Mohon tunggu...
Kacong Tarbuka
Kacong Tarbuka Mohon Tunggu... Media -

Hidup di tengah masyarakat agamis-kontekstualis membuat saya harus banyak belajar pada realitas. Terlalu banyak orang yang gampang mengkafirkan sesama, dan jarang orang yang bisa mengakui kesalahan, khususnya dalam perjalanan beragama. Mencari ketenangan dengan menulis, berkarya, serta mengangkat ketimpangan sosial menjadi bermartabat. Salam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Desa: “Pinjam Emas, Setor Uang “ dalam Perspektif Moralitas

25 Juni 2016   12:31 Diperbarui: 25 Juni 2016   13:09 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Cerdik, bijak, disiplin, korupsi hukum, dan licik, timbul dari keberanian. Keberanian itulah nantinya yang bisa mengarahkan manusia pada kotak-kotak. Entah kotak licik. Cerdas ataupun cerdik. Begitupula dengan orang yang cerdas dalam memahami hukum, bisa saja semaunya. Toh, cari hadis apapun banyak. Tanpa takhrij pun biasanya dipakai,” katanya menganalogikakan keadaan stake holder di desanya.

Makanya, kemudian muncul rekonstruksi hukum atau bahkan dekonstruksi hukum. Hal itu dilakukan agar terciptanya hukum di masyarakat bermanfaat, seperti yang dilakukan Muhammad Syahrur, pemikir kontemporer asal Damaskus. Menurut ia, merubah satu hukum qhati’i yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial, merupakan kewajiban demi terciptanya masyarakat humanis.

As-Suyuti denga teori batinan-aw-dzahiran juga memberikan persepsi bahwa untuk melihat satu keadaan tidak cukup dengan luarnya saja, tetapi membutuhkan teori yang bisa membedah isi kulit tersebut. Sebelum itu muncullah, Hermes, salah satu penggagas hermeneutika yang lebih ekstrim dalam menenetukan hukum. Dalam hermenenutika, tidak hanya hukum yang perlu disangsikan tetapi Al-Quran dengan 114 surat perlu disangsikan aspek ke-autentikannya.

“Orang pintar, ketika tidak mau dikritik ia bukan pintar. Tetapi bodoh yang dibalut dengan sarjana atau tumpukan kitab,” katanya, matanya sambil menarawang.

Hutang Emas, Setor Uang

Inilah yang membuat Hadi jengkel. Bukan jengkel pada ketentuan hukum Tuhan, tapi jengkel kepada sekumpulan masyarakat yang mencoba memper-alat hukum Tuhan demi mencari keuntungan sendiri dan menindas kaum mustadafin. Ia menyadari, meski lulusan Filsafat dengan predikat yang melambung tinggi, tak membuat ia terus menyalahkan masyarakat dan Tuhan. 

Tetapi ia henya menyesalkan praktik yang kurang baik. “Intinya adalah, bagaimana satu hukum tersebut bisa bermanfaat bagi masyarakat, bukan menjadi momok pada masyarakat. Tapi yang jelas, ketika satu hukum dibenturkan dengan aspek moralitas, maka akan menciptakan nilai humanis di kalangan masyarakat. Lalu bagaimana dengan fenomena pinjem emas, setor uang ,” katanya, sambil main COC.

Tak banyak tau mengenai fenomena ini, bahkan terbilang jarang. Selain hanya dipraktikkan dalam satu lingkungan saja, mengenai legalitas hukum pratik tersebut masih menjadi persoalan. Hutang emas, setor uang, itulah yang terjadi di salah satu desa di Madura. Dibalut dengan perangkat hukum yang matang, legalitas terhadap praktik tesebut menjadi tak terbantahkan. Lebih-lebih yang menjalankan praktik tersebut merupakan stake holder di mata masyarakat.

“””””——— Bagaimana pelaksanaanya ? Sebut saja si A sedang membutuhkan uang, untuk pengobatan keluarganya yang lagi sakit atau sekarat. Karena terbilang keluarga yang tidak mampu, akhirnya ia mencoba mengambil praktik “Hutang emas, setor uang”. Datanglah ia kepada B, pelaku bisnis tersebut. Ia mengatakan, kalau pinjam uang cash tidak ada, kecuali pinjam emas. Nah, dengan emas inilah, nantinya muncul praktik jual beli yang cukup mengherankan. Bagaimana tidak ? ketika transaksi sudah terjadi , kemudian si A, disuruh menjual emasnya tadi ke si C, si C tersebut sudang ada “kongkalingkong” dengan si B, pelaku bisnis tersebut. 

Misalkan si A, pinjem emas 5gram dengan harga Rp 1.000.000,- maka ketika dijual ke si C, kisaran 900.000 ribu rupiah. Setelah emas yang dianggap Rp 1.000.000,-tadi, ketika pembayaran nanti ditambah dengan persenan 10%/bulan. Minimal pinjam tiga bulan. tinggal dihitung saja, hasilnya perbulan bagi pelaku bisnis tersebut. Sementara yang meminjam, sekeras tenaga untuk membayar. Ketimpangan sosial ini sampai saat ini belum juga disardari, bahwa praktik tersebut meresahkan masyarakat.——– “ katanya sambil berharap pemuda di desanya segera berontak terhadap hukum yang tak sesuai tersebut. -------------””””

Herannya, mereka sepakat, bahwa bunga bank, merupakan keharaman yang pasti. Lalu bagaimana dengan porsentase pinjaman ? tak jauh bedanya dengan imperialis, dan kaum feodelisme. Sama-sama mencekik kaum proletar. Mereka mematok 10 persen untuk perbulnnya, sementara bank, hanya mematok 9 persen pertahunnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun