Hasil pemilu 9 April 2009, telah membuat sebagian calon legislatif (Caleg) yang gagal, menjadi tidak rasional. Sebagian dari mereka kemudian membuang akal sehat, dengan melakukan hal-hal diluar logika normal manusia pada umumnya. Penutupan Sekolah Dasar karena merasa berjasa atas pembangunannya, pembongkaran saluran air rakyat, karena atas bantuannya, pengambilan kembali ambal masjid yang diberikan pada masa kampaye, melarikan diri dari tanggungjawab utang piutang, sampai mengakhiri hidup dengan gantung diri. Tragis. Tetapi inilah realitas yang tengah kita hadapi saat ini.
Kesal, kecewa akibat gagal dalam pen-calegan adalah manusiawi! Tetapi jika dirunut, semua ini akibat dari kecenderungan manusia yang selalu mengukur urusan gagal dan berhasil, dengan “logika sebab dan akibat” (kausalitas). Sehingga dalam memahami kalah-menang pemilu menjadi kalkulasi untung-rugi; berapa yang diberikan, dan berapa yang diperoleh.
Ketika tidak ada kesesuaian antara pengeluaran dan pendapatan, yang timbul kemudian stress dan depresi. Atau sebagian mencurigai pihak lain; mengapa ini bisa terjadi? Ada apa dibalik kekalahan? Apakah ini rekayasa? Ada manipulasi suara? KPU yang tidak profesional? Semua cenderung menyalahkan pihak lain. Ini semua terjadi, karena sebagian caleg dan tim-suksesnya memahami realitas politik dalam perspektif kausalitas tadi.
Secara sadar atau tidak, asumsi negatif terhadap hasil pemilu, sebenarnya sudah keluar dari term politik itu sendiri, yang mengatakan; politik tidak bisa dihitung seperti matematika (bukan kausalitas). Pengamat politik selalu mengatakan; konstelasi politik tidak bisa dihitung dengan logika; satu ditambah satu sama dengan dua. Bukankah kalimat ini sudah sedemikian mengkristal bagi sekian banyak politisi kita? Lantas mengapa harus menuduh salah terhadap institusi KPU? Atau mengapa harus mengkambinghitamkan pihak lain, bila politik memang bukan rumus matematika yang menerapkan hukum kausalitas?
Paradigma politik non matematik dalam konteks politik ini, bila kemudian dipahami dalam konteks hakikat (bukan syariat), maka langsung atau tidak, membahas politik maka tidak lepas dari dunia ke-ghaiban.
Sebab, ketika politik dikatakan; tidak bisa diukur secara matematik, maka ia akan berpulang pada keyakinan terhadap kekuatan gaib diluar batas logika manusia, bukan hukum kausalitas. Ketika, dunia politik terkait dengan kesadaran spiritual, maka kegagalan caleg, sebaiknya bukan menciptakan tuduhan-tuduhan dan asumsi buruk terhadap pihak lain, justeru membangkitkan kesadaran, bahwa realitas politik tidak kemudian dipandang dari perspektif politik murni (hukum kausalitas) tetapi juga dalam perspektif norma hukum ke-gaiban langit yang selama ini sering diabaikan dalam politik.
Dijelaskan oleh Syeh Ibnu Athoillah, dalam Kitab-nya Al-Hikam, melalui Kiai Imron Jamil, dalam konsep tasawuf tatanan dunia, (baca; realitas politik-red) memang tidak didasari dengan hukum kausalitas. Antara sebab dan akibat merupakan kutub berbeda yang tidak berbanding lurus sebagaimana yang selama kita pahami.
Fakta sejarah membuktikan, betapa hukum kausalitas dalam konteks politik tidak selalu berbanding lurus; setelah Habibie menggantikan Soeharto, Gus Dur menjadi presiden Indonesia. Dalam logika politik, saat itu perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tidak signifikan untuk mengangkat Gus Dur. Secara fisik-pun, Gus Dur tidak memenuhi syarat dari kriteria presiden. Tetapi ketika Tuhan mengatakan; jadi, maka jadilah (Kun Fayakun), maka yang muncul adalah ‘akibat’ yaitu Gus Dur menjadi presiden, meskipun tanpa ‘sebab’ politik yang rasional.
Namun dalam perjalanan waktu, Tuhan kemudian menciptakan keduanya. (Sebab dan akibat). Gus Dur jatuh oleh parlemen sebagai ‘akibat’ dugaan terlibatnya Gus Dur dalam kasus Bruneigate. Walapun saat itu, Mahkamah Agung sudah menyatakan Gus Dur bebas dari Bruneigate, tetapi ketika Tuhan berkehendak Gus Dur harus turun (sebagai akibat), maka melalui Dekrit Presiden, Gus Dur lengser, kemudian mengusung Megawati naik menggantikan presiden.
BACA ; NASIONALISME PENGANIAYAAN
Ketika ranah politik dipahami dalam perspektif spiritual, maka akan menguatkan pemahaman, ‘kebijakan langit’ tidak menciptakan realitas dunia dengan hukum kausalitas. Tuhan menciptakan sebab dan akibat dengan ruang yang berbeda. Tidak setali tiga uang. Analoginya, sebab sebagai kutup positf, dan akibat sebagai kutub negatif. Ketika dalam realitas politik beberapa caleg yang gagal mempertemukan keduanya (positif-negatif), yang terjadi kemudian bukan terangnya bola lampu neon dan cerahnya batin dan pikiran caleg, melainkan menjadi dua kutub yang konsleting atau terjadinya hubungan arus pendek. Akibatnya, depresi, stress atau lebih parah lagi, sampai bunuh diri.
Padahal diluar kesadaran, sebagian caleg sering begitu ringan mengatakan; manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan. Tetapi dalam banyak hal, ketika hasil jerih payah tidak sebanding dengan perjuangan dan pengorbanannya, sebagian kita kemudian sering menuduh atau mencurigai pihak lain yang salah. Dan yang lebih parah lagi, sebagian kita berburuk sangka kepada Sang Pengatur Bumi. Ketika ini terjadi, ada nilai ketauhidan, yang bergeser, walau sehelai rambut sekalipun. Akhirnya berlari ke dukun dan mahluk lainnya.
Dalam konteks kegagalan caleg ini, ada tiga hal yang perlu menjadi bahan renungan. Pertama; dalam kebijakan langit ada yang disebut nilai kepantasan. Artinya bagi caleg yang gagal, adalah kepantasan lebih baik di mata Tuhan, (bukan dimata manusia), ketimbang harus duduk di parlemen tetapi banyak mudharat bagi yang bersangkutan.
Dengan kata lain, kegagalan akan menjadi nikmat dan rahmat, ketika kagagalan dijadikan sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan terhadap caleg gagal, agar terhindar dari peluang berbuat dosa (korup) atau membohongi rakyat. Logikanya, kalau anak kita sedang sakit pilek, maka kita tidak akan membelikan minuman es, meskipun anak kita sampai menangis. Kita melarang karena kita sayang dan takut pilek anak kita bertambah parah. Pelarangan minum es terhadap anak kita juga bagian pemeliharaan kita, supaya anak kita tidak bertambah sakit.
Kita ingin anak kita sembuh dan sehat. Pun demikian halnya kebijakan langit. Ketika sebagian caleg gagal duduk di parlemen, sebenarnya Tuhan sedang mencegah, supaya ‘pilek’-nya para caleg tidak lebih parah dari sebelumnya. Tugas caleg gagal adalah, bagaimana menyembuhkan pilek-nya agar dikemudian hari lain di mata Tuhan mendapat posisi kepantasan untuk duduk di parlemen. Kita sering menganggap diri kita pantas menjadi mahluk yang berhak mendapat kedudukan, jabatan dan kekayaan, tetapi kita sendiri tidak pernah sadar bagaimana kita harus lebih dulu memantasi diri untuk menjadi hamba yang terpilih di mata Tuhan.
BACA : MENCARI PEMIMPIN DARI DALAM MASJID
Kedua; Pengorbanan yang telah diberikan, seharusnya dimaknakan kecintaan Tuhan terhadap seorang hamba, bukan malah sebaliknya. Banyaknya harta yang telah dikeluarkan dalam kampaye, telah menjadi sarana Tuhan untuk melakukan pencucian harta di rumah kita, yang mungkin selama ini ada hak orang lain, tetapi tidak pernah kita berikan. Gagal dan banyaknya korban materi untuk rakyat, adalah bahasa langit untuk memaksa hamba-Nya, agar bersedia mengeluarkan hartanya untuk orang lain, yang selama ini di tahan di dalam rumah. Mengutip Andrea Hirata dalam Novel Laskar Pelangi ; yang seharusnya kita bangkitkan adalah, bagaimana kita bersiap diri untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan bersiap diri untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Ketiga; kerugian berkorban materi untuk rakyat pada masa kampaye, bukanlah menjadi sesuatu yang merugikan. Mengapa harus merasa rugi berbuat baik pada masa kampaye? Toh, ketika kita lahir juga telanjang. Maka, menjadikan pengorbanan dan kegagalan caleg untuk kembali pada ketelanjangan rohani di hadapan Tuhan, akan menjadi lebih berarti ketimbang sekadar keluhan dan penyesalan. Ketika kebaikan dan pengorbanan di-ikhlaskan sebagaimana kita membuang air besar (tidak diingat dan tidak disebut-sebut), maka kebaikan itu akan menjadi istana surga, melebihi dari sekadar kedudukan sebagai anggota parlemen.
Ketiga; bagi yang lolos menjadi anggota dewan, Tuhan sedang memberi tugas kepada mereka menjadi panitia bumi di parlemen, untuk ikut mengelola negara dan mewakili rakyat. Ketika nanti anggota dewan tidak memegang amanat, maka suatu ketika Tuhan dengan secepat kilat akan segera memecat panitia di parlemen dengan membenturkan mereka pada kasus korupsi, pembakalan hutan, suap menyuap tender dan lain sebagainya. Melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tuhan akan mamanjangkan tangan-Nya di bumi. Demikianlah, bahasa Tuhan untuk mempertemukan kembali seorang hamba yang lupa amanat, agar kembali ke pangkuan-Nya.
Oleh sebab itu, apapun hasil dari semua perjalanan kampaye pada pemilu dan pilkada, berhasil atau gagal sebaiknya dihadapi dengan kecintaan kepada Sang Maha Pencipta. Sehingga baik dan buruk dari hasil jerih payah, bukan membuat lalai dengan amanat-Nya, tetapi mengantarkan kita pada ketaatan dan kedekatan, bukan pengingkaran pada Tuhan. Kita mempunyai kewajiban untuk terus berjuang, berdoa dan berihtiar, tetapi soal hasil akhir, kapan, dimana, jumlahnya berapa, itu bukan urusan kita.**
BTN Karang Asam-Tanjung Enim, 17 April 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H