Mohon tunggu...
Christian Novendy Agave
Christian Novendy Agave Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka Rempah

Menelaah Sejarah, Budaya, dan Sosial Masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kiprah Dr. Tjipto Mangunkusumo dalam Penanganan Wabah Pes di Malang

29 Oktober 2021   16:33 Diperbarui: 29 Oktober 2021   16:45 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga Tjipto. Sumber gambar: nationalgeographic.grid.id

Munculnya Wabah Pes di Malang (1910-1916)

Pes/sampar adalah wabah yang disebabkan oleh bakteri yang bernama Yersinia Pestis. Penyebaran penyakit pes disebabkan berpindahnya kutu dari tikus satu ke tikus lainnya dan manusia. Memasuki abad ke-20 wabah pes mulai melanda Cina hingga sebagian wilayah di Asia Tenggara. 

Pada September 1910 pemerintah Hindia Belanda memberlakukan impor beras dalam rangka persiapan memasuki bulan Ramadan. Alasan lainnya untuk mengimpor beras karena kegagalan panen akibat serangan hama mentek.  Negara yang dipilih untuk mengimpor beras yaitu Burma, British India dan Cina. Padahal di wilayah tersebut wabah pes sedang berkecamuk.

Kapal muatan beras impor tersebut tidak disadari turut membawa tikus-tikus beserta kutunya yang nantinya akan berpindah dengan menggigit manusia. 

Pada awalnya tidak ada yang mengira penyakit pes akan muncul. Penderita yang meninggal pada waktu itu diduga menderita tifus atau malaria yang disertai dengan pembengkakan kelenjar getah bening atau bisul. Namun muncul keanehan dalam 48 jam terakhir menjelang penderita meninggal yakni munculnya bisul di daerah leher, ketiak, atau daerah persendian lainnya. 

Temuan tersebut kemudian disampaikan oleh Dokter Wydenes Spaans, kepala dinas kesehatan Surabaya yang kemudian diteruskan kepada Geneeskundige Laboratorium (laboratorium kedokteran) di Weltevreden, Batavia. Sumber kasus tersebut berdasarkan sampel darah milik Raden Adjeng Moerko, istri seorang guru Pribumi di sisi wilayah Distrik Penanggoengan, Malang pada Maret 1911.

Pola penyebaran penyakit pes dapat disebabkan oleh faktor geografis dan faktor interaksi sosial antar individu. Faktor geografis ini dapat diketahui dari posisi Malang dan keadaan iklimnya. 

Ketika ditelusuri dari bulan September 1910, kelembapan udara di daerah Malang semakin bertambah karena datangnya angin barat yang bertiup dari wilayah Asia Tenggara dengan membawa komponen air yang lebih banyak. 

Hal ini mempengaruhi tingkat kelembapan udara mencapai 82-83% dan suhu udara menurun hingga 22ºC. Di samping itu pula karena letak Malang secara geografis yang dikelilingi pegunungan. Ini merangsang perkembangbiakan kutu-kutu tikus hingga 25% lebih banyak.

Sementara dalam faktor interaksi sosial, tercermin dalam aktivitas masyarakat di Malang yang masih seperti biasanya. Masyarakat belum memiliki kewaspadaan terhadap wabah tersebut. 

Hal ini dikarenakan belum adanya kebijakan penanganan wabah dari pemerintah kolonial. Selain itu, masyarakat tidak mengetahui bahwa penyakit pes ini adalah jenis penyakit baru. Mereka masih beraktivitas biasanya seperti berbelanja di hari pasar, berkumpul dalam suatu perayaan tertentu, ataupun mengunjungi orang sakit.

Tanggapan Pemerintah Kolonial

Atas penemuan dan penelitian kasus yang ditindaklanjuti oleh Dokter De Vogel, maka pada 5 April 1911 pemerintah melalui Direktur Burgerlijk Geneeskundig Dienst (Dinas Kesehatan Sipil), Dokter De Haan mengumumkan bahwa Afdeeling Malang ditetapkan sebagai wilayah yang terinfeksi pes. 

Setelah itu, dibentuk Dienst der Pestbestrijding (Dinas Pemberantasan Pes). Programnya meliputi evakuasi, isolasi, dan woningverbetering atau usaha perbaikan rumah. Program isolasi diperuntukan penderita pes dan anggota keluarganya dengan ditempatkan pada barak-barak dan penandaan bendera merah di rumah pasien.

Dokter de Vogel. Sumber gambar: Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia Hal: 49
Dokter de Vogel. Sumber gambar: Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia Hal: 49

Pada penanganan wabah pes di Malang para dokter Eropa lebih banyak bekerja dalam laboratorium dan pengambil kebijakan daripada pelaksana. 

Mereka dikabarkan memiliki kekhawatiran berlebih ketika harus turun ke lapangan secara langsung sehingga yang lebih banyak menangani adalah para dokter Djawa dan dokter pribumi Tetapi yang dibutuhkan dalam penanganan wabah seharusnya sinergitas antara yang bekerja di laboratorium dengan yang turun langsung ke lapangan.

