Suatu ketika, saya sedang berjalan-jalan pagi bersama rekan-rekan saya. Tibalah kami di sebuah jembatan. Diatas jembatan, sudah tentu kami sempat melihat ke permukaan air—tempat kami berlalu. “Banyak sampah begitu, dapat adipura,” kata Uki teman saya. “Yang diberi adipura itu, kepedulian pemimpinnya terhadap di kebersihan kota. Soal sampah, ya tetap sampah. Mungkin waktu adipura itu diberikan, si pemberi tidak melihat dulu ke jembatan ini”, Kata saya mencoba menjelaskan.
“Kalau pemimpinnya peduli terhadap kebersihan, tidak mungkin sampah akan menumpuk di sungai ini”, Uki membantah.
“Ki, soal bersih-bersih itu, tanggungjawab bersama, sejak dari Ketua RT, masyarakat, sampai ke Presiden. Sebab, kebersihan itu bagian dari kebutuhan kita”. Kemudian, kami berlalu dari atas jembatan.
**
Itulah realitas masyarakat kita. Berbagai persoalan, dari masalah sampah, sampai kebijakan politik, identik menjadi tugas pemimpin secara struktural; RT, Kades, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri sampai ke Presiden. Selain itu, ini gambaran, bagaimana masyarakat juga masih memaknakan pemimpin hanya pada pemimpin struktural, bukan pada sebuah tanggungjawab masing-masing kedirian manusia. Tentunya, ini juga bukan kesalahan masyarakat secara utuh, tetapi juga bukan “kebenaran” para pemegang kebijakan. (pemimpin struktural).
Dalam persoalan ini, ada komunikasi yang terputus. Pemahaman kita terhadap “pemimpin” belum sama. Mungkin, diantara anda juga masih berpikiran, pemimpin identik dengan para pemimpin yang ada di jabatan struktural. (Sejak dari ketua RT sampai ke Presiden). Padahal, jika kita menyimak hadits Rasul, semua kita adalah pemimpin. Kullukum Raa’in, Wakullukum Masulun ‘An Ro’iyyatihi (Setiap kita adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya).
Hadits ini, merupakan “penguat” status ke-khalifahan manusia—sekaligus untuk membangun kesadaran kembali, untuk menyamakan pemahaman terhadap pertanyaan, siapa pemimpin itu? Dari hadist itu jelas. Pemimpin bukan hanya para pemegang jabatan struktural pemerintahan, perusahaan, atau dimana saja lembaganya. Namun lebih luas lagi. Kita adalah semua pemimpin! Sekali lagi, kita semua adalah pemimpin! Termasuk remaja juga menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri.
Komponen kata, yang kemudian menyertai judul tulisan ini adalah “Masjid”. Dalama judul diatas, masjid saya tulis dengan tanda petik (“) di depan dan di belakang. Tanda itu bukan tidak ada makna tentunya. Saya ingin mengajak kita semua, untuk memahami masjid, bukan sekedar bangunan gedung yang megah dengan kubbah diatasnya. Lalu di dinding tertulis huruf-huruf arab dan sebagainya.
Tetapi lebih dari itu, masjid adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang membawa niat baik. Dari dalam Masjid, angin kebaikan dan kedamaian itu harus senantiasa ditebarkan ke setiap ruang-ruang kosong, baik yang ada di perdusunan, perkotaan, gedung mewah, atau di ruang-ruang kosong dalam kedirian kita. Sebab, tidak jarang, tanpa disengaja, kita selalu mengisi “kota amal” di dalam masjid, berkumpul setiap jumat, atau bahkan menjadi penceramah, tetapi “semangat masjid” itu, tidak atau belum mampu menembus—untuk kemudian mengisi denyut dan urat nadi setiap kita.
Akibatnya, sekalipun kita menjadi sosok yang selalu ada di dalam masjid, tetapi dalam menjalani hidup, kita selalu menjadi orang yang jauh dari “masjid”. Hidup selalu “gersang”, terjebak dengan budaya konsumerisme, hedonisme yang lebih banyak meninggalkan nilai-nilai “masjid” itu sendiri. Untuk itu, saya mengajak kita semua, untuk senantiasa menjadikan “masjid” sebagai “penyedap rasa” dalam hidup, sekaligus—menjadi tempat pijakan bagaimana kita menjadi pemimpin di bumi ini.
Niat baik