MAY DAY: Simpang Lima Jalan Bintang Merah
Oleh: Dani Febri
Tidak akan ada kebebasan yang nyata dan efektif dalam masyarakat yang didasarkan pada kekuatan uang. Dalam masyarakat, dimana para pekerja hidup dengan warna kemisikinan dan segelintir borjuasi yang hidup seperti parasit.Â
Kebebasan dalam masyarakat kapitalis tetap sama seperti era Republik Yunani Kuno, hanya kebebasan untuk pemilik budak. Kebebasan penulis, artis atau aktris borjuis hanyalah ketergantungan terselubung pada kantong uang, korupsi, dan pelacuran.
Sebuah kisah di persimpangan jalan bintang merah. Pagi yang hangat, tubuh yang rentah, dan kantong yang kering membara aku bertemu lelaki senja di kedai kopi sosialisme milik Pak Romo.Â
Nama kedai yang gegap gempita bagi orang yang berhaluan pembebasan. Pak Romo sendiri adalah seorang mantan aktivis mahasiswa yang kini akrab denganku di pertemuan simpang lima jalan bintang merah. Ia selalu menasehatiku apa yang menjadi kepentingan banyak kaum tertintas harus senantiasa kamu perjuangkan melalui circle kawan-kawanmu. Nasehat yang selalu aku ingat kala itu.
Simpang lima jalan bintang merah, nama kedai Pak Romo ini sangat filosofis bagiku dan mendukung pertemuanku dengan lelaki senja yang bernama Kakek Mukharom. Simpang lima sendiri secara historis adalah garis perjuangan sosialisme dalam simbolnya dan digunakan sebagai simbol murni sosialis di abad ke-21.Â
Salah satu interpretasinya adalah melihat lima poin mewakili lima jari tangan pekerja, serta lima benua berpenduduk. Bintang merah adalah gambaran filosofis logo sosialisme yang ke lima titik sudutnya mewakili lima kelompok sosial (pemuda, militer, buruh, petani, dan intelegensia). Semua terangkum dalam nama kedai Pak Romo, Sosialisme. Itulah sekilas telisik simpang lima jalan bintang merah.
Pertemuan ku dengan kawan Pak Romo, si Lelaki Senja. Usut punya usut Pak Romo mengenalkan ku dengan lelaki senja ini untuk memberikan pengalaman yang ia dapatkan selama berjuang sebagai buruh pabrik dan hak-hak buruh yang harus didapatkan.Â
Aku sangat larut ketika ia berujar "buruh tidak akan pernah kaya, buruh hanya menajadi budak, rentan diperas jasanya oleh sang pemilik modal" tidak hanya lelaki perempuanpun bernasib sama. Ia rentan mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh oleh para petinggi pabrik.Â
Sejenak ketika menyentuh pembahasan buruh perempuan, aku teringat oleh ujaran Lenin "status wanita sampai sekarang telah dibandingkan dengan seorang budak dan hanya sosialisme yang dapat menyelamatkan mereka."