti menaklukkan jarak dan meningkatkan kecepatan. Lalu, adakah dampak kemajuan teknologi bagi pers cetak?
Tantangan yang dihadapi
Pemanfaat internet oleh media konvensional di Indonesia bisa dikatakan bermula ketika Harian Republika dan Kompas menghadirkan koran cetaknya ke jaringan global pada tahun1995. Kehadiran kedua media cetak ini menjawab dengan jitu kebutuhan pembaca mendapatkan berita secepat mungkin, tidak terhalang distribusi secara geografi. Misalnya saja, orang yang tinggal di Papua bisa petang hari baru bisa membaca koran. Apalagi, bagi pembaca di luar negeri membutuhkan waktu berhari-hari untuk bisa membaca koran Indonesia. Semboyan bagi jurnalisme online 'berita hari ini baca saat ini juga' mengubah deadline berita yang tidak lagi 24 jam seperti pada harian cetak, atau bahkan setiap jam untuk media elektronik yang memiliki jadwal 'breaking news', tetapi lalu menjadi setiap saat, kontinu.
Bagi proses pengerjaan pers cetak, salah satu perubahan yang dibawa adalah bahwa para wartawan tidak lagi kekurangan data dalam menulis berita. Hampir tidak ada kebutuhan untuk melanggan semua koran cetak di Indonesia untuk kerja wartawawan mencari isu-isu berita saat merundingkan di newsroom. Wartawan menerima informasi yang begitu melimpah berkat online. Menghadapi limpahan informasi, harus juga ada perubahan radikal dalam cara membaca informasi. Tidak bisa lagi melakukan pola membaca linier, runtun dari baris pertama hingga akhir, dari bab I hingga bab II, dan seterusnya. Teknologi multimedia merevolusikan cara membaca.
Dengan teknik hypertext, seseorang bisa membaca sembari meloncat ke videotape, audio penyerta informasi, ataupun ke media lain pada saat yang sama. Misalnya saja, untuk mengetahu berita mengenai radiasi nuklir Jepang melalui online. Kita bisa langsung membuka 3 homepage atau lebih seperti kompas.com , voanews.com, detik.com , dan masih banyak lagi. Ketika membaca secara cepat dan merasa sudah mendapat makna dari berita, pengguna bisa langsung berhenti membaca dan berganti melihat video yang disediakan, atau melihat situs berita yang lain untuk mencari kalau-kalau ada informasi lain. Setelah itu, kita menggabungkan teks dari segala jenis sumber informasi. Dengan cara itu, cara membaca kita sudah berubah radikal dengan mengatasi semua batas-batas baik dalam format maupun genre. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: mungkinkah pers cetak tetap memiliki pembaca di tengah perubahan cara membaca yang sangat radikal?
Tertatih untuk tetap hidup
Menghadapi derasnya arus informasi akibat jurnalisme online, sejumlah kalangan tetap optimis bahawa pers cetak mampu bertahan hidup. Mereka mendasarkan keyakinannya pada pengalaman sejarah. Dahulu ketika muncul radio, koran pernah diramalkan akan kehilangan pamor. Demikian pula ketika televisi muncul dan kini ketika internet merebak. Toh koran tetap eksis hingga hari ini.
Kalangan media cetak turut pula menunjuk beberapa kelemahan yang ada online sebagai upaya pembelaan diri. Kritik diawali dengan menunjuk apa yang sering diklaim sebagai keunggulan khas media online yaitu kecepatan berita. Memang benar, online dihadapkan pada deadline yang kontinu sehingga melahirkan praksis baru "get the story first" -then- "get it right", yang penting berita muncul dulu, akurasi belakangan. Hal ini sering kita rasakan bahwa pemberitaan berita online pendek-pendek, terkadang informasi hanya sekilas, baru setelah beberapa jam kemudian dimunculkan pembaruan berita untuk melengkapi berita sebelumnya. Selain itu, cara kerja media online memiliki kelemahan mulai dari pengumpulan, pelaporan, dan penyajian berita berkat adanya teknologi 'cut and paste' yang enak digunakan mudah menjerumuskan reporter pada plagiarisme.
Perkembangan blog juga seiring dengan maraknya tren jurnalisme akar rumput. Menurut Dan Gillmor (dalam Leksono, 2007) jika seseorang tahu cara membuat konten, ia bisa melakukannya. Lalu ketika konten tersebut disebarluaskan melalui internet, maka yang bisa terjadi adalah 'percakapan global'. Contoh dari jurnalisme akar rumput adalah OhmyNews yang punya lebih dari 33.000 'warga peliput'. Mereka adalah relawan yang menyumbangkan informasi/berita yang disunting dan dicek kebenarannya oleh sekitar 50 staf tetap.
Lebih jauh lagi, maraknya media dan jurnalisme baru ini juga membawa implikasi terhadap sisi bisnis, karena mereka yang menggeluti bidang baru ini juga perlahan-lahan menemukan skema bisnis baru. Di negara-negara maju, sudah mulai diamati bergesernya iklan dari cetak ke online dan elktronik pada umumnya.