Suatu ketika, Hery, teman saya di kampus IAIN Raden Fatah Palembang datang ke rumah kontrakan saya. Seperti biasa, rumah kontrakan saya tidak sepi dari mahasiswa yang mengambil mata kuliah sore. Andre, teman saya yang lain tak begitu kenal pada Hery, meski satu kampus. Tanpa mengucap izin, Hery tiba-tiba masuk kamar saya. Berganti pakaian, dan langsung menuju dapur.
Seperti biasanya, Hery langsung membuat secangkir kopi, lalu melakukan apa saja yang dia mau, kecuali perilaku yang melanggar nilai-nilai moral. Sebagian teman saya yang kenal, sikap Hery seperti itu bukan hal aneh. Karena, Hery memang bukan kali pertama datang ke rumah kontrakan saya.
Tapi bagi Andre, yang baru kenal Hery hari itu, menatap curiga. Dari sorot matanya, ada ke-khawatiran di benak Andre kalau-kalau Hery melakukan hal-hal buruk di kamar saya; mencuri benda berharga atau apa saja yang mungkin menarik bagi Hery. Pola pikir Andre ini bermula dari satu argumentasi; seseorang yang sebelumnya tidak punya niat mencuri, tetapi karena ada kesemapatan, siapapun bisa melakukannya. Apalagi masuk kamar saya.
Kamar bagi siapapun, adalah ruang pribadi yang tidak sembarang orang bisa masuk. Jangankan orang lain, anak dan orang tua saja ada rambu-rambu khusus ketika akan masuk kamar pribadi anaknya. Tetapi, karena ketika itu saya masih lajang, siapapun boleh masuk kamar. Bagi saya itu bukan masalah. Tetapi sikap saya yang membebaskan siapa saja masuk kamar ini, sepertinya tidak disukai Andre. Di mata Andre, saya terlalu open manajemen dalam mengatur rumah tangga saya, meskipun di rumah kontrakan.
Ada sekitar satu jam kami berbincang. Tak lama kemudian, Hery pergi ke kampus, meninggalkan kami di rumah kontrakan. Andre bertanya pada saya;
“Kamu tidak curiga dengan perilaku Hery?” tanya Andre lima menit setelah Hery pergi.
“Memang kenapa dengan Hery?” saya balik bertanya. “Aku lihat tidak ada yang aneh. Mungkin karena kamu baru kenal, sehingga kamu agak aneh,” kata saya menepis kecurigaan.
“Kau jangan terlalu percaya dengan orang, sekalipun itu teman dekat. Sebab kata orang bijak, musuh terbesar yang bisa menghancurkan kita adalah teman dekat. Jadi hati-hati. Apalagi sampai masuk kamar pribadi,” Andre setengah memeberi saran.
“Aku tidak pernah melakukan kejahatan kepada siapaun. Aku selalu berpikir positif kepada siapapun yang datang di rumah ini,” kata saya mengubur prasangka buruk.
“Aku hanya khawatir saja, jangan sampai keterbukaanmu pada teman, akan dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan hal buruk pada kamu,” tegasnya.
Saran itu sangat bagus. Saya hargai teguran Andre ini. Tetapi akan lebih bagus kalau Andre menyarankan saya, bukan untuk mencurigai Hery yang masuk kamar, melainkan mengingatkan, agar saya menyimpan barang-barang berharga di dalam lemari, supaya tidak memancing selera orang lain, yang kebetulan punya kesempatan mencuri.
Sejak awal saya kenal dengan dunia perantauan, hingga kali itu sekalipun, saya sama sekali tidak pernah curiga pada Hery, atau kepada siapapun, termasuk ketika dia masuk kamar saya. Bagi saya, Hery sudah saya kenal baik sejak di bangku SMA. Dalam perjalanan hidup saya, antara saya dan Hery tidak pernah ada pengalaman buruk, misalnya mencuri barang-barang teman, atau barang siapapun baik di dalam maupun di luar kamar.
Demikian juga ketika Hery masuk kamar saya. Tak ada sedikitpun ke-khawatiran, seperti yang dikatakan Andre; misalnya Hery iseng mencuri handphone saya atau apa saja yang nantinya akan merugikan saya. Tidak ada sama sekali yang terlintas di benak saya ketika itu. Semua saya melihatnya dari kacamata positif pada setiap teman yang datang. Saya lebih dulu kenal dengan Hery ketimbang Andre. Jadi saya lebih banyak tahu siapa Hery, jauh sebelum duduk menjadi mahasiswa. “Kita harus selalu berpikir positif,” ujar saya pada Andre.
Sebab dengan selalu berpikir positif, saya, Anda dan kita akan merasa tenang menghadapi berbagai bentuk dan watak rekan kerja, teman, tetangga yang kebetulan datang ke rumah atau ke kantor kita.
Pesan dari kisah ini adalah, apa yang kita pikirkan dan rasakan terhadap perilaku orang lain di rumah kita merupakan bentuk pikiran Anda, atau bahkan perilaku yang mungkin pernah Anda lakukan sebelumnya.
Dengan Anda mencurigai seseorang akan berbuat hal buruk, sebagaimana kecurigaan Andre pada Hery yang masuk kamar, secara tidak langsung Anda sedang membuka jati diri Anda yang sebenarnya; dalam diri Anda lebih dikungkung oleh rasa kecurigaan, yang jika itu dipupuk terus menerus akan menjadi siksaan sepanjang hidup Anda.
Kedua, yang terburuk lagi adalah, ketika Anda mecurigai pada seseorang, misalnya dalam mengelola uang, atau apa saja, secara sadar atau tidak Anda juga sedang “membuka baju” Anda, membuka diri Anda sebenarnya; jangan-jangan ketika Anda diberi kewenangan mengelola uang akan melakukan hal buruk seperti yang Anda pikirkan saat itu pada orang lain.
Saat itu juga, tanpa sadar kecurigaan kita pada orang lain ternyata adalah wajah kita yang sebenarnya. Seperti halnya ketika kita berteriak maling, bukan karena benci pada malingnya, tetapi yang terpikir dalam otak kita adalah; mengapa bukan kita yang maling.
Rasa curiga memang akan selalu ada dalam setiap diri saya, dan Anda. Tetapi jika rasa curiga ini terus menerus menggurita dalam diri kita, maka kecurigaan ini lambat laun akan menggerogoti nurani kita, untuk kemudian kita akan menjadi orang yang selalu disibukkan oleh persoalan orang lain, sementara masalah penting dalam diri kita justeru terlupakan, bahkan sama sekali tidak terpikirkan.
Hal positif dari kisah saya, Hery dan Andre adalah keberhati-hatian menjaga hati, pikiran dan tingkah laku untuk tidak selalu menanamkan kecurigaan terhadap siapapun. Sebab, sikap buruk sangka terhadap seorang teman, terhadap mitra kerja dan terhadap isteri dan anak hanya akan meracuni hati dan pikiran Anda, sementara persoalan yang lebih penting tidak pernah terselesaikan dengan baik.
Kecenderungan memandang curiga terhadap orang lain, hanya akan melahirkan prasangka buruk pada setiap orang yang kita jumpai. Kita tidak pernah akan merasa tenang dalam hidup, karena dalam hati kita sudah sedemikian parah melihat orang lain dengan pandangan negatif.
Kalau Tuhan telah sedemikian banyak memberikan jutaan energi positif dalam diri kita, mengapa kita sering memilih melestarikan rasa curiga dan memupuk energi negatif dalam diri kita? Sejak hari ini, saya mengajak diri saya dan Anda untuk segera meninggalkan energi negatif dan menggantinya dengan energi positif, sehingga kita akan merasakan kenyamanan hati dan pikiran dalam hidup.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H