Kemudian atas riset Dr. Van Loghem bahwa jenis tikus yang menjadi penyebab wabah pes ialah tikus-tikus rumah. Menurutnya ini dipengaruhi oleh kebiasaan penduduk pribumi dalam menggunakan bambu untuk membuat tempat tidur dan pembuatan rumah sehingga semakin banyaknya perkembangbiakan tikus.

Penemuannya ini juga mendorong pemerintah kolonial mengambil kebijakan untuk melakukan restorasi rumah penduduk yang berasal dari bambu utuh. Pentingnya membangun rumah dengan tiang bambu dibelah guna mencegah tikus bersarang.

Lalu, adanya kegiatan disinfeksi dengan bahan sulfur terhadap rumah dan pakaian pasien. Tetapi disinfeksi dengan petrosium residu sebenarnya lebih ampuh untuk menghilangkan bakteri pes paru-paru, namun hal ini tidak dilakukan karena memerlukan biaya yang tidak sedikit. Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah kolonial cenderung lambat karena menghabiskan waktu 6 tahun lebih. 

Di samping itu, pada kondisi kenyataannya banyak dari pasien kehilangan harta bendanya karena pencurian dan tanaman pangan yang mati tidak terurus selama karantina di barak isolasi. Kemiskinan pun meningkat akibat penyaluran bantuan yang tidak merata dan tidak teratur.

sumber gambar: muskitnas.net
sumber gambar: muskitnas.net

Aksi Dr. Tjipto Mangunkusumo

Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Sumber gambar: nationalgeographic.grid.id
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Sumber gambar: nationalgeographic.grid.id

Ketika wabah penyakit pes menyerang Malang pada tahun 1910, Tjipto menjadi sukarelawan pada dinas pemerintah untuk membasmi wabah pes. 

Dr. Sutomo turut aktif dalam pemberantasan wabah pes itu. Tjipto turun ke pelosok-pelosok dan mengobati penduduk secara langsung tanpa menggunakan alat pelindung diri seperti masker dan sarung tangan. Keberaniannya menunjukkan bukti siap menerima resiko demi menyelamatkan warga masyarakatnya. 

Pada peristiwa itu, dr. Tjipto mengangkat seorang bayi di dalam rumah yang saat itu seluruh penghuninya terkena pes dan mengharuskan rumahnya untuk dibakar. 

Tjipto mengadopsi bayi itu kemudian diberi nama Pesjati untuk mengenang peristiwa tersebut. Anak ini kemudian dibesarkan dan dididik oleh Cipto bersama isteri Cipto, yakni Nyonya de Vogel alias Siti Aminah.

Keluarga Tjipto. Sumber gambar: nationalgeographic.grid.id
Keluarga Tjipto. Sumber gambar: nationalgeographic.grid.id

Karena keberaniannya dalam menangani wabah pes di Malang ini, pemerintah kolonial memberikan sebuah penghargaan bintang orde van Oranje Nassau pada 12 Agustus 1912. 

Kemudian dr. Tjipto Mangunkusumo menuliskan pengalaman dan penelitiannya hingga memaparkan hasilnya dalam sebuah kesempatan di pertemuan ilmiah s’Gravenhage, Nederland pada tahun 1914. 

Dalam tulisannya tersebut, beliau menguraikan apakah pes itu, sejarah penyakit pes, dan cara-cara pemberantasannya. Adapun uraian tentang bagaimana proses berjangkitnya penyakit tersebut serta macam-macam penyakit pes.

Pada saat di Solo juga sedang mengalami wabah pes, dr. Tjipto Mangunkusumo menawarkan diri untuk kembali membantu penanggulangan wabah disana. 

Namun karena aktivitas politiknya yang dianggap membahayakan, dia ditolak. Kekecewaannya mengantarkan sikapnya untuk mengembalikan bintang jasa Oranje Nassau miliknya kepada pemerintah kolonial dengan sambil mengenakannya di bokongnya. Hal ini sebagai bentuk kekecewaannya terhadap pemerintah kolonial.

Sumber:

[1] Bergen, Leo van, Liesbeth Hesselink, and Jan Peter Verhave, eds., Gelanggang Riset Kedokteran Di Bumi Indonesia : Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942 (Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), 2019)

[2] Hasanah, Siti, ‘Kebangkitan Dokter Pribumi Dalam Lapangan Kesehatan: Melawan Wabah Pes, Lepra, Dan Influenza Di Hindia Belanda Pada Awal Abad XX’, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol.46.2 (2020), 208–20

[3] Reksodihardjo, Soegeng, Dr. Cipto Mangunkusumo (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992)

[4] Safitry, Martina, ‘Kisah Karantina Paris of the East: Wabah Pes Di Malang 1910-1916’, Jurnal Sejarah, Vol.3.1 (2020), 116–20

[5] Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa, 1912-1926 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997)

Terimakasih telah membaca.

Silahkan mengklik profil penulis untuk membaca tulisan-tulisan sejarah lainnya.

Disusun oleh Christian Novendy Agave - Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun