Mohon tunggu...
Kabati
Kabati Mohon Tunggu... Jurnalis - Ruang Kerja Budaya

Penulis dan aktivis sosial budaya berdomisili di Padang Sumatera Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suara di Balik Gelanggang Arang: Kenapa Kolonialisme Dirayakan?

22 Mei 2024   06:19 Diperbarui: 22 Mei 2024   06:42 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari perspektif gender, salah satu dampak besar dari kehadiran tambang ini, adalah perubahan gaya hidup dan relasi kuasa dalam masyarakat matrilineal. Sama kasusnya di banyak tempat, dimana industrialisasi dan kapitalisme tumbuh maka perempuan cenderung termarjinalisasi atau tersubordinat oleh kekuatan yang patriarkhis. Apa lagi di dunia pertambangan. Saya menuliskan kenyataan ini dalam buku Pemetaan Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto yang diterbitkan oleh Dirjenbud Kemendiknas (2023) dengan judul Suara Senyap Perempuan di Jalur Arang. Hal tanah ulayat perempuan dirampas oleh ninikmamak kapalo waris lalu dijual ke pihak kolonial dan menjadi aset milik perusahaan tambang. Di arena tambang, perempuan kalau tidak dipekerjakan sebagai tukang cuci dan tukang masak, ya sebagai pelayan seks. Karena itu menurut saya, dalam perayaan FGA atau dalam peroses sosialisasi WTBOS yang harus dikedepankan bukan pewarisan nilai budaya tetapi cukup berupa pewarisan pengetahuan. Alasannya adalah karena pengetahuan bersifat inklusif, sehingga orang bisa secara terbuka menilai dan menerima buruk baiknya sebuah realitas sejarah.

Kenapa Kita harus merayakan Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WTBOS)? Ini menjadi pertanyaan pertama yang mengemuka di dalam kegiatan Diskusi Terpumpun Galanggang Arang yang diselenggarakan oleh panitia Festival Galanggang Arang (FGA) pada hari Senin (20 Mei 2024) lalu.

Diskusi yang diikuti oleh para sejarawan dan pakar pendidikan di Sumatera Barat ini, menurut Eddy Utama, sang kordinator kurator FGA,  sesungguhnya ditujukan untuk mencari pola serta sistem pewarisan nilai budaya yang pas dari WTBOS.

"Ini sudah tahun ke lima WTBOS diakui dan sudah tahun kedua penyelenggaraan FGA, namun pertanyaan kenapa kita harus merayakan masih saja muncul. Ini pertanda baik sesungguhnya. Artinya kita masih harus terus bekerja membangun kesadaran atas arti penting pengakuan dunia atas warisan yang ada di tanah minangkabau ini?" jelas Eddy, menanggapi pertanyaan-pertanyaan serta konflik yang muncul.  

Seperti diketahui, WTBOS diakui sebagai situs warisan dunia di Indonesia ke-delapan setelah Candi Borobudur yang mendapat pengakuan semenjak tahun 1991, Taman Nasional Komodo (1991), Candi Prambanan (1991), Taman Nasional Ujung Kulon Banten (1991), situs sejarah manusia purba Sangiran di Sragen Jawa Tengah (1996), Taman Nasional Lorenzt di Papua (1996) dan sistem irigasi persawahan Subak di Bali (2012). Setelah jeda sekian lama, pada tahun 2019 Sumatera Barat mendapatkan momennya, salah satu cagar budaya yang ada di kawasan Minangkabau ini mendapat pengakuan dunia.

Walaupun dunia sudah mengakui pentingnya keberadaan situs WTBOS sebagai tonggak sejarah kemajuaan berpikir manusia dan penanda sebuah peradaban modern---lewat pengakuan resmi dari United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada pertemuan bersama Komite Warisan Dunia di Kota Baku Azerbaijan---semenjak Juni 2019 lalu, namun nada protes dan pertanyaan menyelidik soal kenapa harus diperingati masih terus muncul.

Salah satu polemik sengit yang terjadi adalah 'perang' wacana di media, antara Randi Reimena yang menulis di garak.id dengan Jaka HB dari roehanaproject.com  yang kemudian polemik tersebut juga melibatkan pihak LBH Padang.  Inti dari polemik tersebut adalah pada kecurigaan pihak-pihak tertentu atas kerja kebudayaan yang dilakukan oleh pihak Gelanggang Arang, apakah tidak akan menyambung kegiatan eksploitasi sumberdaya alam yang ada. Polemik ini  menjadi bukti bahwa menghidangkan wacana (baru) ke hadapan galanggang rami memang bukan pekerjaan yang mudah. Publik punya cara pandang berbeda. Cara pandang, paradigma atau perspektif yang beragam inilah yang kemudian menjadi warna warni pemikiran berupa puzzel yang harus terus disusun sehingga nampak indah ketika dipajangkan. Sesuatu yang rumit sekaligus menyenangkan.  

Ya, tambang merupakan kegiatan eksploitasi alam yang menguntungkan bagi kepentingan kapitalis tetapi membawa dampak lingkungan yang besar serta dampak sosiologis bagi masyarakat sekitar tambang. Ini sudah menjadi diskursus klasik yang selalu muncul pada setiap momen pembangunan berbasis eksploitasi alam. Dan Tambang Batu Bara Ombilin di Sawahlunto adalah tambang pertama dan terbesar di masanya dengan menggunakan teknologi serta pengetahuan paling canggih. Tambang ini mulai beroperasi semenjak tahun 1892 dan mencapai puncaknya pada tahun 1930. Dengan segala kecanggihan teknologi dan infrastruktur pendukungnya, disebut dalam sejarah bahwa batubara dari Ombilin ini memasok 90 persen kebutuhan energi di seluruh Hindia Belanda. Tentu saja ini tidak hanya menguntungkan bagi pemerintah penjajah kala itu, tetapi juga membawa dampak besar bagi masyarakat Sumatra Weskust atau sekarang dikenal sebagai Sumatera Barat. Bahkan sampai hari ini, tambang-tambang 'liar' masih terus beroperasi di desa-desa pinggiran WTBOS.

Satu hal yang perlu di 'highlight' sesungguhnya adalah bahwa produksi tambang batu bara yang masih berlangsung sampai hari ini, isu kerusakan lingkungan serta proses kolonialisasi serta kapitasisme modern dan urusan pengakuan WTBOS oleh  UNESCO merupakan dua hal yang berbeda muaranya, sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Keduanya bisa saja hadir dalam waktu yang bersamaan tetapi akan tidak 'jelas juntrungan'-nya ketika dia dimasukkan dalam ruangan yang sama. Apa lagi ruang yang tersedia sempit. Ini saya rasa bukan persoalan mengadu baik dengan buruk tetapi soal mengambil yang baik dan mewaspadai yang buruk. Kedua-duanya penting tetapi tidak bisa dicampur-adukkan.

Persoalan WTBOS sesungguhnya bukan berkaitan dengan produksi tambang yang merugikan alam dan berdampak pada masyarakat pada masanya, tetapi pada proses selanjutnya yang dalam perspektif kebudayaan disebut sebagai proses reproduksi budaya, nilai-nilai budaya yang timbul dari kehadiran tambang di masa lalu tersebut yang berdampak pada sistem budaya serta pengetahuan masyarakat. Nilai inilah yang bagi UNESCO dianggap berharga dan perlu diwariskan. Hanya saja pengakuan dunia ini bersifat eksternal, sesuatu yang datang dari luar dan asing, sehingga perlu proses sosialisasi yang cukup panjang dan rumit sampai semua orang sadar bahwa ini memang penting. Bahwa pengakuan ini adalah peluang bagi kemajuan daerah dimana warisan itu berada. Apa lagi bagi masyarakat Sumatera Barat yang memang terkenal kritis (skeptis), dialetika pemikiran itu penting. Sebuah tesis 'wajib' mendapat anti tesisnya sendiri, seperti pada kasus WTBOS ini.

"Mempertanyakan ini penting. Nilai apa yang akan diwariskan dan akan diambil dari sebuah kerja eksploitatif? Bukankah disitu berlangsung sebuah sistem budaya kapitalis. Warisan dunia ini hanya labeling. Siapa yang mewariskan dan apa yang mereka wariskan? Ini warisan kolonial, ini bisnis. Kapitalis akan mewariskan nilai eksploitatif yang berkelanjutan. Apakah nilai-nilai kapitalisme ini yang akan kita rawat? Apapun namanya, ini kita sedang merawat nilai-nilai kolonialisme," ujar Endry Martius seorang ahli pembangunan desa dari Universitas Andalas yang hadir di ruang pertemuan Kuantan Hotel Truntum Padang, siang itu.

Sheiful Yazan, Doktor  ahli tambo dari UIN Imam Bonjol Padang juga mempertanyakan keberadaan WTBOS dan sistem pewarisan nilai yang sedang diupayakan oleh Tim dari Direktorat Kebudayaan ini.

"Jam Gadang di Bukittinggi juga sebuah warisan dunia. Tidak mendapat pengakuan UNESCO, tetapi seluruh masyarakat terlibat mewawat dan menikmatinya. Itu karena mereka sebagai pewaris dilibatkan. Saya berharap dalam proses pewarisan nilai ini kurator juga pemerintah wajib mempertimbangkan itu, melibatkan masyarakat bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek," ujarnya sambil menawarkan ide untuk membuat tambo baro sebagai tambo baru.

Anatona, satu-satunya pakar sejarah Nias dari Universitas andalas yang turut hadir  juga mengemukakan bahwa nilai inklusi harus dilihat dan dikembangkan. Pembangunan infrastruktur penunjang TBOS tidak akan wujud tanpa keterlibatan semua.

 "Pada zamannya, orang minang itu sangat inklusif. Kehadiran etnis lain seperti Nias yang turut membangun rel kereta api sangat dihargai. Nilai inklusif budaya ini menurut saya yang penting untuk kembali di perkenalkan," ujarnya.

Dari perspektif gender, salah satu dampak besar dari kehadiran tambang ini, adalah perubahan gaya hidup dan relasi kuasa dalam masyarakat matrilineal. Sama kasusnya di hampir tempat, dimana industrialisasi dan kapitalisme tumbuh maka perempuan cenderung termarjinalisasi atau tersubordinat oleh kekuatan yang patriarkhis. Apa lagi di dunia pertambangan. Saya menuliskan kenyataan ini dalam buku Pemetaan Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto yang diterbitkan oleh Dirjenbud Kemendiknas (2023) dengan judul Suara Senyap Perempuan di Jalur Arang. Hal tanah ulayat perempuan dirampas oleh ninikmamak kapalo waris lalu di jual ke pihak kolonial dan menjadi aset milik perusahaan tambang. Di arena tambang, perempuan kalau tidak dipekerjakan sebagai tukang cuci dan tukang masak, ya sebagai pelayan seks. Karena itu menurut saya, dalam perayaan FGA atau dalam peroses sosialisasi WTBOS yang harus dikedepankan bukan pewarisan nilai budaya tetapi cukup berupa pewarisan pengetahuan. Alasannya adalah karena pengetahuan bersifat inklusif, sehingga orang bisa secara terbuka menilai dan menerima buruk baiknya sebuah realitas sejarah.

Diskusi terpumpun yang berlangsung dua seri ini juga menghadirkan para guru, praktisi dan pakar pendidikan di Sumatera Barat. Hadir sebagai pembicara, Dr. Erniwati (sejarawan), Prof Abna Hidayati (pakar pendidikan), Rahmat Gino (ahli WTBOS),  Iryasman dan Miya Maharani Syahrul (praktisi pendidikan).

Semoga saja ide dari para kurator (Edy Utama, Sudarmoko, Mahatma Muhammad, Dede Primayoza dan Donny Eros) untuk memasukkan proses pewarisan nilai budaya dalam bentuk reproduksi pengetahuan ke lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah ini menjadi langkah baik untuk mensosialisasikan WTBOS. Diperlukan modul dan model yang menarik agar lahir kesadaran akan pentingnya sebuah peninggalan sejarah serta keberlanjutan pemanfaatan bagi generasi berikutnya. *** Ka'bati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun