Situasi politik Indonesia pada momentum menjalang pemilu 2024 yang akan dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024 semakin absurd. Berbeda pada momen pemilu 2014 atau pemilu 2019 lalu, pemilu 2024 kali ini di dominasi pemilih muda. Sebesar 55% data yang dirilis KPU RI pemilih pada pemilu 2024 di dominasi generasi Millenial dan Gen Z.Â
Sangat disayangkan, besarnya jumlah pemilih muda ini kerap dimanipulasi keluguan dan keapatisannya untuk dimanfaatkan suaranya saja. sehingga menjadi sasaran empuk di post truth era. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya pendidikan politik yang diterima dan gagalnya rezim sekarang menjalankan perintah konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, terbukti IQ nasional kita sebesar 78% sekitar 20% diatas simpanse (sumber data: laporan World Population Review 2023).
Era post truth ini tidak terlepas semakin masifnya perkembangan dunia digitalisasi. Sehingga banyak penetrasi informasi yang tidak terbendung. Masyarakat Indonesia sering kali menelaah mentah-mentah dari kemudahan informasi yang di dapat. Padahal Informasi yang diperoleh itu belum tentu kebenarannya.Â
Dari hal itu lah para politikus banyak yang memanfaatkan kepentingan kelompok mereka pada Pemilu 2024. Bilamana hal ini dianggap remeh, yaitu era post truth pada pemilu 2024, maka bangsa Indonesia di ambang pembodohan dan perpecahan. Misalnya kita ambil contoh apa yang terjadi di negara Timur ketika peristiwa Arab Spring seperti di Syiria, negara tersebut terkoyak-koyak akibat berita hoaks di era post truth yang terjadi dalam konflik politik antara rezim yang berkuasa Bashar Al Assad dengan kelompok oposisi.Â
Masyarakat Syiria terperosok ke dalam kubangan hoaks, tanpa melakukan klarifikasi dan verifikasi atas berita yang diterima (tanpa tabayyun), melainkan mereka langsung menyerap mentah-mentah semua informasi itu yang cenderung mengadu-domba antara kelompok Islam Sunni dengan kelompok Islam Syiah.Â
Informasi yang beredar langsung diserap menjadi asumsi personal dan membentuk opini yang bersifat dangkal dan subjektif sehingga membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan selanjutnya menimbulkan perpecahan. Indonesia harus benar-benar menyaring dan tidak mudah terprovokasi akibat ulah para politikus yang hanya mentingkan kepentingan kelompok mereka.
Dewasa ini, melimpahnya informasi pada masyarakat Indonesia di era post truth memunculkan sejumlah dampak sosial. Pada tahun 2016, Oxford menjadikan kata post truth sebagai "Word of the Year". Seperti kita ketahui, masyarakat Indonesia sangat aktif berinteraksi melalui media sosial untuk memenuhi kebutuhan informasinya. Bagi sebagian orang, agak sulit untuk membedakan mana berita yang benar dan mana berita yang bohong (hoaks).Â
Hoaks selalu hilir-mudik menghiasi berita di media sosial yang seolah-olah menjadi pasokan sumber berita rutin bagi masyarakat Indonesia, terutama menjelang saat hari pencoblosan, dan pasca pencoblosan pada Pemilu 2019. Pemanfaatan media sosial guna kepentingan politik banyak disalahgunakan oleh sebagian orang atau kelompok tertentu untuk merebut perhatian dan simpati masyarakat.Â
Media sosial yang seharusnya digunakan untuk melakukan literasi agar masyarakat Indonesia paham tentang politik dan mengetahui hak dan kewajibannya dalam bidang politik, justru oleh sebagian orang atau kelompok digunakan sebagai media propaganda dan provokasi untuk menjatuhkan lawan politik. Inilah yang disebut dengan hoaks politiik yaitu berita bohong tentang politik yang digunakan sebagai propaganda untuk memprovokasi masyarakat agar terpengaruh sesuai konten berita, hal ini populer terjadi di era post truth.
Istilah post truth menurut Kamus Oxford dapat didefinisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Problem masyarakat bukan pada bagaimana mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar.Â
Masalahnya media informasi alternatif sejenis TikTok, Instagram atau media sosial lainnya tidak selalu informasi atau berita yang benar. Dalam era post truth ini, terutama memasuki tahun politik pemilu 2024, penyebaran berita atau penggiringan opini publik yang disengaja di media sosial menjadi isu yang berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia.
Penulis berikan contoh kembali, barangkali pembaca masih ingat dengan Pemilu 2019. Pada saat itu terdapat Capres yang bergaya keras dan berasal dari militer. Saat itu, kita masih ingat betul betapa gagah dan beraninya Capres tersebut menentang dan mengkampayekan anti antek asing, di hadapan pendukungnya saat itu ia tidak segan-segan menggebrak-gebrak meja sembari berorasi bak seorang patriot. Pada saat itu pula, polarisasi yang terjadi di Indonesia begitu masif. Pertanyaanya, apakah itu post truth?
Kemudian pada pemilu 2024 yang sudah semakin dekat pelaksanannya. Capres yang sama tapi dengan gaya yang berbeda, bahkan citra Capres ini di desain oleh tim pemenangannya menjadi sosok yang imut (gemoy), jago berjoged, dan mudah mendapat empati. Akal sehat yang tidak sakit akan bertanya. Mengapa terjadi demikian? Lalu memunculkan pertanyaan kembali apakah ini juga post truth yang sengaja di desain?Â
Pada dasarnya semua adalah bentuk kepalsuan belaka. Dalam era post truth ini kita sebagai pemilih sangat tidak dianjurkan untuk terlalu fanatik pada golongan tertentu. Karena kita belum mengetahui kondisi asali dari ketiga paslon Capres dan Cawapres tersebut. Tapi untuk memilih, kita di tuntun oleh Ilmu Pengetahuan kisi-kisinya seperti apa bukan lagi mendasarkan kebenaran subjektif belaka.
Tulisan ini didedikasikan agar logical fallacy publik tidak terjerembak pada kedunguan. Tidak ada unsur untuk merendahkan pihak manapun. Semata-mata bagian dari kampaye Pemilu damai dan berperan aktif dari proses mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H