Mohon tunggu...
Kacong Tarbuka
Kacong Tarbuka Mohon Tunggu... Media -

Hidup di tengah masyarakat agamis-kontekstualis membuat saya harus banyak belajar pada realitas. Terlalu banyak orang yang gampang mengkafirkan sesama, dan jarang orang yang bisa mengakui kesalahan, khususnya dalam perjalanan beragama. Mencari ketenangan dengan menulis, berkarya, serta mengangkat ketimpangan sosial menjadi bermartabat. Salam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Grand Design" Terorisme

27 Mei 2018   13:16 Diperbarui: 27 Mei 2018   13:32 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MEMBAHAS terorisme selalu sedap, nikmat, dan mungkin up to date. Kenapa ? sebab, membahas teroris kita membahas seluruh elmen. Yakni agama dan pemerintah. Tulisan ini akan menjauhi pembahasan epestimologi terorisme, pola terminologi, dll. Sebab itu tugas akademisi, bukan tugas saya. Saya sedikit akan memberikan analis secara terukur. Tulisan ini tentuya harus dikemas se professional mungkin, agar tidak termasuk dalam katagori makar. Kita merdeka, dengan kemerdekaan yang terikat.

Ingatkan kejadian bom di Surabaya beberapa waktu lalu, ada yang berkomentar "Ah, itu bom di Surabaya hanya hoax", taukah sorenya orang tesebut dimana ? ditangkap oleh pemerintah. Atau misalnya guru PNS yang sampai sekarang masih diadili, karena menyebut demikian. Sedemikian ngerinya negeri kita, sampai polapikir dibatasi. Ataukah memang benar, pemerintah yang memutuskan siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka, dengan terbitnya rekomendasi 200 ulama. Dungu.

Bulan ini, bulan-bulanannya teroris, khususnya agama radikal. Saya tidak spesifik, dengan menyebut Islam radikal, sebab semua agama "memungkinkan" untuk radikal, tapi semua agama mengajarkan nilai luhur (damai).  Surabaya menjadi babun bagi mereka (bomber) yang ingin masuk surga, dan tergesa menemui bidadari, mungkin kita sebut saja, syuhada' (kata mereka). Tapi semua sepakat, syuhada' tidak didapatkan dengan cara keji alias membunuh mansia yang tak bersalah.

 Bukankah, kita hidup untuk tuhan? jangan dibalik, berat. Mereka punya keyakinan, dan kita punya keyakinan dalam menegakan kebenaran, dan menghancurkan ke-thagutan. Hanya saja, polanya yang berbeda. Mereka ekstrimis, kita moderat. Dua ideologi itu tidak mungkin menyatu, apalagi diaplikasikan dalam pemerintahan. Bulshit.

Bulan ini, seakan mengajarkan bagi kita, bahwa kita kurang waspada, pemerintah kecolongan, dan semua elmen dirugikan. Tangis darah bercucuran, anak dibawah umur menjadi kekejaman brain wash  najis dari orang tuanya. Harusnya, mereka lagi asik mandi bola, main petak umpet, dan lain sebagainya, justru mereka bermain dengan bara api yang mencabik-cabik isi perutnya. Orang tua macam apa ini? Tak ada dalil naql/aql yang mengesahkan cara seperti ini, justru mengutuknya.

Bukankah semua agama mengajarkan kebaikan? Tak ada satupun agama yang menyajikan keserakahan, kelicikan, dan kemunafikan. Kecuali pemeluk agamanya sendiri. Tak dianjurkan menyalahkan agama, dalam satu insiden.

Siapa yang terlibat ?

Tulisan ini sengaja tidak memuat  unsur alquran dan alhadis, sebab terlalu mulia kalau hanya menyelesaikan soal babat seperti ini. Saya katakan soal babat, sebab terorisme tak ada bedanya dengan masakan babat, grand desgin-nya selalu stagnan. Begitu pula dengan polanya.

Membahas siapa yang terlibat, kita harus hati-hati. Terorisme mengandung jurus Rangkah Gunung, membunuh dengan cara mengenaskan tapi tidak diketahui siapa engenering-nya alias otak listriknya. Sebenarnya, gampang saja membumi hanguskan teroris, cukup temukan otaknya, lalu titip di Pondok Gontor. Selesai masalah. 

Mengapa pondok? Sebab jika ia diamankan di penjara ia hanya menjadi virus atau patologi di lingkungan tersebut tanpa kontrol. Mereka bebas memberikan nasihat, cuci otak atau dan cuci baja. Masih ingat Aman Abdurrahman ? yang digadang-gadang menjadi pemicu terjadinya kerusuhan Mako Brimob ? mari berpikir bersama.

Pembuat hoax terpopuler adalah pemeritah, kata Rocky Gerung. Pemerintah punya segalanya, BIN, Densus, Denjaka, akademisi, dan prajurit terlatih lainnya. Mengapa hanya untuk membumihanguskan JAD/JAT yang hanya sebutir babat, butuh nyawa yang harus melayang??.

Pada tulisan sebelumya, saya menulis resensi film Alif Lam Mim, sebuah film konspirasi yang terdidik. Tulisan itu, dibaca 5000 lebih. Setidaknya, tulisan itu lebih dihargai dibanding saya menulis, tentang sepakterjang pemerintah, dalam menyelasaikan kemiskinan. Ilusi.

------ jika kita riview balik film tersebut, singkatnya begini; pemerintah mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan persoalan. Siapa yang berani menyelesaikan persoalan dengan tuntas, ia dapat kado spesial (naik pangkat, naik gaji, naik tunjangan). Untuk mencapai target tersebut, apapun dilakukan, termasuk perpecahan. Paham kan? ---- itu film Alif lam mim, bukan pemerintahan di Indonesia.  

Hanya saja, ditengah milenial seperti ini, rakyat harus cerdik dalam menimang persoalan apalagi soal terorisme yang hubungkan dengan agama. Jangan-jangan agama hanya menjadi corong dan bomber hanya mejadi korban kebisingan polapikir pemimpinnya. Adakah di film alif lam mim, teror berasal dari agama ? tidak. Itu berasal dari pemerintah yang haus kekuasaan. 

Titik. Konspirasi menjadi alat untuk melanacarkan ekeskusinya, agama dijadikan sebagai tameng, dan yang paling penting adalah media dijadikan alat sebagai pengecaman (Libernisia). Tidak media yang selamanya kontra terhadap pemerintah, sebab media juga butuh hidup.

Lalu seperti apa grand design terorsme di indonesia, lalu apa motif sesungguhnya ? akan dibahas setela ini. Lanjut .....

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun