Kesadaran akan eksistensi inilah yang akhirnya melahirkan sebuah kebutuhan dan kebutuhan melahirkan sebuah permintaan. Sekitar tahun 1980-1990-an ketika arus informasi semakin mudah didapatkan di Indonesia, Referensi gaya berpakaian hadir melalui Media televisi dan Majalah.
Idola-idola baru yang ditiru pola berpakaian mulai muncul. Dibenak saya sebagai penulis. Ketika tahun 90-an, topi bill up sangat nge-hits dipasaran, saya menduga ini berkat MTV yang selalu menanyangkan video klip band-band Hiprock seperti Limp Bizkit atau Linkin Park. Era itu, TV menjadi sebenar-benarnya arus utama kita dalam mengkonsumsi informasi setelah majalah, maka sangat wajar kalau kita akhirnya latah untuk mengikutinya.
Terlepas dari apapun alasan keluarnya UU tentang peraturan barang impor. Biar bagaimanapun juga, fenomena pakaian bekas tidak lepas dari tumbuh kembang para generasi 90-an, generasi pertama yang mencicipi (kelinci percobaan?) terbukanya arus informasi di media.
Saya kira, akan tiba masanya penjaja pakaian bekas akan gulung tikar, selain faktor regulasi juga karena selera remaja setiap hari semakin berubah sesuai referensi zamannya.
Misalkan, semakin minimnya lapak-lapak penjual pakaian bekas impor karena terkendala Peraturan dan UUD, setidaknya, fenomena Garage sale yang mulai dihidupkan kembali oleh kalangan muda urban -umumnya menjual baju bekas dan aksesoris- dapat menampung rasa rindu kita dalam berburu pakaian bekas (secondhand).
Semakin minim penjual berdampak pada semakin jarangnya pembeli, semakin jarang pembeli maka semakin jarang pengguna. Sampai akhirnya, karena sudah tidak menjadi dominan, trend pakaian bekas akan kembali ke khittah, kembali ke ideologi yang melekat diawal kemunculan, yakni, menjadi otentik dan bernilai lebih personal terhadap para penggunanya.
---
Referensi bacaan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H