MENGABSTRAKSI NASIONALISME SYARIAH DALAM RANAH PENDIDIKAN
mulai dengan tajuk besar NKRI bersyariah yang dideklarasikan oleh Habib Riziq yang memicu seorang Denny JA untuk menuliskan gagasan idenya sebagai pertentangan mutlak jika dia tidak ingin NKRI syariah kembali disiarkan ke rakyat Indonesia lagi.
Dalam tulisan Denny, dia mengimplisitkan bila tahapan sebagai NKRI syariah memerlukan proses yang tidaklah mudah dengan menggunakan sebuah data dari indeks islamicity lantas menggabungkan dengan indeks world happiness dari Sustainable Development Solution Network. Denny menyatukan indeks islamicity dengan tolak ukur kebahagian bahwa negara paling bahagia adalah negara-negara yang tidak jauh berbeda dengan data dari islamicity index yang menjelaskan jika negera bukan islam lebih bahagia daripada negara islam sendiri.
Menetralkan Tatanan Sosial Dengan Sekularisme.
Keberadaan politeisme dengan monoteisme dahulu seakan-akan memiliki kesamaan dengan dua riset yang ditemukan Denny. Dahulu, kekaisaran Romawi memerintahkan tidak lebih daripada empat penindasan besar-besaran terhadap orang Kristen. Namun, saat itu, jumlah perbandingan kematian dari penganut polistetik dan monotesime lebih banyak penganut monoteistik yang menjadi korban jiwa hanya karena membela tafsir yang berbeda sedikit mengenai agama kasih dan welas kasih.
Agama adalah sistem norma dan nilai manusia yang didirikan atas kepercayaan akan suatu tatanan adinanusiawi (Harari, Yuval Noah, 2011:274). Adalah hal yang tidak relavan menyangkutpautkan ide keagamaan dengan Negara karena kultur ilmiah kita telah mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material yang hadir di hadapan kita. Terlepas dari kemampuan agama untuk melegitimasi tatanan sosial dan politik yang tersebar luas, tidak semua agama berhasil mewujudkan potensi tersebut. Agama sendiri diharuskan mendukung adimanusiawi yang universal dan berdakwah. Peran pancasila sudah melebihi adimanusiawi dari sebuah agama, karena pada dasarnya merupakan visi dari penyelenggaran kehidupan bangsa dan negara.
Tolak Ukur Kebahagiaan NKRI Bersyariah.
Mengacuh dari pernyataan Denny JA yang menyatakan negara Barat lebih bahagia dari negara yang mayoritas muslim sesuai dengan data yang dia temukan, tidak juga membawa makna sendiri bila kebahagiaan itu bukanlah masalah. Namun, ada sebuah premis yang mendasari semua asumsi dan keyakinan kita. Premis itu adalah kebahagiaan itu bersifat algoritmik, bisa diutak-atik dan diperoleh dan bisa dicapai (Manson, Mark. 2016:30).
Jika negara barat berhasil membuat rakyatnya bahagia, maka negara tersebut memiliki tatanan sosial yang kuat. Negara tidak akan bisa kuat bila rakyatnya tidak bahagia dan sebaliknya pun. Namun, bila mengacuh kepada kalimat Habib, kebahagiaan sebenarnya bukan didasari oleh sebuah agama. Dikaitkan dalam Yunani kuno, Filsuf Epicurus dari buku Homodeus (Harari, Yuval Noah, 2015:34) menjelaskan bahwa menyembah Tuhan itu membuang-buang waktu, bahwa tidak ada eksistensi setelah kematian, dan bahwa kebahagiaan adalah tujuan tunggal kehidupan. Jika memang diukur dengan tingkat kebahagiaan, maka tidak melulu jika negara yang bersyariah bisa membawa kebahagiaan untuk masyarakatnya. Sebab, skeptisme terhadap kebahagiaan duniawi lebih menarik untuk dipahami daripada sebuah eksistensi kematian. Indonesia tidak hanya memiliki hak untuk beragama, tetapi juga memiliki hak untuk bahagia di dunia.
NKRI Syariah Telah Ada Di Ranah Pendidikan
Denny mengemukakan bahwa dalam ruang publik manusiawi di setiap negara seharusnya tidak boleh menghalangi pelaksanaan akidah warga negara. Kenyataannya NKRI syariah telah menelusup masuk disela-sela pendidikan Indonesia. Saya menemukan artikel dari New York Times dengan tajuk ambiguitas “Public School In Indonesia feeling islamic pressure”
Ditelaah lebih dalam lagi mengenai makna dari pressure pada tajuk tersebut diterjemahkan sebagai tekanan. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia sendiri tekanan adalah desakan yang kuat atau paksaan. Sepuluh responden yang saya wawancarai (baik Non Muslim dan Muslim) bersekolah di negeri menjelaskan jika tidak ada peraturan tertulis, tetapi verbalitas itu digaungkan oleh guru mereka.
Tajuk dari artikel menyambungkan perdebatan antara Habib riziq dengan pernyataan Denny JA tentang NKRI Syariah yang seolah-olah tidak memberi kebahagiaan kepada negara. Beberapa responden saya lebih memilih untuk hidup sesuai pandangan mereka terhadap tatanan sosial. Kendatipun dalam pedoman masing-masing kitab mereka diwajibkan, mayoritas responden saya memilih untuk berseragam sesuai UU daripada mengikutkan agama sebagai gaya seragam mereka.
Padahal, ruang publik untuk siswa jelas sudah dicetuskan undang-undang penetapan pakaian seragam sekolah. “… harus dipastikan siapapun yang akan sekolah jangan sampai dipermasalahkan mengenai seragam sekolahnya, khususnya pengguna seragam sebagai identitas keagamaan,” ungkap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Mohammad Nuh, melalui Didsik.depok.go.id.
Andreas Harsono, seorang peneliti Hak Asasi Manusia menjelaskan bila pemakaian konsep syariah di dunia pendidikan telah ada sejak TK hingga SMA yang telah dibuat sebagai peraturan oleh kepala sekolah dan pemerintahan seolah-olah tidak merasa tergangu dengan adanya peraturan seperti itu.
Namun, bukan berarti konsep syariah tidak bisa menjadi peraturan secara konseptual untuk mendirikan Negara. Di saat berkembangnya monoteisme, yang muncul di semenanjung Arabia pada abad ke-7--Islam, yang awalnya agama ini letaknya paling tersudut di dunia dengan jumlah pengikut paling sedikit, namun dalam kejutan sejarah yang bahkan lebih cepat nampu menerobos keluar dari gurun Arabia dan menaklukan wilayah luar biasa luas yang membentang dari Samudera Atlantik sampai India. Tidak mengecualikan bila NKRI syariah telah diselipkan masuk ke rana pendidikan bila melihat sesuai dengan sejarah, bagaimana islam adalah agama yang paling cepat menyebar, diantara agama-agama yang lainnya.
Namun, menelaah buku Emha Ainun Nadjib “Islam Itu Islam” pada Slilit Sang Kiai, yang mengutarakan “Pengaruhilah dunia sehingga tidak memeluk islam. Hasilnya islam ya tetap islam. Islam tidak menjadi lebih tinggi karena islam baqa kebenarannya. Manusia sajalah yang terikat untung rugi. Manusia sudah tiba di abad ke-20 yang maha cerdas. Islam tidak punya kepentingan terhadap manusia, manusialah yang berkepentingan terhadap islam”. Begitu pula dengan menyangkutpautkan islam kepada ideologi dasar negeri ini, sebab Islam sejak dulu tidak pernah terikat dengan manusia apalagi sebuah negara.
Sepuluh responden saya menyatakan bahwa sebagian di antara mereka menuai kontra bilamana agama ikut dimasukkan dalam sekolahan publik dengan pakaian sebagai alasan. Hal ini dapat juga menyambungkan, untuk kebahagiaan bangsa dan negara, diperlukan ideologi yang adil dan proporsional, yaitu Pancasila. Sebab juga, sejatinya keberhasilan sebuah negara didasarkan karena kemajuan teritori, kenaikan populasi, dan pertumbuhan GDP.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pendidikan Kota Depok.2014. Kemdikbud Keluarkan Aturan Baru Tentang Seragam Sekolah (http://disdik.depok.go.id/?p=5733 diakses tanggal 26 Januari 2019)
Harari, Yuval Noah. 2018. HOMODEUS Masa Depan Umat Manusia. Terjemahan oleh Yanto Musthofa. Ciputat: Pustaka Alvabet.
Harari, Yuval Noah. 2017. SAPIENS Riwayat Singkat Umat Manusia. Terjemahan oleh Damaring Tyas Wulandari PalarJakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Kwok, Yenni.,2014. Public Schools in Indonesia Feel Islamic Pressure (https://www.nytimes.com/2014/06/16/world/asia/public-schools-in-indonesia-feel-islamic-pressure.html diakses paada tanggal 4 Januari 2019)
Manson, Mark. 2018. Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Terjemahan oleh F. Wicakso. Jakarta: Grasindo
Nadjib, Emha Ainun.2013. Slilit Sang Kiai. Bandung: PT Mizan Pustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H