Pagi menjelang siang, Wikram baru saja membuka matanya. Ia tatap hamparan Sungai Musi dari jendela hotel tempat dia menginap. Kedua tangannya berkacak pinggang. Sesekali ia garuk-garuk kepala bagian belakang. Kali ini tangan kanannya menutup mulutnya karena menguap. Tangan kirinya meraih handphone. Ia baru sadar kalau pagi itu sudah pukul 08.30 WIB. Praktis, Wikram tak akan dapat lagi sarapan pagi dari hotel.
“Dik, kita sarapan di luar aja,” Wikram mengajak Jono melalui telpon kamar.
“Siap, Mas. Siap!” jawab Jono seperti mendapat perintah komandannya.
Hari itu adalah bulan pertama Wikram berada di Palembang. Sebelumnya, Wikram sudah melang-lang buana menjadi wartawan di seantero nusantara. Bahkan di dalam maunpun luar negeri. Sebagai wartawan yang berlatar belakang Desk Kriminal, Wikram sangat proporsional jika kemudian ditempatkan di Palembang. Feeling Nahdi Nakis, CEO Java Media Group sangat kuat melihat potensi Wikram. Palembang belakangan ladang basah bagi koran yang beraliran kriminal dan olah raga. Faktanya, hasil penelitian dari lembaga berkelas dunia, mayoritas pembaca di Palembang cenderung meminati olah raga dan kriminal. Sisanya politik, pendidikan, sosial dan budaya.
Wikram baru saja turun dari lantai tiga. Tampaknya Jono sudah lama menunggu. Jono berdiri ketika kemudian Wikram mendekatinya.
“Oke, Mas kita berangkat,” Jono.
“Enaknya sarapan dimana, Dik?” tanya Wikram yang agak asing dengan Palembang.
“Sambil jalan aja, Mas,” ujar Jono.
Pada sebuah kedia sederhana di pinggir Sungai Musi, Jono dan Wikram sarapan bareng. Sebagai wartawan yunior, Jono tak mau banyak tanya pada Wikram. Dari bahasa tubuhnya, ada masih ada jarak antara Wikram dan Jono. Mungkin Jono sadar diri dengan jenjang karirnya yang sangat jauh dibanding Wikram. Meskipun secara intelektual, mungkin Jono tidak kalah dengan Wikram. Tapi karena jam terbang Wikram lebih tinggi sehingga Jono harus mengakui kalau karir jurnalistiknya jauh dibawah Wikram.
“Aduh, Dik disini nggak ada WC Umum, ya?” seketika Wikran terasa ingin buang air besar.
“Ada Mas, tapi agak jauh, Mas,” Jono jadi ikut gelisah.
“Gimana kalau dipinggir Sungai aja, Mas?” Jono usul meski agak ragu.
“Ya, sudah, Dik pokoknya saya bisa buang air. Ini saya sudah kebelet,” ujar Wikram.
Jono baru bernapas lega saat Wikram sudah masuk di sebuah WC darurat pinggir Sungai Musi. Jono membayangkan bagaimana pantat Wikram akan segera dikerubuti ikan seluang saat ada tinja yang keluar dari lubang duburnya. Dalam hati, Jono jadi tertawa geli.
“Wuh...! enak juga dik sekarang,” ujar Wikram nampak lega. Wikram sesekali membenahi kaos krahnya yang baru saja ia masukkan. Ada bercak basah yang masih terlihat.
“Disini banyak ikannya, Dik,” tanya Wikram.
“Ya, tergantung sih, Mas. Tidak tentu. Kalau yang besar bukan di pinggir. Ada tempat lain yang biasa untuk mancing,” ujar Jono.
“Waktu saya buang air tadi, banyak juga ikan dibawahnya. Tapi kecil-kecil,” ujar Wikram.
“Wah, kalau itu Mas, ikan seluang,” ujar Jono.
“Ikan Seluang, apaan itu? Wikram penasaran.
“Ikan Seluang itu ikan yang ada di Sumsel, Mas. Ikannya agak unik. Karakternya oportunis, Mas. Dimana ada orang buang air, disitu dia berkumpul,” ujar Jono seperti Psikolog ikan.
“Ah, kamu bisa aja, Dik. Konyol kamu. Mosok ada ikan oportunis,” Wikram tak percaya.
“Karakter manusia itu kan sebagian ada juga yang mirip-mirip binatang. Oportunis, egoistik dan masih banyak lagi. Tapi kalau manusia, kata orang bijak adalah hewan yang berpikir. Disitulah perbedaan hewan dan manusia,” ujar Jono mendebat.
“Ya, tapi nggak usah ikut-ikutan karakter hewan yang ndak benerlah, Dik. Jadi wartawan itu nggak usah neko-neko. Fokus aja dan jangan hiraukan omongan orang. Yang penting kita berjalan pada rel yang sudah digariskan oleh sistem, nggak usah kesana-sini, nanti arahmu ndak jelas,” ujar Wikram. Kali ini Jono kena doktrin seniornya.
Tapi benar saja, rentang waktu 25 tahun Wikram benar-benar jadi raja media di wilayah Sumatera. Nyaris semua media yang lahir lebih dulu dilibas oleh Harian Musi Raya. Sayangnya aku sempat belajar dengan Wikram hanya dua tahun. Berbeda dengan Jono yang setia belajar dengan Wikram hingga dia purna bakti di tahun 2014. Bahkan Jono kemudian menerbitkan sebuah koran harian berlairan politik kiriminal. Terakhir aku bertemu denga Jono di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di tahun 2012 saat dirinya akan liputan ke Australia. Sementara aku kebetulan kali itu mendapat paket umroh hadiah dari lomba penulisan dalam Jounalis Muslim Award di Bandung.
Jono dan juga aku, kini sama-sama berdiri sejajar. Memiliki sebuah Koran Harian. Jono memimpin Koran Harian Sumatera Daily. Sementara aku memimpin Koran Harian Rakyat Sumatera. Sesekali aku dan Jono komunikasi seadanya. Tapi tidak terlalu sesering waktu kami masih dalam satu kantor. Kali itu aku dan Jono sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Dengan jalur redaksionalnya sendiri-sendiri. Hanya sesekali aku menyapa via FB atau twitter.
Bahkan Jono juga hanya bisa mengucapkan bela sungkawa melalui FB dan Twitter saat Koranku tutup dua tahun silam. Diantara rekan wartawan, yang mereka tahu hanya menuduh kalau aku membawa lari Rp 10 miliar yang dikucurkan investor.
“Tung, aku turut berduka atas matinya koranmu. Tapi aku yakin orang-orang seperti kita tidak pernah akan mati berkarya, sebelum kematian sebenarnya menjemput. Salam kreatif dan terus berkarya, Bung!” itu tulisan terakhir Jono, sebeum akhirnya koran Jono juga punya nasib sama setahun berikutnya. Aku juga tak mengerti apa alasan prinsip yang membuat Jono dan aku punya nasib serupa.
Tapi satu pekan setelah pentupan, banyak SMS masuk yang menyoal diriku.
“Mantap, 10 miliar cair,” SMS itu benar-benar menusuk hati.
“Kapan pesta bung. Kabarnya 10 miliar menaglir sampai jauh,” SMS lainnya masuk.
“Mana idelaisme-mu yang dulu. Haruskah 10 miliar melibas hati nuranimu, Bung!?” SMS yang lain kian memukul aku.
“Tung, aku tak pernah percaya dengan isu itu. Aku, kenal dengan kau. Dan aku yakin kau melakukan itu,” SMS lain mendukung dan menguatkan.
“Tung, memang begitulah risikonya berdiri di tengah dua penguasa yang sedang berseteru. Ada yang bilang : gajah sama gajah berantem, anak kancil mati terjepit,” SMS lain masuk lagi.
“Kau jadi korban, Tung. Itu hanya efek konflik keluarga. Kau kena Tsunami keluarga besar penguasa. Yakinlah, Tuhan tidak pernah akan salah memilih mana emas dan mana loyang,” SMS Kang Ayik dari Tanjung tak ketinggalan. Ayik adalah mitra kerjaku di Tanjung Enim saat aku masih aktif di Radio Bukit Asam di tahun 2008. Rupanya Ayik ikut juga dengar desas-desusku.
“Sungguh kuat badai yang menimpaku. Fitnah itu demikian tajam menhunjamku. Tapi aku yakin, kebenaran akan segera terungkap,” aku menulis statusku di FB, yang kemudian banyak mengundang tanggapan. Tapi aku tak kuasa menjelaskan. Sebab itu aib keluarga besar ownerku.
“Itu aurat yang harus aku jaga. Itu masalah privat,” kataku mengelak dari desakan sejumlah teman yang ingin tahu geragan apa yang tengah terjadi, hingga aku terjungkal dari koran yang aku pimpin.
“Anggap saja ini dinamika. Risiko orang mau besar ya begini. Ada yang senang, ada yang tidak senang. Ada fitnah ada juga yang memuji. Biasalah! Jangan sekelas aku, para nabi sebeum menerima wahyu juga dapat gidaan dari para syetan. Ya, aku anggap ini godaan syetan aja, aku dan teman wartawan juga pembawa pesan para nabi : kebenaran,” kataku.
Argumentasiku sebagian dipercaya. Tapi sebagian lagi tak memercayainya. Siapa yang tidak tergiur dengan uang Rp 10 mliar dibagi dua, aku dan orang terdekat owner? Itu juga katanya. Aliran jurnalisme katanya sepertinya sudah kuat mengalir di setiap relung hati sebagian jurnalis di Sumatera Selatan. Sehingga diantara mereka lebih memercayai “katanya” dari pada melakukan ferifikasi ke sumber yang sebenarnya. “Biasalah, Tung, namanya juga wartawan humas,” celetuk Pardi, wartawan kampus yang sudah banyak berguru dengan Andreas Harsono.
Sampai akhirnya aku kembali ke kampus, aku tak pernah mengklarifikasi tentang kebenaran itu. Sebab, siapa yang akan percaya dengan perkataanku, sementara yang aku hadapi adalah gajah. Sementara aku hanya ketimun. Tapi aku bersyukur karena aku bukan ketimu busuk. Aku juga bukan wartawan ikan seluang. Aku adalah tokoh dalam ketimun emas yang menghancurkan raksasa dengan jeratan biji ketimun. Kini biji ketimun sudah kutebar. Tinggal meunuggu waktu, kapan jeratan akar ketimun itu akan mengnacurkan raksasa. Hanya Tuhanlah Yang maha Tahu.
Makrayu-Palembang, 7 Juli 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H