Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bertemu Tuhan dalam Kegagalan

15 September 2015   06:49 Diperbarui: 15 September 2015   06:49 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun 2004, seorang teman dari Jakarta datang kepada saya. Dia mengajak saya untuk melakukan bisnis jual beli ban bekas. Kata teman saya, dia memiliki saudara ipar di Lampung yang siap menampung semua jenis ban bekas dengan harga yang sangat fantastis. Teman saya ini kemudian menghitung secara rinci keuntungan dalam bisnis ban bekas. Sampai-sampai, dia menyakinkan saya, kalau dalam hitungan minggu, saya akan bisa mendapat untung puluhan juta rupiah. Demikian semangat teman saya ini mengajak saya ikut serta dalam bisnis ban bekas. 

Dengan menawarkan mimpi keuntugan bisnis ini, teman saya meminta saya untuk mendanai bisnis ini. Sejak mengeluarkan ban bekas dari lokasi pertambangan, sampai biaya angkutnya ke lokasi penampungan sebelum dibawa ke Lampung.

Tanpa berpikir panjang, saya kemudian menyetujui gagasan ini. Saya anggap gagasan teman saya ini tidak akan meleset dari rencana. Malamnya, saya mengajak Mas Wid, mantan orang tambang untuk mencari ban bekas di lokasi tambang untuk di bawa ke penampungan sementara. Semua berjalan lancar. Kriteria ban yang diminta perusahaan vulkanisir ban di Lampung sudah terpenuhi. Ada sekitar 1500 ban bekas menumpuk di halaman belakang rumah Mas Wid. Ini dilakukan Mas Wid, sebagai partisipasinya dalam bisnis ini. Tidak cukup di halaman belakang, saya kemudian menambah area di lapangan sepak bola, setelah sebelumnya saya dan mas Wid izin dengan Ketua RT.

Pagi harinya, teman saya kemudian mendatangkan dua orang wakil perusahaan vulkanisir dari Lampung. Dua orang ini saya jamu sedemikian rupa, karena harapan saya dialah yang akan menjadi penentu layak dan tidaknya ban bekas ini dibawa ke Lampung. Bayangan jutaan rupiah kali itu kian terbayang jelas dimata saya. Yang terpikir di benak saya, kalau dalam tiga hari saja bisa mengumpulkan uang puluhan juta rupiah, berarti dalam satu bulan, saya akan mendapat ratusan juta rupiah. Terus, dan terus gambaran rupiah itu melintas di pikiran saya.

Tetapi apa yang terjadi, dua orang yang saya anggap ahli ban bekas dari Lampung itu mengatakan, kalau ban bekas yang saya tampung tidak satupun yang layak dibawa ke Lampung untuk di vulkanisir. Hampir saja saya menampar mulut dua orang itu. Saya demikian kesal. Jengkel. Saya juga marah dan emosi pada teman saya yang memberi gagasan awal. Modal saya sudah terkuras untuk mengangkut ban bekas dari lokasi tambang ke rumah saya. Tetapi kali itu, tak ada lagi pilihan lain  kecuali hanya menerima keputusan itu. Dua orang dari Lampung pulang dengan tangan kosong, sementara saya hanya menatap tumpukan ban bekas itu dengan pandangan hampa.

Apa yang kemudian terjadi? Tumpukan ban bekas itu menjadi sarang nyamuk. Warga sekitar di kampung saya dan di kompleks Mas Wid tinggal protes. Ribuan ban bekas itu harus disingkirkan. Ketika itu saya harus kembali mengeluarkan sejumlah uang untuk biaya pemindahan ban bekas. Sementara teman saya yang diawal memberi ide bisnis ban bekas sudah hengkang entah kemana. Tak sepeserpun dia mengganti modal awal yang pernah saya keluarkan. Ada dendam yang seketika menyelip di batin saya. Dalam hati saya kemudian bertanya mengapa ini harus terjadi pada saya?

Dua hari setelah kejadian, saya datangi Kiai Abdul Majid, guru mengaji saya. Ia kemudian menasehati saya. Kegagalan saya dalam bisnis ban bekas adalah bentuk rasa kasih sayang Tuhan pada saya. Menurutnya, teman saya yang memberi ide bisnis ban bekas itu, sebenarnya punya niat menjual ban dengan harga tinggi, dengan tujuan dia ingin cepat kaya untuk mempertontonkan pada keluarganya kalau dirinya kaya, dengan tanpa megeluarkan dana sepeserpun. Ini adalah nafsu kesombongan.

Saat itu, saya kemudian tersadar, betapa Tuhan tidak menginginkan nafsu kesombongan teman saya itu menular dan mengalir pada anak dan isteri saya. Sebab, semua jerih payah dan hasil akhir dari usaha, kalau dilatarbelakangi oleh niat kesombongan, apalagi niat untuk merasa lebih dari orang lain, maka semua itu akan menyebar ke aliran darah anak dan isteri saya, dan saya akan melahirkan generasi-generasi sombong dan angkuh di negeri ini.

Tuhan masih mengasihi saya, agar saya tidak tertular nafsu kesombongan. Baru saya merasa bahagia atas kegagalan itu, karena dari kegagalan ini, saya kemudian menemukan kebesaran Tuhan yang masih mengasihi dan memelihara saya agar saya terhindar dari kesombongan!**

Palembang- Tanjung Enim, April 2005

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun