Walau sejak tahun 2002 impor pakaian bekas sudah dilarang, akan tetapi peredarannya masih sangat marak dipasaran. Selang 13 tahun, isu pelarangan pakaian impor bekas kembali muncul.
Banyak toko penjual pakaian bekas yang tutup barangkali karena faktor harga yang berimplikasi pada minimnya peminat. Harus diakui, harga-harga pakaian baru (sekelas distro) sudah mulai terjangkau, sedangkan pakaian bekas harganya lebih mahal bahkan sama. Apalagi, sudah banyak para pedagang pakaian bekas yang mengenal merk (istilah populernya, mengenal brand) ini tentu musibah bagi pembeli. Hahahaha. Kenapa? Karena dalam penentuan harga akan disesuaikan dengan brand/merk apa yang sedang ditawar pelanggan.
Untuk wilayah Jakarta, sentral pakaian bekas yang tersohor berada di daerah poncol, Pasar Senen. Akan tetapi, setelah kebakaran hebat tahun 2014, Poncol kian sepi pembeli. Sedangkan untuk wilayah lainnya seperti Jogjakarta, toko penjual pakaian bekas banyak disekitaran Jogteng dan ketika acara Sekaten. Tidak hanya itu, ada banyak kota besar di Indonesia dengan konsumen pakaian bekas yang cukup banyak seperti, Bandung dan Surabaya.
Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Thamrin Latuconsina mengungkapkan larangan impor pakaian bebas sebenarnya telah diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan, yang mewajibkan setiap importir mengimpor barang dalam keadaan baru.
Ketika bicara tentang pakaian bekas, suka atau tidak kita akan berbicara tentang “roots-culture-nya”. Generasi ketiga setelah Hippies dan Funk yang cukup mendominasi eropa. Pakaian Bekas sejatinya membentuk subkultur sendiri, trend ini marak dikenakan kalangan remaja Inggris khususnya kalangan Indie dan terpelajar sekitar tahun 1980-1990-an. Awal mula kemunculannya merupakan bentuk perlawan atas hegemoni dominan kaum kelas menengah yang cenderung elitis karena selalu berpakaian rapi dan serba baru.
Bagi para penggunanya, khususnya kalangan remaja, pakaian bekas juga dianggap lebih personal dan otentik ketimbang pakaian baru yang dijual di mal-mal. Ada nilai baru yang ia ciptakan saat dikenakan. Nilai-nilai yang dianggap baru ini sebenarnya bentuk perlawanan, sebuah bentuk pembeda antara mereka yang (golongan muda) dengan apa yang mereka (golongan tua) kenakan.
Menurut clarke dalam buku: Subculture, culture and class. Merujuk bahwa remaja terbentuk dari artikulasi ganda yakni dalam perlawanannya dengan kebudayaan orang tua dan kebudayaan dominan. Adalah upayanya untuk memenangkan pertarungan dalam merebut ruang kultural atas dominasi orang tua dan budaya dominan, salah satu bentuknya dengan cara mereka berpakaian.
Di Indonesia, menurut saya (menurut saya loh ya...) Puncaknya adalah ketika banyak sekali band-band beraliran Rock, oldskul, klasik atau new wave berkeliaran di media, khususnya MTV.
Dan idealnya, seperti yang kita ketahui bahwa band atau pemusik/musisi selalu menyelaraskan musik yang diusungnya dengan apa yang dikenakan. Contohnya Naif atau The Upstairs. Naif dengan gaya vintage, jas jadul dan celana cutbray sedangkan The Upstairs terlihat nyentrik dengan gemerlap new wave dress-nya. Tahun 2004 gaya kedua band tersebut sangat hits dan marak dijadikan rujukan gaya berpakaian bagi sebagian remaja. Dan sialnya, saya pernah menjadi bagian dari apa yang Hits saat itu.
Bagi remaja kelas menengah perkotaan, Fesyen adalah kebutuhan, ia tidak hanya sekedar atribut yang gonti-ganti dikenakan setiap hari. Sadar atau tidak, ada identitas yang melekat atas apa yang kita kenakan.