Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kapitalisasi Media dan Pergeseran “Ideologi” Jurnalis

31 Agustus 2015   08:58 Diperbarui: 31 Agustus 2015   09:04 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pegadaian ideologi

Potret buram media dalam era kekinian, ada beberapa sebab yang melatari. Pertama, sebuah institusi media memang dibangun atas dasar “ideologi oplagh”. Sehingga, yang menjadi tujuan adalah bagaimana memperbanyak penjualan dan memburu iklan sebanyak-banyaknya, termasuk liputan sepasang pegantin atau hanya sekedar meng-ekspose khutbah jumat seorang pejabat tinggi di sebuah daerah. Kedua, tidak adanya pencerahan ideologi di kalangan jurnalis.

Pencerahan yang saya maksud adalah, proses se-usai rekutment jurnalis,  institusi media sangat jarang melakukan pendidikan ideologi bagi para jurnalis yang baru saja diterimanya. Akibatnya, ketika seorang jurnalis turun ke lapangan tidak jarang kemudian terkontaminasi oleh iklim “amplop” yang memang sudah menggurita di setiap pojok instansi pemerintah dan swasta. Ironisnya, hampir semua instansi pemerintah telah mengalokasikan dana untuk “amplop” bagi kalangan jurnalis.

Dengan “keringnya” in-house training ideologi inilah,  jurnalis yang secara  kebetulan masuk ke sebuah media massa yang dilatari oleh gagalnya test PNS, tentu  akan berada pada kegamangan memilih ideologi sebuah media. Belum lagi iklim di lapangan, hampir sudah menjadi siklus (lingkaran syetan) yang sangat berpotensi untuk melakukan pegadaian ideologi. Seorang jurnalis, ada saja yang mengancam membeberkan sebuah “data hitam” kepada seorang kepala instansi tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan ‘upeti’.

Akibat terjadinya dis-orientasi ideologi dalam konteks media massa, nilai-nilai moral kemudian bukan lagi menjadi hal penting, melainkan nilai-nilai nominal rupiah yang kemudian menjadi “ideologi”. Kondisi ini, untuk kemudian banyak dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk “mengupah” dan ‘membeli’ jurnalis yang kemudian membuka media baru dengan kepentingan tertentu. Bila ‘membeli’ jurnalis untuk profesionalitas dalam pengelolaan sebuah media, bukanlah menjadi satu ‘dosa’. Tetapi, memperkerjakan jurnalis dengan membiarkan ‘uli disket’ tenggelam dalam kubangan amplop, ini merupakan tindakan penindasan nyata yang memerlukan perlawanan secara kolektif.  Kenapa ini menjadi penting?

Sebab, tanpa kejelasan ideologi bagi para jurnalis, maka yang terpikir kemudian bukan bagaimana menjadi jurnalis yang tetap menjaga nilai-nilai dan moralitas, melainkan menceburkan diri “tanpa ideologi” dalam kubangan media massa yang sarat kepentingan, baik yang dilakukan seorang tokoh, atau pemilik modal. Realitas ini sekarang sudah sedemikian kronis, sehingga sebagian masyarakat kita bukan tidak mungkin akan memandang jurnalis hanya sebagai ‘tukang peras’ para pejabat, dari kepala desa sampai tingkat menteri. Sikap ini tidak bisa dipersalahkan. Sebab, sebagian jurnalis kita juga masih menganut ‘aliran media sesat’ ini.

Ada sebuah argumentasi yang kemudian muncul. “Memegang prinsip pada ideologi adalah lapar”. Pola pikir inilah, yang kemudian membenarkan adanya “jual beli” harga diri media massa, sekalipun seorang jurnalis harus menjadi “kacung” dari sebuah kepentingan.  Banyak kasus yang mungkin sudah menjadi catatan sejarah media massa. Berapa banyak jurnalis yang kemudian ter-PHK, lantaran menerima uang judi. Atau berapa banyak jurnalis yang kemudian harus “menyembah” kapitalis, dengan tanpa mengindahkan ideologi media massa, yang sudah terpatri di dalam hati nuraninya.  Agak sulit memang, menghadapi hunjaman kapitalisme di tengah krisis ideologi. Dan menjadi realitas yang menyedihkan jika kemudian kapitalisme ini lebih menjadi jalur ideologi sebuah institusi media, atau bagi para jurnalisnya sendiri, dari pada harus tetap mengedepankan informasi yang mendidik, menghibur dan mengontrol  sebuah kebijakan.

Dengan hunjaman kapitalisme melalui iklan, mungkin secara tidak sadar bahwa media massa juga sedang mengkampayekan “iklan pembodohan”. Memang, tidak semua iklan membodohi tetapi dengan mencerabut ruang keleluasaan informasi yang mendidik dan menggantinya dengan ragam iklan yang belum jelas juntrungannya, juga menjadi berakibat pada bodohnya masyarakat terhadap informasi. Sebab, diakui atau tidak media massa merupakan alat strategis untuk mencerdaskan masyarakat, tetapi seiring dengan itu media massa juga menjadi alat yang strategis pula untuk melakukan pembodohan masyarakat.

Kondisi ini kemudian diperparah dengan masuknya para pemilik modal yang sama sekali tidak mempunyai latarbelakang pers. Ide ini kemudian disambut oleh kalangan eks-jurnalis yang secara kebetulan belum mendapat pekerjaan lain. Gayung pun bersambut. Hasilnya sudah dapat diperkirakan. Bagaimana wajah dan visi sebuah media massa, jika dikelola oleh tim kerja yang memang sebelumnya tidak mempunyai ideologi. Media massa, tak lebih menjadi alat dari kapitalis atau menjadi “kuda” dari kepentingan politik pemilik modal.  Dan kini bukan hal yang asing bila seorang penguasa, bisa memiliki media massa untuk kepentingan politiknya. Sebab, dengan kebebasan seperti sekarang, tak ada yang dapat melarang untuk menerbitkan media massa siapapun ia. Kuncinya berani “membeli” jurnalis” dengan tawaran upah yang menggiurkan.

Ketiga, realitas lain yang mengakibatkan pergeseran ideologi ini adalah, munculnya pengelola media massa “penembak” jitu. Ada sebuah media massa di Sumatra Bagian Selatan yang melakukan “penembakan” terhadap sebuah perusahaan tertentu, dengan tujuan agar perusahaan tersebut bersedia memasang iklan. Pada awanya, media ‘penembak jitu’ ini membeberkan kebobrokan perusahaan yang dimaksud, untuk kemudian pengelola media massa melakukan menosiasi untuk melaukan deal. Tujuannya jelas bukan berdasar pada keinginan meluruskan sistem yang ada di perusahaan tersebut, namun sebaliknya, ingin “dirangkul” perusahaan agar media tempat ia bekerja tetap hidup dan menghidupi jurnalisnya.

Fantastsi memang. Perusahaan yang diserang, tanggap dan cerdas. Apalagi para petinggi perusahaan sudah melihat orientasi pengelola media. Tanpa ada pemberitaan sebelumnya, tiba-tiba pekan berikutnya, pemberitaan kebobrokan itu lenyap bagai di telan bumi. Dan selanjutnya muncul satu halaman penuh advetorial (khusus iklan) perusahaan tersebut, dengan kalimat yang menyegarkan. Sejak halaman “dibeli” tak ada lagi pemberitaan buruk bagi perusahaan yang sebelumnya “dihabisi” sampai kulit-kulitnya.  Maka saat itulah, pengelola media dan jurnalisnya  mengatakan, “selamat tinggal idealisme, dan selamat datang kapitalis”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun