"Sepi itu mencekam, ia tidak serupa ramai yang membunuhmu dalam kebisingan"
Aku dan kamu tidak hadir dari kegelisahan syair, tidak dengan bungkam murung para paria, dan tidak dengan segala macam hal yang pada akhirnya membuat kita lelah. Kita hadir dalam sebuah rencana, kuasa semesta, perjumpaan sederhana saat tatapan teduh dibalik kacamata itu menyapa, aku suka dengan apa yang kau kenakan, aku senang dengan segala hal yang kau bicarakan. Buai memabukan yang ingin kurasakan adalah bersamamu hingga tuhan tidak berkenan.
Aku berprasangka bahwa takdir menemui kita dengan logika perjumpaan dan nasib dengan cemburunya menyuguhi pedihnya perpisahan. Kadang, ada hal yang harus kita rayakan sebelum segalanya lepas dari genggaman. Kamu bahagia dengan kesendirianmu dan aku tidak bahagia dengan ketakutanku. Kita menikmati nasib dengan cara masing-masing.
Merindukanmu bagai ritual penebus dosa, rasa perihnya hadir saat sepi melanda. Berlebihan memang. Tapi, segala hal yang berlebihan baik untuk kita bukan ?. Kamu yang sederhana tidak akan sempurna jika hidup sendiri. Aku juga, kita bersama tidak untuk menjadi sempurna, tapi anggaplah ini sebagai titik mula bagaimana nasib menjumpai takdirnya.Â
Aku percaya bahwa, sesesungguh-sungguhnya perjuangan adalah perihal menyakinkan seseorang. Iya, kita sedang berjuang sayang, berjuang menyakinkan diri kita masing-masing. Berjuang mencemburui nasib, menulis ulang segala resah dan mengamini segala doa. Layaknya drama, semua yang kita perjuangkan ini akan bermuara, pada apa yang mereka sebut bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H