Mohon tunggu...
Christian Novendy Agave
Christian Novendy Agave Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka Rempah

Menelaah Sejarah, Budaya, dan Sosial Masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Perjuangan Moderat I.J. Kasimo pada Masa Akhir Kolonial Hindia Belanda

3 Januari 2022   19:00 Diperbarui: 3 Januari 2022   19:03 2297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Volksraad (Sumber: historia.id)

Pengantar

Masa kolonial Hindia Belanda  merupakan peristiwa sejarah yang mempengaruhi pemikiran dan aksi para tokoh nasional dalam merebut kemerdekaan. Dari peristiwa tersebut menjadi menarik pengkajiannya ketika mengambil perspektif pelaku sejarah yang terlibat pada masa tersebut. Salah satu tokoh atau pelaku sejarah yang mengarungi masa tersebut adalah Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono.

Lazimnya nama beliau disingkat I.J. Kasimo. Salah satu tokoh pergerakan nasional yang aktif pada masa kolonial Hindia Belanda. Kiprahnya tercatat jelas dalam keanggotaan Volksraad hingga delegasi Komisi Visman. Sifat perjuangannya yang moderat dan pendekatannya yang humanis merupakan keistimewaan dari karakternya. Sedikit yang mengetahui perjuangannya secara personal. Asosiasi yang mendekati citranya adalah pemeluk agama Katolik tulen dan penampilannya yang seringkali memakai blangkon.

Perjuangan I.J. Kasimo Pada Masa Akhir Kolonial Hindia Belanda

Keaktifan I.J. Kasimo dalam masa pergerakan nasional sudah diawali dengan menjadi anggota Jong Java. Pada waktu itu Kasimo sedang mengenyam pendidikan di Middelbare Landbouwschool Bogor dalam tahun 1918. Setelah lulus 2 tahun, Beliau bekerja sebagai guru di sekolah pertanian rendah Tegalgondo.

 Lalu pada tahun 1922, I.J. Kasimo bersama F.S. Harjadi dan R.M. Jakob Soedjadi membentuk sebuah panitia persiapan untuk mendirikan Partai Katolik. Setahun kemudian berdirilah Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD).

Ada sesuatu yang menarik dibalik pendirian PPKD tersebut. Bahwasanya sudah ada IKP atau Indische Katholieke Partij. Masyarakat Jawa yang beragama Katolik mempertanyakan alasan terkait para pendiri PPKD tidak menggabungkan diri dengan IKP. Kasimo dan kedua temannya beralasan bahwa IKP sebagai Partai Katoliknya orang Belanda mempunyai aspirasi dan pemikiran yang berlainan. 

Lagipula pemikiran dan semangat nasionalisme yang dimiliki oleh I.J. Kasimo menolak untuk bergabung ke dalam IKP sebagai alat perjuangannya. Beliau tidak dapat mengabdikan dirinya pada tanah air jika nama Katolik terdiri dari orang-orang yang menindas bangsanya.

Namun, Kasimo dan teman-temannya harus mensiasati dalam memperoleh izin berdirinya PPKD dari hirarki Gereja. Maka dibiarkannya PPKD berafiliasi sementara dengan IKP. Untuk tetap menyuarakan pemikirannya, dibuatlah majalah bernama Suara Katolik pada tahun 1924. 

Mulanya diterbitkan secara bulanan, akan tetapi dengan cepat berkembang menjadi mingguan. Dalam rapat tahunan 1924, I.J. Kasimo dipilih sebagai ketua PPKD. 

Afiliasi sementara dengan IKP berakhir setelah dikeluarkannya peraturan baru mengenai pemilihan anggota dewan perwakilan yang terbagi dalam 3 golongan (Eropa, Timur Asing, Pribumi) dan diwajibkan memilih wakilnya dari golongannya sendiri. Dengan peraturan tersebut, maka mempengaruhi berkurangnya “partai atau organisasi campuran”.

Dalam tahun-tahun berikutnya, adanya suatu kecenderungan dari perkembangan organisasi-organisasi pergerakan yang sifatnya lokal menjadi partai nasional. Hal ini terjadi juga pada PPKD. Pada tanggal 22 Februari 1925, PPKD berubah menjadi Perkumpulan Politik Katolik di Djawa. 

