Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengubah Tinja menjadi Cinta

4 September 2015   00:50 Diperbarui: 4 September 2015   01:05 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi di kali lain, bagi saya dan isteri, onggokan tinja telah membangkitkan kecintaan saya dan isteri pada anak saya—sekaligus membangkitkan kesadaran kecintaan saya pada Yang Maha Pengatur sirkulasi tinja. Bagaimana mungkin kami akan merelakan anak saya terkulai lemas tanpa daya, bergulat dengan rasa sakit lantaran tumpukan tinja di perutnya belum keluar? Membiarkan anak saya sakit, sama halnya saya telah menyakiti Sang Pemberi Hidup pada anak saya.

Pun demikian Anda. Suatu kali, tentu pernah menggendong putra-putri Anda semasa masih bayi. Bila suatu ketika anak Anda BAB tanpa permisi, lalu baju dan separo tubuh Anda terkena air kencing dan tinja anak Anda, apakah lantas Anda akan marah-marah? Atau Anda juga akan menganggap anak Anda sebagai anak yang kurang ajar karena mengencingi dan memberaki tanpa persmisi? Apakah ketika itu, Anda juga akan membenci anak Anda hanya gara-gara BAB tidak izin lebih dulu?

Tentu tak akan ada kebencian, tak akan ada kemarahan, melainkan kasih sayang dan kecintaan. Sebab, tinja yang keluar adalah bentuk kecintaan Tuhan pada mahluk-Nya. Gumpalan kotoran itu  memang secara sengaja dikeluarkan Tuhan dengan aturan yang sangat displin, agar keberlangsungan hidup kita terus berjalan dengan baik, tanpa hambatan BAB.

Dalam hidup, setiap kita pernah mendapat tinja, bukan sebatas tinja yang sebenarnya. Bentuknya bisa beragam, apakah tinja itu dalam bentuk kegagalan ujian, bangkrut dalam perdagangan, atau kepailitan modal usaha, dan lain sebagainya. Semua itu sama dengan tinja ; sesuatu yang sama sekali tidak enak dan membuat kita enggan menerimanya. Kita tidak pernah akan suka dengan kedatangannya. Rasanya pahit, masam dan penuh kegetiran. Namun faktanya, setiap kita akan mengalaminya.

Tetapi, jika tinja-tinja kehidupan itu, kita pandang sebagaimana Anda dikencingi dan diberaki oleh anak Anda, atau keponakan kita saat dalam gendongan, maka yang lahir kemudian bukan kebencian, kegalauan, apalagi keputusasaan. Namun sebaliknya, kita justeru kemudian sadar, betapa Tuhan masih memberi kecintaan-Nya pada kita dan anak kita, sehingga dengan sejumlah tinja kehidupan itu, kita sedang dimanusiakan oleh Tuhan, untuk kemudian Tuhan sedang ingin memuliakan kita**

 Jl. Swadaya - Palembang, 10 Januari 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun