Mohon tunggu...
Christian Novendy Agave
Christian Novendy Agave Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka Rempah

Menelaah Sejarah, Budaya, dan Sosial Masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Reshuffle Kabinet Pasca 1965

6 Juli 2020   16:59 Diperbarui: 6 Juli 2020   17:16 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada masa-masa terakhir kepemimpinannya, Sukarno melakukan reshuffle kabinetnya untuk terakhir kalinya guna memastikan keseimbangan situasi politik dan ekonomi yang tengah kacau dan tak terarah. Persoalan yang penuh intrik dan dinamis turut mewarnai catatan penting kemunduran Sukarno dalam memegang kendali pemerintahan. 

Banyak faktor eksternal dan internal yang bukan main kepalang, membuat Sukarno harus memutar otak untuk mengatasi problematika yang ada. Semenjak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Sukarno mulai berhati-hati dalam menggunakan kewenangan dan kekuasaannya apalagi statusnya adalah presiden seumur hidup. 

Dinamika kehidupan rakyat Indonesia saat itu sungguh labil. Inflasi yang terjadi sejak 1950-an dan kebijakan Pemerintah dalam Keppres No. 27 Desember 1965 tentang pengeluaran mata uang rupiah baru dengan perbandingan nilai Rp 1 (satu rupiah) uang baru sama dengan Rp 1.000 (seribu) uang lama. 

Selain itu pula menjadi beban bagi para mahasiswa untuk membayar SPP dan ongkos transportasi yang terus melambung. Belum lagi konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1964 dan Pembebasan Irian Barat pada tahun 1962 tentu menghabiskan waktu dan tenaga, tentu yang paling banyak biaya, sehingga perekonomian nasional benar-benar merosot dan usaha untuk memperbaiki ini tidak signifikan.

Ketegangan sosial politik tersebut berakumulasi dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang semakin membuyarkan harapan rakyat untuk pemulihan keadaan. (Abdul Mun'im D.Z., 1999: 27-28)

Aksi Tritura. sumber gambar: newsantara.com
Aksi Tritura. sumber gambar: newsantara.com
Meletusnya peristiwa Gerakan 30 September kemudian menyatukan kekuatan mahasiswa non-komunis dengan tentara. Dalam buku karya M.C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern atau dalam bahasa aslinya A History of Modern Indonesia since c. 1300, sejak 8 Oktober 1965 para pemuda sudah mulai menyapu jalan-jalan seraya meneriakan tuntutan pembubaran PKI(2007:565). 

Tuntutan ini semakin digaungkan dalam unjuk rasa gerakan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) pada 10-13 Januari 1966. 

KAMI ini telah terbentuk sejak 25 Oktober 1965 atas izin Menteri Pendidikan Tinggi Brigadir Jenderal Syarif Thayeb. KAMI merupakan kelompok kontra-PKI dan sempalan dari PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia).

Dalam gerakan aksi demonstrasi KAMI, tuntutan yang diserukan adalah Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga. 

Tiga tuntutan ini dikenal sebagai Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Tuntutan ini tercermin dari peristiwa Gerakan 30 September, Menteri-menteri Dwikora yang tidak berjalan secara maksimal dan masih ada yang terafiliasi dengan PKI serta akibat ketidakstabilan ekonomi.

Tiga tuntutan tersebut tidak hanya dilontarkan melalui statemen yang ditulis dalam selembar kertas melainkan juga demonstrasi dan mogok kuliah yang terhitung sejak 11 Januari 1966 dan baru berhenti setelah tiga tuntutan dikabulkan. (Abdul Mun'im D.Z. 1999: 29-30)

Presiden Sukarno dengan cepat menangkap ancaman yang datang dari demonstran mahasiswa yang didukung oleh tentara dan mengadu kepada Pangdam Jakarta Mayor Jenderal Amir Machmud yang lunak. Ia kemudian mengkritik demonstrasi liar tersebut dan menginstruksikan untuk demonstrasi selanjutnya dilakukan dengan cara-cara yang teratur dan wajar.

Namun kondisi semakin memanas. Puncaknya pada 15 Januari 1966 ketika Sukarno sedang melakukan sidang kabinet di Istana Bogor. 

Ribuan mahasiswa datang dari Jakarta, Bandung dan Bogor berkumpul di bawah curah hujan di luar istana. Rombongan mahasiswa ini didatangkan dengan truk-truk yang disediakan oleh Witono dan Kemal Idris. Beberapa mahasiswa mencoba memasuki halaman istana dan dihalau pasukan Tjakrabirawa dengan melepaskan tembakan peringatan.

Sebagai usaha untuk menyelamatkan demokrasi terpimpin, Sukarno segera melakukan reshuffle kabinetnya. Reshuffle kabinet ini merupakan penyempurnaan dari Kabinet Dwikora 1. Kabinet ini secara resmi dilantik pada 24 Februari 1966. Keputusan pembentukan kabinet ini berdasar pada Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 38 Tahun 1966. 

Pada masa pelantikan kabinet baru ini dikerumuni oleh demonstransi mahasiswa di luar istana. Akibatnya Presiden Sukarno memerintahkan pesawat-pesawat helikopter digunakan untuk mengangkut para menteri ke pelantikan dan salah seorang menteri yakni Brigadir Jenderal Sukendro tiba dengan naik sepeda.

Dalam pelantikan kabinet Sukarno menyatakan bahwa perubahan kabinet tidak ada hubungannya dengan tuntutan KAMI. Ia membantah slogan-slogan KAMI yang menuduhnya mengangkat kabinet Gestapu atau kabinet komunis. Tuduhan yang ditujukan bukan tanpa alasan. Keputusan Sukarno dalam mempertahankan orang-orang kiri seperti Omar Dhani dan Subandrio dalam Kabinet Dwikora 2. Selain itu pemecatan Jenderal Nasution dari jabatan Menteri Pertahanan juga mengecewakan mahasiswa.

Sebelumnya pada Kabinet Dwikora 1, Presiden Sukarno mengangkat lebih dari seratus menteri dan pejabat setingkat menteri. Dalam kabinet yang gemuk itu, terdapat pula menteri tanpa portofolio atau tanpa departemen. Misalnya Menteri Negara Penasehat Presiden dan Menteri Negara yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). 

Kemudian pada reshuffle kabinet berikutnya, jumlah menteri yang diangkat berkisar tidak kurang dari 132 nama dan pembantu presiden setingkat menteri. Mereka lalu dibagi dalam 14 kompartemen dengan melibatkan 5 wakil perdana menteri yang tergabung ke dalam sebuah Presidium.

Waktu pelantikan, para mahasiswa berhasil menembus masuk. Tiba-tiba pasukan Tjakrabirawa melepaskan tembakan, mengenai dan menghabisi nyawa dua orang, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI dan lainnya siswi Sekolah Lanjutan Atas (Harold Crouch, 1986: 200-208). 

Mahasiswa tersebut bernama Arief Rachman Hakim. Akibat kericuhan yang menimbulkan korban jiwa tersebut, Sukarno mendesak untuk membubarkan KAMI melalui sidang Kogam (Komando Ganyang Malaysia). Sidang Kogam yang awalnya mengurusi pada masalah konfrontasi di luar negeri namun hasil sidang pertamanya justru mengenai masalah-masalah dalam negeri yang salah satunya membubarkan KAMI.

Terima kasih sudah membaca. 

Artikel-artikel lainnya mengenai sejarah, sosial dan budaya masyarakat dapat dikunjungi melalui klik profil penulis.

Sumber:

Ir. Sukarno. 2017. Bung Karno, Nawaksara, Dan G30S, Yogyakarta: Media Pressindo

Kasenda, Peter. 2013. Hari-Hari Terakhir Sukarno, Depok: Komunitas Bambu

https://setkab.go.id/kabinet-dwikora-ii/ 

https://historia.id/politik/articles/serba-serbi-demonstrasi-1966-v5bk4 

https://tirto.id/kabinet-dwikora-ii-kabinet-100-menteri-zaman-sukarno-ed23 

https://tirto.id/sejarah-tritura-gerakan-mahasiswa-tumbangkan-orde-lama-erMo


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun