Di usia saya 9 tahun--tepatnya di tahun 80-an, almarhum ayah saya, sudah mengajari saya memasak. Awalnya memang tidak langsung menggoreng atau menyalakan  api di tungku dapur. Atau tidak juga menyuruh saya memegang alat masak (wajan, sotil, irus dll). Itu proses selanjutnya.
Tapi hampir setiap pagi, seusai shubuh menjelang saya saraoan dan ke sekolah, ayah saya selalu memangku saya duduk di kain sarungnya, sambil ayah saya menggoreng tempe atau bakwan untuk sarapan pagi selain nasi goreng.
Kali itu, tak terbersit sedikitpun, kalau ayah saya sedang memberi pelajaran pengalaman tentang bagaimana memasak, bagaimana mengatur api, memasukkan kayu ke dalam tungku saat kayu-kayu sudah mulai habis di makan api di bagian dalam.
Kalau masa libur sekolah, misalnya Hari Jumat, apakah ibu atau ayah saya selalu melibatkan saya dalam memasak. Awalnya, saya diajari bagaimana memotong sayuran, tahu, tempe, bawang merah, bawang putih dan bahan masak lainnya.
Seingat saya, setiap  habis belanja, saya ditugasi untuk mengisi toples  bumbu dapur, sesuai mereknya ; lada, ketumbar, jinten, pala, kemiri, garam halus dan kasar, gula merah, micin sampai menuangkan minyak goreng ke botol besar.
Tak hanya itu, ayah juga mengajari bagaimana saya memegang pisau, bentuk irisan, ukuran potongan sayuran, dan dimana saya harus meletakkan hasil potongan bahan memasak. Semua dipandu dan diajarkan secara perlahan.
Bahkan cara memasak bahan berat sekalipun (daging kambing, sapi, ayam dan ikan) -- yang tidak semua laki-laki bisa, atau diantara sebagian kaum perempuan juga tidak siap memasaknya, semua diajarkan, tanpa ayah saya berkata : Â Ayo, nak sini belajar memasak dulu dengan ayah!
Tak ayal, dalam proses pembelajaran itu ada saja kecelakaan kecil. Misalnya saya harus melewati tahapan berdarah karena tanpa sengaja tangan saya teriris. Atau sesekalli terpercik minyak panas, hingga melepuh. Atau tangan harus lecet-lecet saat saya harus belajar memarut kelapa dengan cara tradisional.
Pada usia dewasa ketika saya kos di Palembang dan jauh dari orang tua, tidak ada sediktipun perasaaan takut berhadapan dengan sejumlah peralatan dan bumbu dapur sekalipun. Hingga saya akhirnya memimpin keluarga seperti sekarang, saya tidak pernah gagap dengan urusan dapur, sumur : apalagi k-a-s-u-r.
**
Pagi menjelang siang, Pak Ari salah satu wali santri binaan kami di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, berkisah tentang bagaimana melakukan proteksi (pembatasan) kepada putra-putrinya dalam menggunakan alat informasi dan teknologi (IT = baca : aiti), baik handphone, tablet dan sejenisnya.