Dari kisah yang diceritakan oleh guru teman saya, yang melihat dan terlibat langsung dalam peristiwa tersebut –ketika itu, saya tidak sedang di sekolah berhubung ada satu dan lain hal. Ada beberapa siswa yang disidang oleh guru-guru di kantor sekolah lantaran terlibat kegaduhan. Tersebutlah ada salah satu murid kelas 6, yang merupakan teman dari siswa-siswa yang disidang tersebut, berdiri terus di pintu kantor, mungkin semacam memberikan dukungan terhadap-hadap siswa-siswa yang sedang disidang. Oke, sebut saja dia AR.
Dirasa mengganggu proses sidang, AR kemudian diminta menyingkir oleh salah seorang guru, sebut saja SY. Rupanya permintaan guru SY tidak diindahkan oleh AR. Bahkan terkesan membangkang, mungkin AR merasa harus mendukung penuh teman-temannya yang disidang dengan berdiri terus di pintu kantor, ya, kira-kira semacam demontrasi seperti di tv-tv itu, bertahan dan terus bertahan. Karena terus bertahan dan ada nuansa pembangkangan, guru SY akhirnya agak memaksa AR untuk mundur, ya kira-kira seperti satpol pp meminta pendemo mundur. Nah, disinilah inti masalahnya, rupanya ketika meminta mundur itu, guru SY tanpa sengaja sedikit mendorong tepat di pipinya. Sehingga, murid AR merasa ditempeleng, padahal sebenarnya, menurut cerita yang saya dapatkan, tidak.
Karena merasa ditempeleng, AR akhirnya marah dan pulang ke rumahnya. Tidak sampai sepeminuman teh, AR kembali lagi ke sekolah dengan parang sudah di tangan. Dengan berteriak-teriak seperti mau perang, AR mengacungkan parangnya yang mengkilat kepada guru SY. Kepanikan dan kegaduhan pun terjadi. AR terus mengcungkan parangnya dan mengajak guru SY keluar untuk berduel –mungkin semacam ajakan duel kejantanan. Satu lawan satu.
Namun guru SY tidak terpancing muridnya itu. Meskipun terlihat tidak tenang guru SY mencoba bertahan dalam sekolah, bukan bersembunyi, tapi memandang si murid dengan hati yang kacau dan galau.
Kegaduhan terus berlanjut. Murid AR terus beraksi seperti kesetanan. Orang-orang kampungpun berdatangan. Beberapa orang mencoba mengambil parang di tangan si bocah ingusan itu, namun tidak ada yang berhasil. Parang itu tetap di tangan AR dan itu berbahaya. Salah seorang guru perempuan mencoba merayu, agar parang itu bisa lepas dari tangan AR. Dengan sedikit trik karate yang dimiliki si guru perempuan, akhirnya parang itu bisa dirampas dari tangan AR. Namun amarahnya belum juga reda, bahkan kian memburu.
Tak lama kemudian, nenek si siswa datang menyusul cucunya yang jagoan itu. Kemudian nenek itu bertanya, siapa sebenarnya si SY. Dijelaskanlah kepada nenek itu bahwa SY yang akan diparang cucunya adalah guru cucunya sendiri. Duh, rupanya si nenek tidak tahu bahwa cucunya mengambil parang ke rumahnya untuk terlihat jagoan di depan gurunya.
Di nenek mengelus dada. Tadinya dia menyangka bahwa SY bukan guru, sehingga membiarkan cucunya keluar rumah membawa parang dengan penuh amarah. Akhirnya nenek itu memarahi AR dengan umpatan khasnya. Lalu meminta maaf kepada guru-guru atas kelakuan cucunya –aih, jadi kalau bukan guru cucunya itu dibiarkan saja berduel mempertaruhkan maut demi sesuatu yang tidak prinsip.
Bagaimana dengan orang tua si AR, tahukah mereka kejadian itu? Mereka tidak tahu, mereka sedang mencari uang di Malaysia.
***
Saya tidak sedang ingin mengatakan bahwa kekerasan masih kerapkali mewarnai dua pendidikan kita. Tapi dua kejadian di atas semakin memberikan bukti, bahwa pendidikan kita masih jauh seperti yang diharapkan. Pendidikan kita masih belum mampu membentuk karakter anak didik menjadi baik. Lalu siapa yang salah? Haruskah mencari kambing hitam? Padahal 20% dari APBN sudah terkucur deras ke dunia pendidikan.
Tajjen, 25/11/2012