Awalnya diperuntukan untuk golongan Katolik Jawa saja. Kemudian PPKD memperluas perhatiannya kepada golongan Katolik di luar Pulau Jawa. Inilah yang mendorong nomenklatur dari PPKD menjadi Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI) pada tahun 1930. PPKI mempunyai 41 cabang sebelum serbuan Jepang.

PPKI ikut serta dalam keanggotaan Volksraad sejak tahun 1924 sampai 1927. Yang pertama kali mewakili PPKI adalah R.M. Jakob Soedjadi. Kemudian pada masa sidang Volksraad tahun 1931 – 1935, ada 5 orang pribumi yang diangkat oleh gubernur jenderal. Di antaranya Kasimo dari PPKI, Wiwoho dari golongan Islam, dr. Apituley dari Moluks Politiek Verbond (Perhimpunan Politik Maluku), Tuanku Mahmud dari Kesultanan Aceh, dan dr. Arifin (adiknya Abdul Muis) dari Sarekat Islam.

Dalam Volksraad, Kasimo menunjukkan citra khasnya dengan berpakaian Jawa lengkap, menggunakan jas langernarjan, ikat kepala dan keris. Statusnya yang bukan golongan bangsawan itulah yang membedakan dalam perbedaan kasta yang ada di Volksraad. 

Dalam sidang Volksraad, Kasimo menyampaikan argumentasinya dengan tulisan bahasa Belanda yang baik. Kasimo juga menyebutkan Volksraad mempersatukan gerakan nasional Indonesia. Hal tersebut tercermin para tokoh pemimpin bangsa Indonesia dari berbagai daerah dapat duduk bersama dan membahas masalah-masalah yang terjadi di negerinya.

Volksraad (Sumber: historia.id)
Volksraad (Sumber: historia.id)

Kasimo yang mewakili aspirasi dari pemeluk agama Katolik pribumi, terkadang terlibat perdebatan dalam sidang Volksraad. Contohnya pada tanggal 3 Agustus 1933. 

Saat itu Kasimo dituduh oleh R. Pandji Soeroso bahwa Kasimo dan golongan Katolik Indonesia bukan orang-orang nasionalis sejati. Dikarenakan tidak mengikuti naluri nasionalisme yang wajar dan ditentukan oleh Vikaris Apostolik – yang bukan orang Indonesia. 

Kasimo marah dan menuduh balik bahwasanya Pandji Soeroso pun tidak mengikuti naluri nasionalisme yang wajar, melainkan ditentukan oleh para pemimpin sosialis dari NVV (Nederland Verbond van Vakvereenigingen atau Gabungan Serikat Sekerja Negeri Belanda), yang bukan orang Indonesia. NVV ini memiliki hubungan erat dengan Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN), partai yang diwakili Pandji Soeroso.

R. Pandji Soeroso (Sumber: tokoh.id)
R. Pandji Soeroso (Sumber: tokoh.id)

Di tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 19 Juli, Kasimo menegaskan pandangannya yang berbeda dengan IKP, yang juga berada di Volksraad. Kasimo menyelipkan kata “memerintah negeri sendiri” dengan lantang dalam pidatonya. Maka muncullah reaksi dari IKP dengan sebuah Manifesto Politik yang dikeluarkan pada September 1933. Walaupun IKP diisi oleh orang-orang Belanda, namun Apostolik Vikaris Batavia menyetujui pidato Kasimo.

Fokus perjuangannya di Volksraad dalam tahun-tahun pertama adalah bidang pendidikan dan pertanian. Buktinya pada tahun 1933, ketika pemerintah kolonial hendak mengimpor beras, maka Kasimo mendesak agar diambil langkah-langkah yang melindungi harga beras petani dalam negeri dan penghasilan petani tidak dirugikan.Selain itu, Kasimo memperjuangkan peningkatan produksi hasil bumi rakyat yang dapat menambah penghasilan petani. Lalu beliau mengusahakan meningkatkan gizi makanan rakyat.

Di bidang pendidikan, Kasimo mengkritik sistem pendidikan yang diberlakukan pemerintah kolonial. Menurutnya, sistem pendidikan seharusnya lebih ditujukan kepada pemberian pendidikan kepada murid-murid, tidak untuk mempersiapkan mereka untuk pekerjaan tertentu saja. 

Kasimo juga mengusulkan agar jumlah dan mutu pendidikan guru ditingkatkan. Ini disebabkan kondisi yang mengharuskan guru-guru kerapkali mengajar banyak kelas dan perpustakaan yang tidak mendukung serta tidak terorganisir.

Sifat perjuangannya yang moderat mempengaruhi sikapnya terhadap Petisi Soetardjo. Petisi tersebut digagas oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo dan pemungutan suaranya pada tanggal 15 Juli 1936  di Volksraad. 

Soetardjo menjelaskan bahwa petisi yang diajukannya pada Kamis, 9 Juli 1936, merupakan bentuk kekecewaan yang timbul akibat “tidak adanya karya anggota Volksraad Indonesia.” Ditambah dengan penindasan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap penduduk asli Indonesia. Kasimo mendukung petisi tersebut dengan menjadi anggota Sentral Komite Petisi Soetardjo.

Soetardjo Kartohadikoesoemo (Sumber: id.wikipedia.org)
Soetardjo Kartohadikoesoemo (Sumber: id.wikipedia.org)

Selain menyinggung masalah ekonomi, dalam petisi tersebut meminta untuk mengadakan satu Rijksraad yang terdiri dari wakil-wakil Belanda dan Indonesia. Adapun permintaan dalam mengatur hubungan dan kedudukan yang sederajat atau menyerupai dominion. Petisi itu kemudian didukung 26 suara dan ditolak 20 suara. Petisi yang disetujui itu kemudian diajukan ke Belanda. Namun ditolak oleh Tweede Kamer pada tahun 1938 dengan alasan isi petisi tidak jelas dan manipulatif.

Dari penolakan Petisi Soetardjo, kemudian terbentuklah GAPI (Gabungan Politik Indonesia) pada tanggal 21 Mei 1939. Kasimo dengan PPKI-nya, turut bergabung ke dalamnya. 

Setelah itu GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI) dan aksinya “Indonesia Berparlemen”. Mereka menuntut agar Volksraad dijadikan parlemen penuh berdasarkan asas-asas demokrasi. Aksi tersebut berlangsung pada tanggal 17 Desember 1939.

Indonesia Berparlemen (Sumber: kabarkan.com)
Indonesia Berparlemen (Sumber: kabarkan.com)

Ketika Jerman menyerbu Belanda sejak Mei 1940, maka diberlakukan status darurat di Hindia Belanda. GAPI pun mendesak dalam suatu resolusi yang menuntut perubahan dalam susunan ketatanegaraan dengan menggunakan undang-undang keadaan darurat sebagai dasarnya. 

Pemerintah kolonial menanggapinya dengan membentuk Komisi Visman. Tujuannya untuk menyelidiki usul-usul dan dampaknya di negeri koloni.  Komisi Visman pun mengundang delegasi GAPI yang juga dihadiri Kasimo pada tanggal 14 Februari 1941. Namun hasilnya mengecewakan karena persoalan perubahan tata-negara baru dapat dipikirkan sehabis perang.

Perkembangan GAPI tidak berhenti setelah hasil Komisi Visman dikeluarkan. Pada tanggal 13-14 September 1941 di Yogyakarta, diselenggarakan konferensi. 

Hasil konferensi  tersebut diputuskan dengan membubarkan Kongres Rakyat Indonesia dan diganti dengan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Dalam MRI terdapat dewan pimpinan yang terdiri dari wakil-wakil federasi dan gabungan lain. Kasimo yang merupakan salah satu wakil GAPI ikut ambil bagian dalam dewan MRI.

Referensi:

[1] Gondokusumo, Mr. Djody, and Amelz, Parlemen Indonesia (Djakarta: Bulan Bintang, 1951)

[2] Kisworo, Klemens Setya Puja, Nasionalisme I.J. Kasimo Pada Zaman Kolonial, Skripsi (Yogyakarta, 2017)

[3] Kompas, Tim Wartawan, I.J. Kasimo Hidup Dan Perjuangannya (Jakarta: PT Gramedia, 1980)

[4] Rohmadi, Nazirwan, and Warto, ‘Volksraad (People Council): Radicale Concentratie Political Arena and National Fraction, 1918-1942’, Jurnal Humaniora, Vol. 31.No.2 (2019)

Terimakasih telah membaca artikel ini.

Silahkan klik profil penulis untuk membaca karya-karya tulis lainnya.

Disusun oleh: Christian Novendy Agave - Mahasiswa Pendidikan Sejarah - Universitas Negeri Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun