Mohon tunggu...
Sandika Wandara
Sandika Wandara Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis, Penulis dan Wiraswasta

Sosok Penulis dari kalangan Mahasiswa sangat di impikan oleh pemimpin bangsa. bangkit dan bergerak menuju Indonesia Emas 2045.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya Lilin di Malam yang Basah

6 Desember 2024   07:00 Diperbarui: 10 Desember 2024   00:28 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, langit menumpahkan hujan deras yang seolah tidak berkesudahan. Jalanan kota mini itu basah kuyup, aroma tanah bercampur udara dingin menyusup sampai ke sela-sela napas. Di sebuah tempat tinggal kayu tua pada pinggir jalan, bunyi tawa & dialog bersahutan, meski hujan terus menghantam genting pada atas.


Lima orang duduk mengelilingi meja bulat mini pada ruang tamu. Lampu temaram & lilin-lilin yg menyala membentuk suasana hangat. Ini merupakan reuni mereka, pertama sehabis sepuluh tahun tidak bertemu.


"Siapa sangka kita mampu kumpul lagi kayak gini, ya," ujar Lisa sembari memutar gelas kopinya. Matanya menatap teman-temannya satu per satu. Ada Reno, yang kini telah sebagai advokat sukses; Dinda, yang menetap pada luar negeri; Bima, yang sibuk menggunakan usaha restorannya; dan Tika, teman karib Lisa semenjak mini.


"Masih jangan lupa malam tahun baru terakhir kita bersama pada sini?" tanya Bima sembari tertawa mini . "Waktu itu, Tika nangis lantaran kembang apinya meledak terlalu cepat."


"Hei, jangan diungkit!" Tika berseru protes, pipinya memerah. "Itu malu banget!"


Semua tertawa, suasana terasa akrab misalnya dulu. Namun, pada pulang tawa mereka, terdapat hal-hal yang belum terucap misteri yang selama ini terpendam.


Hujan semakin deras. Tika melirik jam pada dinding, jarum memilih pukul sembilan malam. Ia mencoba mengalihkan perhatian berdasarkan dialog ringan pada meja menggunakan berjalan ke jendela. Di luar, hujan membentuk kabut tipis pada udara. Tika memejamkan mata, berharap hujan ini akan segera reda.


"Tika, engkau kenapa?" bunyi Reno terdengar pada belakangnya.


Tika menoleh. "Enggak apa-apa, cuma lagi mikir. Dulu kita selalu bikin resolusi bersama setiap tahun baru, kan? Sekarang malah terasa... beda."


Reno tersenyum tipis. "Wajar. Dulu kita cuma anak-anak. Sekarang hayati kita jauh lebih rumit."

"Rumit atau... penuh misteri?" Tika menatap Reno dalam-dalam. Reno terdiam, kemudian mengalihkan pandangan. "Ngomong-ngomong soal misteri," Dinda datang-datang angkat bunyi berdasarkan meja, "Kita kan udah usang banget enggak ketemu. Gimana jika kita buka-bukaan aja malam ini? Mungkin terdapat sesuatu yang belum sempat diungkap dulu."

Semua saling pandang. Suasana hangat tersebut berubah sebagai tegang.

"Bima," istilah Dinda sembari menatap temannya itu, "Kamu masih jangan lupa, kan, siapa yg ngancurin kamera Lisa saat kita SMA?"

Lisa pribadi menoleh tajam. "Jangan bilang itu engkau , Bim."

Bima tertawa gugup. "Oke, fine. Itu saya . Tapi serius, itu kecelakaan! Aku enggak sengaja nendang tas engkau ."

Lisa menatapnya menggunakan ekspresi setengah terbuka, kemudian tertawa kecil. "Aku udah curiga berdasarkan dulu. Untung aja saya lupa mau marah."

Tawa pulang memenuhi ruangan, meski terasa lebih hati-hati.

Saat jarum jam memperlihatkan pukul sepuluh, Reno datang-datang berdiri. "Aku punya sesuatu buat kalian." Ia berjalan ke luar ruangan, kemudian pulang membawa kotak besar.

"Apa ini?" tanya Tika curiga.

Reno membuka kotaknya. Di dalamnya terdapat tumpukan foto-foto usang mereka, beberapa penuh coretan tangan, beberapa telah memudar.

"Ini seluruh kenangan kita," istilah Reno sembari meletakkan foto-foto itu pada atas meja. "Aku kumpulin selama ini. Malam ini, kita nostalgia."

Mereka mulai melihat foto-foto itu satu per satu, tertawa mengingat momen momen konyol pada masa kemudian. Namun, pada antara foto-foto itu, Lisa menemukan sesuatu yg aneh. Sebuah foto menggunakan kertas relatif kusut, menampilkan mereka berlima berdiri pada depan tempat tinggal kayu ini, akan tetapi terdapat satu sosok tambahan pada belakang mereka seseorang laki-laki yang wajahnya tidak terlalu jelas.

"Ini siapa?" tanya Lisa sembari memperlihatkan foto itu.

Semua terdiam. Wajah Reno berubah tegang.

"Itu... Haris," istilah Reno akhirnya. "Kalian jangan lupa beliau?"

Tika menelan ludah, wajahnya berubah pucat. "Dia sahabat sekelas kita, kan? Yang... hilang?"

"Dia enggak hilang," Reno mengatakan pelan. "Dia meninggal. Tepat malam tahun baru sepuluh tahun kemudian."

Suasana pribadi berubah hening. Hanya bunyi hujan pada luar yang terdengar.

"Aku enggak pernah cerita ini ke kalian," Reno melanjutkan. "Malam itu, beliau tiba ke tempat tinggal ini. Dia bilang beliau punya sesuatu yang krusial buat disampaikan, akan tetapi kita seluruh terlalu sibuk main. Aku suruh beliau tunggu pada luar. Lalu beliau pergi, dan..."

"Dan engkau enggak pernah lihat beliau lagi," pangkas Tika, suaranya bergetar.

"Ya," jawab Reno pelan.

Lisa memegang foto itu erat. "Jadi ini... fotonya yang terakhir?"

"Sepertinya begitu," jawab Reno.

Malam yang semula penuh tawa berubah sebagai refleksi mendalam. Mereka teringat bahwa saat, meski kadang terasa melambat pada tengah hujan, selalu berjalan tanpa henti.

Hujan berhenti tepat sebelum tengah malam. Lima orang teman keluar ke teras dengan lilin kecil di tangan mereka. Reno meletakkan foto Harris di atas meja di luar, dikelilingi lilin yang menyala.

"Kepada Haris," bisik Reno.

Hujan telah berhenti sepenuhnya. Aroma tanah lembap bercampur dinginnya angin malam. Di bawah bintang-bintang, sebatang lilin kecil tetap menyala di atas meja seolah menjadi saksi percakapan yang tak ada habisnya.

"Kami benar-benar mengabaikannya malam itu," suara Lisa lembut, hampir seperti bisikan. Matanya masih tertuju pada foto Harris. "Kalau saja aku tahu lebih cepat..."

"Semuanya terjadi, Rhys," sela Reno. "Aku selalu menyalahkan diriku sendiri. Kalau aku membiarkannya masuk saat itu, mungkin segalanya akan berbeda."

"Kamu tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, Reno," kata Tika. Namun getaran dalam suaranya menunjukkan bahwa dia juga didera rasa bersalah yang sama.

Bima yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi kami di sini sekarang. Malam ini kita tidak hanya mengingat Harris. Mungkin inilah kesempatan Anda untuk meminta maaf, meski terlambat.

“Permisi?” tanya Dinda sambil mengerutkan kening.

"Iya," jawab Bima sambil menghela nafas. "Bukan hanya untuk Harris, tapi untuk diri kita sendiri juga, karena kita terus menjalani rasa bersalah ini tanpa menghadapi kenyataan.

Semua orang terdiam. Ucapan Bima bergema di antara mereka seperti pukulan lembut terhadap kenyataan.

Tika tiba-tiba berdiri. "Ada yang ingin kukatakan," katanya sambil melihat foto Harris di atas meja. Dia menelan ludah dan mencoba menenangkan diri.

“Harris, maafkan aku. Permainan dan tawa lebih penting bagiku malam itu daripada mendengarkanmu. Dimanapun kamu berada sekarang, kuharap kamu bisa memaafkan kami.''

Suaranya bergetar, namun dia tetap berdiri tegak. Reno, Lisa, Dinda, dan Bima saling berpandangan, lalu satu persatu mengikuti jejak Tika.

"Harris," kata Reno dengan suara berat. "Aku minta maaf membuatmu menunggu di luar. Aku tidak menyangka ini akan menjadi kesempatan terakhir kita untuk bicara."

Lisa mengatupkan tangannya untuk menahan air matanya. "Maafkan aku, aku tidak pernah mengenalmu. Ketahuilah bahwa kami semua merindukanmu."

Dinda dan Bima pun meminta maaf, masing-masing mengungkapkan perasaan yang telah mereka pendam selama bertahun-tahun.

Malam itu, kelima sahabat itu berdiri di bawah langit malam dan memandangi foto Harris di dalam lilin kecil. Suasananya tenang, namun tidak lagi menyesakkan.

"Setidaknya kita mengetahuinya sekarang, kita tidak akan pernah melupakannya," bisik Tika.

Reno mengangguk. "Dan aku belajar bahwa waktu tidak bisa diputar kembali. Tapi kamu bisa memilih untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lagi."

Hujan mungkin sudah berhenti, tapi hati mereka terasa lebih ringan. Dark Skies kini menyaksikan babak baru dalam persahabatan mereka. Kenangan pahit dan manis hidup berdampingan di sana, mengingatkan mereka betapa berharganya waktu mereka.

Dan tengah malam itu, di bawah kerlap-kerlip bintang, mereka tahu bahwa mereka bukan hanya telah mengucapkan selamat tinggal pada rasa bersalah, namun mereka juga menyambut tahun baru dengan harapan yang lebih besar.

Biografi singkat Penulis

Sumber: Dokumentasi foto Sandika Wandara
Sumber: Dokumentasi foto Sandika Wandara

Sandika Wandara, lahir di Rantau Kapas Mudo pada 6 Agustus 2002. Ia dikenal sebagai sosok yang penuh dedikasi dalam berbagai bidang, baik pendidikan, organisasi, maupun prestasi. Dengan latar belakang pendidikan yang terarah, Sandika menempuh perjalanan akademiknya mulai dari SD Negeri 01/1 Pasar Muara Tembesi, SMP Negeri 1 Batang Hari, SMA Negeri 2 Batang Hari, hingga melanjutkan studi di Universitas Islam Batang Hari, tempat ia berkomitmen menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2024.

Semangat dan kerja keras Sandika tercermin dari motto hidupnya yang berbunyi, "Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan." Motto ini menjadi prinsip yang ia pegang teguh dalam setiap langkah hidupnya. Sebagai penulis, Sandika aktif berbagi melalui platform seperti Kompasiana, tempat di mana ia menulis artikel yang penuh inspirasi, menggugah kesadaran, dan memberi dampak positif bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun