Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Novanto “Mengencingi Sumur Zam-Zam”

11 September 2015   06:24 Diperbarui: 11 September 2015   07:11 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir 2014, dalam sebuah event training for trainer di Bogor, seorang motivator di negeri ini mengatakan kepada para peserta : jalan menuju terkenal di Indonesia ini ada tiga. Pertama : Korupsi sebesar-besarnya supaya tertangkap. Kedua : Jadi artis dan membuat sensasi di mata publik. Ketiga : melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan kebanyakan orang. Atau sebagian orang membahasakannya dengan out of the box (keluar dari kotak).  Istilah dalam pepatah arab : jika kamu ingin terkenal, kecingilah sumur Zam-Zam. 

Saya pikir, apakah sengaja atau tidak : inilah yang telah dilakukan Ketua DPR, Setya Novanto dan politisi Fadli Zon. Ia dengan sangat berani dan pe-de menghadiri kampanye salah satu bakal calon kandidat Presiden Amerika Donald Trump.

Tapi di luar dugaan, kedatangan dua politisi di negeri Paman Sam itu, kemudian menimbulkan perdebatan yang tidak berkesudahan. Nama dan foto Setya Novanto dan sesekali Fadli Zon yang berada di Amerika—persis di belakang Donald Trump muncul sebagai telop, title dan credit title di hampir setiap acara talkshow di beberapa televisi di Indonesia. Bahkan di sebuah stasiun televisi swasta klipingan koran lengkap foto-foto Setya Novanto ditempel sebagai latar belakang dialog.

Setya Novanto dan Fadli Zon benar-benar sangat diuntungkan. Sebab dengan cara ini, kedua politisi itu kemudian terkenal di seantero jagad ini, melebihi rating berita Robot Gedek (pelaku sodomi dan pembunuhan anak jalanan), Sumanto (pemakan bangkai), Ponari (pemegang batu gludug yang bisa menyembuhkan pasien), Ustadz Guntur Bumi.

BACA : Kedua 'Aktor' DPR RI Bagaikan Tertembus TI

Bahkan ketenarannya mengalahkan rating ring tone Mbah Surip (Penyanyi Nyentrik Tak Gendong) dan Mbah Marijan (juru kunci Gunung Merapi). Jangan-jangan nama Presiden Jokowi hingga tiga tahun ke depan, namanya lambat laun akan ketilep (terlibas) oleh dua politisi ini. Jadi untuk duduk sebagai anggota dewan di masa mendatang, kedua politisi tak perlu banyak mengeluarkan biaya kampanye, apalagi di televisi sebab merek sudah dibantu oleh Donald Trump.

Sejak Setya Novanto dan Fadli Zon ketahuan selfi bersama Donald Trump oleh media, seolah masalah di negeri ini tidak ada yang lebih penting kecuali hanya mengurusi ketidaktahuan Setya Novanto dan Fadli Zon tentang etika : boleh dan tidaknya anggota dewan bahkan ketua DPR menghadiri kampanye salah satu bakal calon kandidat Presiden Amerika. Kok mereka tidak tahu dengan aturan?  Bukan mereka tidak tahu, tapi karena mereka sangat mengetahui, makanya mereka berani.

Keduanya sangat mengetahui warga bangsa ini sangat pelupa. Hitung-hitung dalam sebulan atau dua bulan. Nanti juga akan hilang sendiri. Kedua politisi ini sangat paham tentag hal itu. Aksi bulan-bulanan ini akan segera berakhir seiring dengan isu baru yang akan menyusul kemudian.  Tak jauh berbeda dengan goyang ngebor Inul, ikan louhan dan kasus lain yang hanya datang dan pergi tanpa pamit.

Terkait dengan kasus Setya Novanto dan Fadli Zon, semua kemudian angkat bicara, bicara apa saja. Seolah-olah mereka orang-orang suci yang tidak pernah melakukan kesalahan.  Setya Novanato dan Fadli Zon jadi bulan-bulanan di depan publik. Lebih parah lagi wartawan juga larut dalam irama gendang yang ditabuh Setya Novanto dan Fadli Zon.

Sementara para pengamat, politisi terutama lawan politik setya Novanto dan Fadli Zon menari dengan riangnya. Tak sadar, kalau sebenarnya di ujung kamar pribadinya, Setya Novanto dan Fadli Zon terkekeh-kekeh tertawa. “Nah...kenak lu... sekarang!

“Pak Novanto dan Pak Fadli, irama gendang anda sangat menarik orang Indonesia. Anda berdua benar-benar pakar marketing politik mengalahkan Jokowi,” saya sempat SMS kepada dua politisi itu. Sayangnya pulsa saya habis, jadi SMS itu tidak terkirim.

“Sudahlah Mas, masalah gitu kok dibahas. Masih banyak urusan lain yang lebih penting,” ujar penjaga counter handphone yang ternyata dia tahu kalau saya akan kirim SMS tentang hiruk pikuk Setya Novanto dan Fadli Zon. Waduh, malu saya saya!

Dalam pekan ini, baik Setya Novanto, Fadli Zon dan Donald Trump benar-benar sedang “mengecingi Sumur Zam-Zam. Akibatnya sebagian orang berang, marah dan menuangkan uneg-undeg semaunya. Apalagi publik kemudian mengetahui jumlah anggaran perjalananya mencapai 10 miliar rupiah.  Jumlah yang cukup fantastis.

Setya Novanto dan Fadli Zone jauh sebelum ini juga tidak menyangka bila kemudian dirinya menjadi bulan-bulanan. Kedua politisi itu sebenarnya hanya ingin berfoto bersama dengan petinggi di Amerika. Sebab saat zaman mahasiswa keduanya sibuk oleh aksi turun ke jalan menumbangkan rezim Orde Baru. Kalau pun mereka sempat ke Amerika, Donald Trump juga belum menjadi siapa-siapa. Ditambah lagi zaman 1998 handphone dan televisi belum segencar sekarang, sehingga keduanya belum sempat nebeng terkenal bersama senator Amerika itu.

Kalau masalahnya cuma sekadar silaturahmi dan ingin foto bareng dengan Donald Trump mengapa harus dilarang-larang? Memang tidak boleh Setya Novanto dan Fadli Zon kenal dekat dengan Donald Trump dan ingin terkenal di Amerika?  “Kedatangan seorang politisi, apalagi ketua DPR dalam sebuah kampanye calon presiden Amerika akan mengesankan bahwa kita : Indonesia sedang mendukung salah satu calon presden Amerika. Iya kalau terpilih, kalau tidak bagimana!?” ujar salah satu pengamat politik di sebuah televisi swasta. Dia protes keras terhadap ulah Setya Novanto dan Fadli Zon yang dianggap telah menodai etika politik negeri ini.

Setya Novanto dan Fadli Zon dianggap telah melanggar pasal yang mengatur tentang seorang anggota dewan yang dilarang keras memanfaatkan jabatan dan kewenangannya untuk kepentingan pribadi. Keduanya menurut sejumlah pihak telah merusak citra bangsa ini di mata dunia. Sebab kedatangan kedua politisi itu, terutama Setya Novanto nilai bukan atas nama pribadi tetapi simbol kepala negara pada sebuah kampanye di Amerika Serikat. Apalagi perjalanannya menggunakan anggaran negara. “Semua anggaran yang terpakai harus dipertanggungjawabkan kepada publik, karena itu uang rakyat,” ujar pengamat yang lainnya lagi, dengan nada agak meninggi. Hawa amarah beberapa pengamat dan sebagian politisi kemudian menjalar ke mana-mana.

Sampai-sampai isu pemakzulan ketua DPR juga mengemuka. Musuh-musuh politik Setya Novanto dan Fadli Zon juga pasang kuda-kuda. Sebagian politisi ikut kasak-kusuk memanfaatkan situasi. Ada gerakan politik spontan yang kemudian menggeliat. “Saatnya kita bergerak! Momen ini tidak akan datang dua kali, kapan lagi kalau tidak sekarang?!” ujar salah satu lawan politik Setya Novanto dan Fadli Zon. “Sekarang semua sedang marah. Ini memalukan! Makanya kita manfaatkan saja!” sergah yang lain.

Ironisnya, media juga sarat kepentingan  politik. Media berjalan keluar dari ruh prophetik-nya. Wajah pers berlumur tangan dingin warna-warni para pemilik media dengan latar belakang politik yang berbeda. Pagi, siang dan sore deretan gambar dan tulisan tentang Setya Novanto dan Fadli Zon tak lekang oleh waktu.  Gelombang amarahnya kian berkobar.

Tapi ketika di negeri ini masih ada jutaan warga miskin. Jutaan pengangguran, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terpaksa bekerja di negeri orang demi detak napas keluarganya. Sebagian lagi di hukum pancung. Ada ratusan ribu anak yatim yang tak bisa makan.

Melihat kenyataan ini, apakah mereka juga marah, sebagaimana marahnya terhadap ulah Setya Novanto dan Fadli Zon? Hm! Para pengamat menutup mata. Hanya mulutnya komat kamit membaca mantera  yang tak berkesudahan. Sementara rasa lapar dan haus tak bisa selesai oleh deretan matera para politisi di parlemen. Hujatan dan makian terhadap ulah Setya Novanto dan Fadli Zon, seolah akan menyelesaikan segala persoalan di negeri ini.

Saya hanya menyarankan kepada Setya Novanto dan Fadli Zon, lain waktu bila akan mendatangi kampanye presiden di luar negeri, sebaiknya jangan diam-diam. Sebelum berangkat, sowan dulu ke pengamat yang suka menghujat Anda, lalu diskusi bagaimana memanfaatkan anggaran yang Rp10 miliar itu.

Tujuanya supaya semua clear. Kalaupun berminat, silakan mereka diajak. Sebab mereka juga ingin berfoto di Amerika bersama Donald Trump, syukur-syukur dengan Barak Obama. Mereka juga ingin kecipratan dari yang Rp 10 miliar rupiah. Kalau kedua politis ini melakukan hal itu, Insya Allah di Indonesia keduanya tidak dipersalahkan.

Sayangnya, untuk hal diatas Setya Novanto dan Fadli Zon tidak mengurai sebelumnya dengan saya. Sehingga ketika pulang ke Indonsia, bukan pujian tapi malah makian yang mereka terima. Masalahnya sebenarnya bukan karena apa-apa, tapi mengapa bukan mereka yang diundang Donald Trump?

Dua politisi : Setya Novanto dan Fadli Zon sudah bersilatuhami dengan Donald Trump. Nama Indonesia kemudian melejit di jagad maya Amerika.  Ini jasa kedua politisi itu. Makanya, kita berharap saat kamanye presiden Indonesia nanti akan hadir senator-senator Amerika, yang juga ingin foto bersama (selfi) dengan para calon presiden di republik ini.**

 

Palembang, 11 September 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun