Mohon tunggu...
Miftah Rahman
Miftah Rahman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

http://www.pakishijau.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Des Boy

11 Juli 2010   15:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:56 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari seorang pencopet, ia menjadi pemberi. Kisah ini saya baca di Jurnal Perempuan edisi 11 Juni 2010. Kisah yang membuka kesadaran bahwa memang masih ada keajaiban di dunia yang serba rasional ini. Keajaiban di sini bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba, istilah lain ‘kun fayakun’, tetapi sesuatu yang langka. Di saat, kita tahu, dunia diisi dengan individualistik dan kepentingan-kepentingan yang serba sesaat, kisah itu datang bagai dongeng kanak-kanak, dan kita terperangah karena memang itu nyata. Berawal dari sebuah tempat kumuh, Des Boy -bersama seorang teman- memulai perjuangannya. Ia  ’meyulap’ kontrakan sederhana miliknya menjadi tempat yang menyimpan hal-hal yang tidak bisa lagi disebut sederhana. Anak-anak jalanan dari seusia TK hingga SMU, secara bergantian belajar mata pelajaran sekolah dari matematika, bahasa Indonesia, sejarah, dsb di tempat itu. Sementara di sore hingga malam hari, khusus pelajaran teater, musik dan ketrampilan di kontrakan itu. Bukan hanya itu saja, mereka pun dikenalkan dengan istilah Hak Asasi. “Agar mereka tau tentang HAM, hak mereka sebagai anak-anak, soalnya kalau di sekolahan kan ga diajarin” Kata Des Boy. Saya bayangkan, Des Boy duduk di depan anak-anak jalanan yang ia ajar, menatapi wajah mereka dan mendapati bayangan masa lalunya tersirat di wajah anak-anak itu. Sebagian dari mereka harus mencuri untuk bisa bertahan hidup, seperti halnya Des Boy dulu. Mereka dan dirinya adalah sama. Mungkin dari kesamaan dirinya dengan mereka itulah maka kemudian ia tahu apa yang dibutuhkan oleh anak-anak jalanan. Hak asasi dan harapan. Ya, anugerah Tuhan kepada setiap manusia, namun seolah tereduksi menjadi milik individu tertentu saja. Dan mungkin karena itu pula lah ia menamakan sekolah yang didirikannya Sanggar Anak Harapan. Apa yang diusahakan oleh Des Boy dan temannya itu bukan tanpa tantangan. Orang-orang tua mereka mencurigai sanggar yang dibentuknya hanya sekedar mencari uang. Sejak masuk sanggar, anak-anak itu tidak lagi pernah membawa hasil copetannya. Orang-orang tua itu menanggap kegiatan sanggar adalah percuma. Namun meski begitu, Des boy terus melangkah, melakukan apa yang diyakininya benar karena dari awal ia bergerak atas kesadaran diri, bukan oleh program kelompok atau organisasi, bukan pula atas dorongan orang lain apa lagi materi. Seiring dengan berjalannya waktu, Des Boy, yang memiliki nama asli Leni Desina, berhasil  membangun kerja sama dengan Universitas Binus (Bina Nusantara) dalam menyelenggarakan pendidikan paket A, B dan C dengan harapan, anak-anak yang putus sekolah bisa memperoleh ijazah sekolah formal sehingga mendapat masa depan yang lebih baik. Tidak hanya bekerja sama dengan Universitas Binus, Des Boy, dengan bantuan seorang teman, mampu menjajaki kerjasama dengan Yayasan Anak Cinta Bangsa untuk penyediaan buku, dan pengajaran Bahasa Inggris serta Komputer. Kini, di antara kumuhnya ruang kontrakan, muncul hal baru -walaupun kurang tepat menyebutnya ‘baru’ karena hal tersebut telah ada hanya saja mengendap di kedalaman jiwa, yaitu harapan, terselip di antara buku-buku, gitar ukulele rapuh atau tutup botol minuman dan senyum yang memperlihatkan gigi-gigi kotor anak-anak jalanan. Des boy, Seorang yang dulunya pencuri, kini menjadi pemberi, dan tanpa pamrih. Di tengah dunia serba materialistis, ia datang menanamkan mimpi dan masa depan, walaupun ia tahu bukan dia yang merasakannya nanti tetapi anak-anak didiknya itu. Sampai di paragraf terakhir ini, mungkin kita masih menganggap kisah ini sebagai khayalan, karena kita tahu, keajaiban dan heroisme hanya ada dalam sebuah dunia yang sangat jauh dan tak terjangkau akal, dunia dongeng.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun