Mohon tunggu...
KAMIL ICHSAN
KAMIL ICHSAN Mohon Tunggu... Freelancer - Socio Hippies

T : @KMLICHSN Insta : @imajibanal

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama featured

Medsos, Kita dan Kebencian yang Tergesa-gesa

20 Juli 2015   22:41 Diperbarui: 8 April 2018   23:11 2359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak dari kita tentu sering menggunakan media sosial sebagai mercusuar dalam pencarian informasi, menyebar informasi atau kegiatan berbagi lainnya. Namun tak jarang, apa yang kita dapatkan (Informasi) dan kita sebarkan merupakan gerak spontan dengan analisis sederhana. Sederhana disini mencakup 2 hal: 1. suka atau tidak suka dan 2. Perlu atau tidak perlu. Atau apapun alasannya itu, yang jelas fungsi media sosial memang untuk ber-sosial bukan?

Saya pribadi beberapa tahun terakhir sangat gemar menggunakan Twitter sebagai media beraktifitas di internet. Facebook bagi saya sudah seperti pasar yang diisi pedagang yang cerewet. Hahahaha. Realtime system yang disuguhkan twitter dalam menyampaikan informasi sangat menarik bagi saya, tidak menumpuk seperti beranda facebook. Oke, perbandingan antara twitter dan facebook secara pribadi menurut saya cukup sampai disini.

Bicara tentang bersosialisasi tidak cukup hanya sekedar “temu-sapa” ada hal lain yang sering atau kadang kita lakukan, yakni komentar. Facebook bagi saya sudah seperti pasar yang diisi pedagang yang cerewet. Jadi gini, beberapa waktu yang lalu saya menjumpai salah satu teman yang men-share berita (salah satu contohnya) tentang isu Pemkot Solo yang melarang para staff-nya melasanakan buka puasa bersama dan halal bihalal. Loh kok, kenapa’e buka puasa bersama dan halal-bihalal pake dilarang?. Lantas, Netizen pun ramai menanggapinya, melalui komen, semua amarah dan kebencian dituliskan. Duh.. kok jadi gini yah.

Setelah itu saya cari tahu kejelasan berita/informasi tersebut. Ternyata benar dugaan saya, ada yang aneh dari berita tersebut. Yang benar adalah, bahwa Pemkot solo melarang para staffnya mengadakan buka puasa bersama dan halal-bihalal dengan menggunakan dana APBD. Jadi, selain dana APBD (urunan, patungan) sah-sah saja dilakukan.

Framing dalam melihat berita atau pun menyampaikan pada dasarnya sih sah-sah saja dilakukan, asal tidak keluar dari fakta yang ada. Karena, informasi yang salah disampaikan akan berujung pada opini yang salah ditangkap.

Atau, dilain kasus, kita masih ingat ketika awal puasa kemarin, perkara saling harga-menghargai, siapa yang paling berhak dihargai antara orang yang berpuasa atau yang tidak berpuasa. Kicauan yang sebenarnya cukup bijak disampaikan oleh Menteri Agama kita ini kemudian diplesetkan (oleh orang tak bertanggungjawab) dengan logika, “Bahwa Menteri Agama menyuruh orang yang berpuasa untuk menghargai orang yang tidak berpuasa”. 

Alhasil, berita tersebut menuai bullying di sosial media. Padahal sebenarnya, Pak Menteri hanya mencoba memberikan mauidzoh hasanah kepada rakyatnya untuk sama-sama saling menghargai, saling menghormati dan tidak terlalu meributkan siapa yang paling dahulu dihormati.

Walaupun akhirnya, Pak Lukman sudah melakukan klarifikasi bahwa sebenarnya hal tersebut tidak benar dan twitnya sudah ada yang "merubah" sehingga substansi/maknanya jadi berbeda. Walaupun begitu, statemen salah tersebut sudah terlanjur jadi bahan ledekan di Media sosial, oleh siapa? oleh para netizen yang males mencari informasi/fakta yang benar soal isu tersebut.

Sama halnya dengan kasus yang akhir-akhir ini ramai soal kerusuhan? di #Tolikara, perihal terjadinya pembakaran Rumah Ibadah saat Idul Fitri kemarin, beritanya pun simpang siur, ada banyak versi yang bertebaran di Media Sosial sejauh yang saya pahami, diantaranya ada yang bilang Masjid yang terbakar, ada pula yang bilang Mushala, Ruko atau Pasar.

Pemicu kerusuhan pun sama simpang siurnya, Disebabkan karena urusan speaker Masjid atau urusan politik. Entah dari kalangan Nasrani atau Muslim yang menjadi korban di sana, yang jelas, konflik yang berbau sara jika didiamkan terlalu lama hanya akan melahirkan opini-opini yang semakin memperkeruh keadaan.

Suka atau tidak, hendaknya kita tahan dulu hasrat untuk beragumen tentang hal-hal yang belum jelas. Benci pelakunya tidak harus membenci Ras atau Agama/golongannya. Mengutuk perbuatannya tidak lantas menyamaratakan prasangka buruk terhadap golongan/kelompoknya. Dalam hal ini, kita perlu kedewasaan dan rasa percaya yang tinggi kepada pihak berwenang untuk menyelesaikannya.

Media merupakan corong penting penyebaran informasi, dalam menyuguhkan informasi mengenai sebuah peristiwa ada banyak angle yang dapat diangkat.

Medsos menjadi wadah menyampaikan opini (tidak salah memang), ada yang memanfaatkannya sebagai wadah menghimpun bantuan, ada yang sibuk memobilisasi kemuakkan. Ada yang memberi solusi, ada yang malah sibuk cari sensasi.

Di antara banyaknya informasi yang bertebaran di media sosial, sebelum beropini, hendaknya kita cari tahu dan pahami apa yang sebenarnya terjadi. Ada cara sederhana yang tidak menyita waktu yang  dapat kita lakukan untuk melihat/menilai (Validitas) sebuah berita.

Caranya? ya cari tahu, toh kita kan sedang melakukan aktivitas di internet, mencantumkan keyword di Google, baca sebentar, pahami, selesai sudah. Maka, dalam melihat berita, Kita tentu jangan terlalu percaya pada 1 sumber informasi (berita), minimal 3 sumber (media) berita yang harus kita jelajahi untuk menilai isu ini valid atau tidak. Lihat media yang memiliki kecenderungan pro/kontra terhadap suatu peristiwa dan kemudian pilih media yang cenderung "netral" atau tidak memihak.

Kemudian coba bandingkan ketiga informasi yang sudah kita dapat, walaupun peristiwanya sama, sudut pandang/angle yang disuguhkan tentunya berbeda. Individu adalah sentris dalam memandang/memhami media dan teks. Media dan teks merupakan 2 hal yang tidak bisa dipisahkan. kredibilitas media pun penting kita lihat untuk keakurasian dan pertanggung jawaban informasi yang sudah mereka sampaikan. 

Kodrat media sosial adalah berbagi, umumnya, kita sering membagikan informasi/artikel yang (menurut kita) menarik/bermanfaat, Sekedar iseng atau bahan pencitraan, itu mutlak hak kita dalam memberi alasan.

Namun tak jarang (dalam kontek berita/hoax), apa yang kita bagikan justru merupakan kenegatifan yang pada akhirnya hanya memperkeruh, sebuah reflek spontan kebencian. Kita tentu perlu bertanggung jawab atas apa yang sudah kita bagikan. Bisa dengan cara meminta maaf ke khalayak atau dengan menghapus berita hoax yang telah kita sebar luaskan. Karena dalam mencerna sebuah berita, kita tidak harus meresponnya dengan tergesa-gesa. Pahami dan cari tahu merupakan langkah bijak yang perlu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun