Sheiful Yazan, Doktor  ahli tambo dari UIN Imam Bonjol Padang juga mempertanyakan keberadaan WTBOS dan sistem pewarisan nilai yang sedang diupayakan oleh Tim dari Direktorat Kebudayaan ini.
"Jam Gadang di Bukittinggi juga sebuah warisan dunia. Tidak mendapat pengakuan UNESCO, tetapi seluruh masyarakat terlibat mewawat dan menikmatinya. Itu karena mereka sebagai pewaris dilibatkan. Saya berharap dalam proses pewarisan nilai ini kurator juga pemerintah wajib mempertimbangkan itu, melibatkan masyarakat bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek," ujarnya sambil menawarkan ide untuk membuat tambo baro sebagai tambo baru.
Anatona, satu-satunya pakar sejarah Nias dari Universitas andalas yang turut hadir  juga mengemukakan bahwa nilai inklusi harus dilihat dan dikembangkan. Pembangunan infrastruktur penunjang TBOS tidak akan wujud tanpa keterlibatan semua.
 "Pada zamannya, orang minang itu sangat inklusif. Kehadiran etnis lain seperti Nias yang turut membangun rel kereta api sangat dihargai. Nilai inklusif budaya ini menurut saya yang penting untuk kembali di perkenalkan," ujarnya.
Dari perspektif gender, salah satu dampak besar dari kehadiran tambang ini, adalah perubahan gaya hidup dan relasi kuasa dalam masyarakat matrilineal. Sama kasusnya di hampir tempat, dimana industrialisasi dan kapitalisme tumbuh maka perempuan cenderung termarjinalisasi atau tersubordinat oleh kekuatan yang patriarkhis. Apa lagi di dunia pertambangan. Saya menuliskan kenyataan ini dalam buku Pemetaan Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto yang diterbitkan oleh Dirjenbud Kemendiknas (2023) dengan judul Suara Senyap Perempuan di Jalur Arang. Hal tanah ulayat perempuan dirampas oleh ninikmamak kapalo waris lalu di jual ke pihak kolonial dan menjadi aset milik perusahaan tambang. Di arena tambang, perempuan kalau tidak dipekerjakan sebagai tukang cuci dan tukang masak, ya sebagai pelayan seks. Karena itu menurut saya, dalam perayaan FGA atau dalam peroses sosialisasi WTBOS yang harus dikedepankan bukan pewarisan nilai budaya tetapi cukup berupa pewarisan pengetahuan. Alasannya adalah karena pengetahuan bersifat inklusif, sehingga orang bisa secara terbuka menilai dan menerima buruk baiknya sebuah realitas sejarah.
Diskusi terpumpun yang berlangsung dua seri ini juga menghadirkan para guru, praktisi dan pakar pendidikan di Sumatera Barat. Hadir sebagai pembicara, Dr. Erniwati (sejarawan), Prof Abna Hidayati (pakar pendidikan), Rahmat Gino (ahli WTBOS), Â Iryasman dan Miya Maharani Syahrul (praktisi pendidikan).
Semoga saja ide dari para kurator (Edy Utama, Sudarmoko, Mahatma Muhammad, Dede Primayoza dan Donny Eros) untuk memasukkan proses pewarisan nilai budaya dalam bentuk reproduksi pengetahuan ke lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah ini menjadi langkah baik untuk mensosialisasikan WTBOS. Diperlukan modul dan model yang menarik agar lahir kesadaran akan pentingnya sebuah peninggalan sejarah serta keberlanjutan pemanfaatan bagi generasi berikutnya. *** Ka'bati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H